Burayot hingga Ceprus, makanan khas Garut yang wajib kamu coba selain Dodol
Teksturnya yang kasar namun terasa nyata saat digigit menambah cita rasa dan rasa yang unik pada camilan yang satu ini. Orang Garut menyebutnya Ladu, jajanan tradisional khas Kabupaten Malangbong, Garut.
Ladu ketan merupakan makanan khas dari Malangbong. Garut awalnya dibuat oleh seorang ibu rumah tangga yang ahli dalam membuat berbagai jenis jajanan. Ladu disiapkan sebagai makanan ringan bagi tamu yang datang ke rumah, terutama orang-orang terpandang seperti pejabat di Malangbong, Garut.
Masyarakat mulai memperkenalkan Ladu pada tahun 1930-an. Saking populernya, saat ini banyak yang mengkomersialkan Ladu Garut. Sehingga dengan mudah kita bisa melihat banyak pabrik yang memproduksi siomay di Malangbog, tempat asal makanan ini.
Bahan pembuatan ladu sendiri adalah beras ketan, kelapa, dan gula merah. Perpaduan yang tidak akan pernah mengecewakan lidah.
Meski terlihat sederhana, Ladu selalu hadir di setiap hajatan seperti pernikahan atau khitanan dan bagi masyarakat Garut, Ladu merupakan menu wajib yang tidak boleh dilewatkan.
Ceprus
Bagi orang Sunda sendiri, singkong selalu menjadi bahan baku andalan yang bisa mereka olah menjadi berbagai jenis olahan makanan yang tidak pernah mengecewakan.
Dari sekian banyak olahan singkong, ceprus merupakan makanan khas kabupaten Garut yang sangat digemari. Makanan ini berupa singkong bakar yang dicelupkan ke dalam gula merah (kinca) yang dipanaskan.
Di daerah asal Garut Selatan, Ceprus diolah secara unik oleh masyarakat setempat. Singkong yang sudah dibersihkan sebelumnya dibakar lalu dipotong dadu.
Sebelum dikonsumsi, singkong bakar yang telah dipotong dadu dicelupkan ke dalam gula merah cair yang telah dipanaskan. Cara konsumsi ini hampir mirip dengan Colenak, makanan khas Bandung yang terbuat dari tape.
Namun bedanya, Ceprus langsung menggunakan singkong yang menjadi bahan baku utama tapai. Di Garut selatan, ceprus tidak hanya dianggap sebagai jajanan biasa, melainkan digunakan untuk acara besar seperti pernikahan dan khitanan.
Penulis: Nila Amalia Putri
Source: news.google.com
