Berkunjung ke desa adat Miduana di Cianjur yang dihuni oleh keturunan kerajaan - WisataHits
Jawa Barat

Berkunjung ke desa adat Miduana di Cianjur yang dihuni oleh keturunan kerajaan

Berkunjung ke desa adat Miduana di Cianjur yang dihuni oleh keturunan kerajaan

Berkunjung ke desa adat Miduana di Cianjur yang dihuni oleh keturunan kerajaan
Kampung Adat Miduana Cianjur. ©2020 YouTube Cianjurkab TV/Merdeka.com

Merdeka.com – Tatar Parahyangan di Jawa Barat memiliki banyak desa adat dengan pesona yang tersembunyi. Salah satu daerah yang masih melestarikan kearifan lokal Sunda adalah desa adat Miduana di Kabupaten Cianjur. Karena sejarahnya, penduduk disana merupakan keturunan kerajaan Pajajaran.

Saat Anda memasuki desa, Anda langsung merasakan udara sejuk khas pegunungan. Anda dapat melihat bahwa jalinan bangunan rumah penduduk setempat masih dilestarikan secara tradisional. Banyak warga yang masih mengenakan pakaian adat, lengkap dengan totopong, atau ikat kepala khas Sunda.

Artikel media taboola

Desa Adat Miduana terletak di Desa Balledede, Kecamatan Naringgul, Cianjur, berbatasan langsung dengan Kabupaten Bandung. Saat ini keberadaannya mencuri perhatian dan disebut sebagai salah satu surga tersembunyi.

Berikut ini lebih lanjut:

2 dari 6 halaman

Asal usul nama Miduana

Kampung Adat Miduana Cianjur

©2020 YouTube Cianjurkab TV/Merdeka.com

Seperti yang kami laporkan dari ANTARA, nama Miduana sendiri berasal dari kata Midua yang artinya “terbagi” atau “terbagi dua”.

Hal ini mengacu pada adanya desa yang terbelah karena terletak di antara dua sungai, yaitu Cipandak di hilir dan Cipandak di hulu. Kedua sungai tersebut bertemu dan membentuk Sungai Cipandak (sungai utama) dengan arus yang tenang dan tidak curam.

Saat dibuka, desa ini dijuluki Joglo Alas Roban, dikelola oleh nenek Jiwa Sadana dengan sembilan keluarga.

Mereka kemudian memiliki cicit secara turun-temurun, hingga kini mereka masih memegang Pikukuh Karuhun Pajajaran yang asli dengan segala aturannya.

3 dari 6 halaman

Penduduk keturunan kerajaan Pajajaran

kelapa atau Sesepuh Desa Adat Miduana Abah Yayat mengatakan: Desa Balledede atau Desa Adat Miduana tidak lepas dari dua sosok kembar yang bernama Eyang Jagat Nata dan Eyang Jagat Niti. Keduanya merupakan keturunan kerajaan Pajajaran yang sedang mencari tempat menetap untuk melarikan diri dari kekacauan kerajaan Sunda. Mereka juga pendiri Ballede Village.

Awalnya Jagat Nata dan Jagat Niti berhasil membuat kampung baru dan mendirikan tempat pertemuan besar atau Pasamoan dengan rekan-rekan dari berbagai daerah. Ini kemudian menjadi dasar penamaan ‘Balegede’, yang berarti ‘tempat pertemuan besar’.

Eyang Jagat Niti sendiri kemudian memiliki keturunan bernama Eyang Jagat Sadana yang berhasil membuka desa atau dusun di Miduana dan tidak jauh dari Ballede.

Segera, Jagat Sadana mendapat tempat khusus dari warganya karena berhasil menjadikan hutan belantara, atau Leuweung Peteng, sebagai tempat tinggal tetap atau permanen.

4 dari 6 halaman

Tradisi khas desa adat Miduana

Kampung Adat Miduana Cianjur

©2020 YouTube Cianjurkab TV/Merdeka.com

Tradisi dan adat istiadat dari masa lalu juga dikembangkan di desa ini, sehingga jejaknya masih dapat terlihat hingga saat ini.

Dongdonan Wali Salapan, Lanjaran Tatali Paranti, Bath Kahuripan, Opatlasan Mulud, menjadi salah satu dari sekian banyak kesenian Buhun (Sunda Kuno) yang masih diajarkan kepada generasi muda.

Untuk kesenian yang masih diliput yaitu Wayang Gejlig, Nayuban dan Lais, Wayang Golek, Calung, Rengkong, Reog, Tarawangsa, Patun Buhun dan lain-lain.

Ada halaman

Kemudian tempat tersebut menjadi salah satu aset Desa Adat Midua yang juga tetap terjaga. Beberapa tempat tersebut adalah Batu Rompe, Patung Larangan Cempa Kabuyutan dan Gua Ustrali atau Australia di Desa Kubang Bodas.

Penduduk setempat percaya bahwa situs Batu Rompe adalah peninggalan nenek moyang Buhun dan berusia ribuan tahun. Ternyata, Batu Rompe berupa menhir (batu tunggal yang menjulur ke atas) yang tercabik-cabik akibat bencana tersebut.

Kemudian, situs Arca Cempa Larang Kabuyutan dianggap oleh warga sekitar sebagai peninggalan Kerajaan Sunda yang berusia lebih dari 2.000 tahun.

5 dari 6 halaman

Mulai terbuka dengan dunia luar

Sebelumnya, warga desa tradisional tertutup terhadap kemajuan dan teknologi selama bertahun-tahun. Juga tidak ada liputan media.

Disebut Abah Yayat dan menghambat pembangunan di sana. Meskipun demikian, pendidikan di sana sangat maju, karena banyak desa tradisional telah belajar hingga tingkat sarjana.

Selama ini, keturunan juga menyelamatkan desa dari banyak orang asing karena adat istiadat yang berbeda. Namun, dengan binaan Yayasan Lokatmala dan Pemkab Cianjur, seluruh warga siap membuka diri.

Kini langkah musyawarah antara tokoh adat dengan masyarakat juga telah dilakukan, dengan hasil kebangkitan dilakukan oleh berbagai pihak. Mereka juga menyatakan siap membuka diri terhadap pembangunan, termasuk membangun kembali suhunan, atau rumah adat, di tengah desa.

6 dari 6 halaman

Siap menjadi objek wisata baru

Kampung Adat Miduana Cianjur

Kampung Adat Miduana Cianjur

©2020 YouTube Cianjurkab TV/Merdeka.com

Saat ini, serangkaian upaya revitalisasi telah dirumuskan untuk mendukung terwujudnya desa wisata tradisional yang didukung oleh Yayasan Lokatmaja Indonesia serta pemerintah setempat.

Keberadaan desa adat sebagai pewaris, pelestari, serta agen aktif kearifan lokal berpotensi melestarikan identitas budaya dan meningkatkan kesadaran akan keragaman budaya di Indonesia.

Diharapkan setelah Desa Adat Miduana menjadi destinasi budaya, juga dapat menjadi bagian dari kekayaan bangsa yang akan membawa kemakmuran bagi masyarakat adat setempat.

Upaya revitalisasi terhadap desa wisata tradisional akan dimulai melalui intervensi fisik, rehabilitasi ekonomi, revitalisasi sosial dan kelembagaan.

Sementara itu, Dusun Miduana menempati luas 1.041 kilometer persegi dan terdiri dari 11 RT atau RT dan 4 RT atau RW yang didiami oleh 280 KK yang terdiri dari 557 laki-laki dan 650 perempuan dengan total 1.207 jiwa.

Seluruh penduduk desa adat ini menggantungkan mata pencahariannya dari hasil pertanian, mereka melakukan tetekon atau aturan adat kepemimpinan pertanian yang telah dilakukan secara turun temurun. Namun saat ini, hanya sedikit yang mulai beralih ke sektor lain seperti perdagangan dan pembukaan usaha kecil.

[nrd]

Source: www.merdeka.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button