Banyak konferensi akademik di Indonesia yang tidak memenuhi standar akademik, seringkali menghadirkan pejabat, sponsor komersial, dan perjalanan wisata - WisataHits
Jawa Barat

Banyak konferensi akademik di Indonesia yang tidak memenuhi standar akademik, seringkali menghadirkan pejabat, sponsor komersial, dan perjalanan wisata

Memasuki, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

Konferensi akademik di Indonesia, khususnya Ilmu Komunikasi yang menjadi spesialisasi saya, sangat semarak dalam enam tahun terakhir (2015-2021). Hal ini sejalan dengan tradisi mobilitas akademik dan diseminasi pengetahuan di era globalisasi dan liberalisasi pendidikan tinggi.

Masalahnya, konferensi tersebut tidak memenuhi standar konferensi ilmiah yang baik yang diselenggarakan oleh organisasi ilmiah.

Penelitian kualitatif saya baru-baru ini menganalisis 36 poster dari konferensi studi komunikasi di Indonesia pada 2015-2021, serta observasi dan wawancara dengan penyelenggara konferensi, mengungkapkan tren yang mengkhawatirkan secara umum. Kecuali pengumuman surat permintaan (Undangan submit artikel ilmiah) dengan waktu seleksi yang sangat singkat rata-rata kurang dari dua minggu, pejabat pemerintah seperti menteri atau gubernur sering diundang sebagai keynote speaker (pembicara utama) dalam konferensi.

Panitia juga menawarkan peserta acara tambahan berupa kunjungan wisata di luar forum ilmiah konferensi. Intervensi pemerintah yang sistematis dan banyaknya sponsor pemerintah dan perusahaan juga mempengaruhi kualitas konferensi.

Hasil ini menimbulkan pertanyaan tentang kualitas konferensi akademik di Indonesia: apakah ini konferensi bereputasi atau konferensi bermasalah (predator)?

Konferensi serius versus predator

Don Cowan dari University of Pretoria di Afrika Selatan merumuskan bahwa konferensi akademik yang baik adalah forum yang diselenggarakan oleh para ilmuwan untuk kepentingan pengetahuan dengan basis nirlaba (nirlaba).

nirlaba artinya pembiayaan berasal dari dana sendiri penyelenggara atau dari pendaftaran peserta. Mengenai konten konferensi, proses peninjauan kertas harus dilakukan secara ketat dan oleh para ahli di bidang penulis buta (Reviewer tidak tahu siapa penulisnya).

Misalnya, di bidang studi komunikasi, ada dua konferensi yang diakui dan dihormati secara internasional: konferensi tahunan Asosiasi Komunikasi Internasional (ICA) dan Asosiasi Internasional untuk Penelitian Media dan Komunikasi (IAMCR), yang akan diadakan di Nairobi, Kenya pada tahun 2021.

Ribuan akademisi menghadiri konferensi ini untuk berbagi hasil penelitian. Reputasi konferensi dapat dinilai dari tahapan yang ketat: publikasi acara melalui platform digital resmi, prosesnya makalah ulasan Durasi (rata-rata tiga bulan) dan tanpa sistem sertifikat.

Sebaliknya, Sarah Eaton dari University of Calgary di Kanada (2018) menjelaskan indikator konferensi yang bermasalah (konferensi predator atau kesombongan) dalam 12 aspek berikut.

Standar ilmiah abu-abu

Berdasarkan kategori di atas, konferensi studi komunikasi akademik di Indonesia mana yang Anda sukai? Penelitian saya jelas menunjukkan bahwa konferensi ilmu komunikasi di Indonesia berada dalam kategori abu-abu.

Di Indonesia ada dua organisasi besar yang rutin menyelenggarakan konferensi ilmu komunikasi.

Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI), misalnya, rutin menyelenggarakan Konferensi Komunikasi Nasional (KNK) tahunan. Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi (ASPIKOM) juga menjadi tuan rumah konferensi komunikasi di tingkat pusat dan provinsi. ASPIKOM juga mengadakan konferensi internasional pada tahun 2019 bekerja sama dengan International Communication Association (ICA).

Selain kedua organisasi tersebut, konferensi komunikasi yang meriah telah diadakan oleh beberapa universitas seperti Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Universitas Telkom, Universitas Mercu Buana dan lain-lain.

Penelitian saya menunjukkan bahwa sebagian besar konferensi tidak memiliki fokus tematik yang jelas dan tidak diadakan secara teratur. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada upaya yang dilakukan untuk membangun infrastruktur organisasi yang serius dan serius untuk menyelenggarakan konferensi.

Poster konferensi dengan jadwal penyerahan naskah wisata. APAKAH K

Masalah yang paling serius terletak pada proses penilaian abstrak atau kertas oleh peserta yang cenderung bereaksi sangat cepat dan tidak disiplin terhadap kesopanan. Waktu antara penerimaan dan publikasi hasil tinjauan sangat singkat – dalam beberapa kasus hanya seminggu atau kurang. Sebagian besar kegiatan masih hanya memilih abstrak, tidak secara langsung kertas Sama sekali.

Misalnya, ada konferensi yang sedang diatur pertemuan (Deadline) Abstrak tanggal 31 Januari 2018, maka pengumuman abstrak langsung diterima tanggal 5 Februari 2018 dan penyerahan kertas dari tanggal 6 sampai 15 Februari 2018. Ada yang pertemuan abstrak 19 Mei 2021, pengumuman abstrak akan segera dilakukan paling lambat 22 Mei 2021, batas waktu kertas selesai 5 Juli 2021.

Namun, hal yang menggembirakan bahwa bentuk publikasi pasca konferensi cenderung bervariasi. Ada bab yang diterbitkan dalam buku, prosiding abstrak dan kertasjurnal terindeks nasional (SINTA) dan indeks internasional (khususnya Scopus).

Konferensi: tugas akademik atau relaksasi sosial?

Muka konferensi akademik ilmu komunikasi di Indonesia memadukan perayaan diseminasi pengetahuan hasil penelitian dan jejaring sosial dengan fungsi social détente.

Misalnya, setelah konferensi, peserta berkesempatan untuk “menikmati” tempat wisata baru yang eksotis, bertemu dan mengajak pembicara terkenal. selfie (Selfie) untuk meningkatkan “status sosial” sebagai seorang akademisi.

Situasi ini menyisakan masalah lain terkait diskriminasi status sosial dan kemampuan ekonomi antara peserta dari universitas dengan dukungan finansial yang kuat dan dari Indonesia bagian barat dan peserta dari universitas kecil di wilayah timur.

Ketika memilih lokasi konferensi, misalnya, keputusan cenderung dibuat secara bergantian di masing-masing negara bagian federal. Penyelenggara seringkali memprioritaskan lokasi di wilayah metropolitan atau kota besar. Kota-kota unggulan wisata menjadi pilihan untuk meningkatkan daya tarik peserta.

Alih-alih lembaga akademis, penyelenggara mengadakan kemitraan sponsorship dengan pemerintah dan perusahaan. Ini bisa dalam bentuk pertukaran pembicara atau jamuan makan. Alhasil, pejabat pemerintah lebih cenderung tampil di panggung sebagai pembicara utama ketimbang ilmuwan atau peneliti yang rajin mempelajari sains.

Misalnya Konferensi Komunikasi Nasional (KNK) pada tanggal 8 Maret 2018 secara umum disebut: komunikasi dalam masyarakat saat ini (Komunikasi dalam masyarakat saat ini). Bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), penyelenggara konferensi ini mengundang Menteri Rudiantara dan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan sebagai keynote speaker.

Dari sisi budaya politik, kehadiran sejumlah pejabat tingkat pusat dan daerah di berbagai konferensi di Indonesia menunjukkan kegigihan warisan rezim otoriter Orde Baru yang unik di Indonesia.

Masih adanya pola pikir paternalistik (berdedikasi pada sosok “ayah” yang berwibawa) yang memposisikan PNS sebagai bapak pelindung. Oleh karena itu, mereka dianggap sebagai penentu semua politik (arah gagasan, keputusan politik) termasuk pengembangan disiplin ilmu komunikasi.

Konferensi menghadirkan para menteri sebagai pembicara utama. APAKAH K

Selain mengisyaratkan motivasi untuk mencari dukungan keuangan melalui presentasi dari pejabat publik, budaya ini menyoroti rendahnya harga diri akademisi di Indonesia sebagai sarjana yang mandiri dan mampu memecahkan masalah dan mengekspresikan diri secara mandiri di depan umum.

Akreditasi universitas dan pemeringkatan universitas di tingkat nasional dan global juga menjadi ciri dari kemeriahan konferensi ini. Ini tampaknya menjadi status pencapaian mobilitas akademik.

Ada berbagai bentuk intervensi negara dalam kaitannya dengan konferensi di Indonesia. Intervensi ini dapat berdampak positif atau negatif, tergantung bagaimana para ilmuwan bereaksi terhadapnya. Bentuk intervensi politik biasanya tidak langsung, seperti: B. penetapan nilai kredit dosen, akreditasi institusi, pendanaan dan kewajiban evaluasi kinerja dosen dan perguruan tinggi.

Berbagai bentuk intervensi ini disajikan dalam tabel di bawah ini dan berkontribusi pada iklim konferensi.

Meski terkesan “diam”, pemerintah secara sistematis ikut campur lewat politik sekaligus ikut campur dalam pola pikir kegiatan konferensi akademik di Indonesia mengatasnamakan otoritas pendidikan.

Banyak sponsor

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa kegiatan konferensi telah menjadi model bisnis baru bagi universitas dan organisasi profesi untuk menunjukkan citra diri lembaga dan mengumpulkan keuntungan finansial.

Misalnya, informan dalam penelitian ini menyebutkan bahwa penggalangan dana dari konferensi tersebut cukup besar dan setidaknya mampu menutupi biaya acara.

Biaya pendaftaran untuk berbagai konferensi ini masih masuk akal – antara Rp 1 dan 2 juta (tidak termasuk menginap di hotel). Namun, pendanaan konferensi yang tidak terbatas pada biaya pendaftaran tampaknya sudah menjadi hal yang umum di Indonesia. Penyelenggara lebih suka bekerja dengan sponsor perusahaan atau pemerintah daripada mengelola biaya atau mendaftarkan pembicara dan pembicara.

Konferensi juga sering dikemas sedemikian rupa sehingga perusahaan, pemerintah, dan akademisi memandang acara ilmiah ini sebagai “investasi sosial” yang dituai oleh para pemangku kepentingan, termasuk industri pariwisata.

Singkatnya, kecuali ada perubahan mendasar dalam penyelenggaraan konferensi akademik, sulit untuk mengharapkan konferensi semacam itu dapat berdampak pada kepentingan dan kemajuan ilmu pengetahuan yang berkualitas.Percakapan

Masduki, Dosen dan Peneliti Kebijakan Media pada mata kuliah Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

Artikel ini pertama kali muncul di The Conversation. Baca artikel sumber.

Source: www.readers.id

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button