Asal Usul Kisah Kesetiaan Dukuh Tunggon Sragen dan Mbah Sedo Putri - Solopos.com - WisataHits
Jawa Tengah

Asal Usul Kisah Kesetiaan Dukuh Tunggon Sragen dan Mbah Sedo Putri – Solopos.com

SOLOPOS.COM – Gerbang Dusun Tunggon, Desa Karangpelem, Kecamatan Kedawung, Kabupaten Sragen. Foto diambil Kamis (20/10/2022). (Solopos.com/Galih Aprilia Wibowo).

Solopos.com, SRAGEN — Dusun Tunggon di Desa Karangpelem, Kecamatan Kedawung, Kabupaten Sragen memiliki mata air yang dipercaya dapat menyembuhkan penyakit. Penduduk setempat menyebutnya Umbul Ngepok Tunggon.

Sejak tahun 2020, Umbul Ngepok Tunggon menjadi salah satu destinasi wisata di Kedawung. Setelah dibuka kembali pasca pandemi Covid-19, Umbul Ngepok Tunggon hampir tidak pernah sepi. Mitos air yang menyembuhkan penyakit menjadi daya tarik mata air ini.

Daihatsu Rocky Promotion, Harga Mobil Rp 200 Juta Jadi Hanya Rp 99.000

Direktur Badan Usaha Milik Desa (BumDes) Karangpelem Riyas Prihanto mengatakan, mitos air dari Umbul Ngepok menyembuhkan penyakit masih bertahan hingga saat ini.

“Saat ini masih sering jam 06:00 pagi WIB, orang mandi, mereka percaya berendam di air yang berasal dari Umbul Ngepok bisa menyembuhkan penyakit salah satunya saraf terjepit,” jelas Riyas. Solopos.com di rumahnya, Kamis (20/10/2022).

Pengunjung tidak hanya berasal dari warga sekitar, tetapi juga dari Kabupaten Karanganyar. Riyas mengatakan keefektifan air yang diyakini warga sekitar tak lepas dari keberadaan makam Mbah Sedo Putri di sebelah sumber air.

Baca Juga: Pahitnya Lagu Kanjuruhan dan Kegigihan Kritik Sosial Ivan Fals

Salah satu tetua setempat, Citro Suparno, mengatakan, sumber air Dukuh Tunggon berbeda dengan daerah lain. Airnya lebih segar dan tidak pernah berlumut.

Asale Dukuh Tunggon Desa Celep, Kecamatan Kedawung, SragenUmbul Ngepok Tunggon, di Dusun Tunggon, Desa Karangpelem, Kecamatan Kedawung, Kabupaten Sragen, dipercaya dapat menyembuhkan penyakit. Foto diambil Rabu (19/10/2022). (Solopos.com/Galih Aprilia Wibowo)

Soal siapa Mbah Sedo Putri, Citro mengaku dipercaya sebagai orang pertama yang tinggal di Dukuh Tunggon. “Dulu putri Mbah Sedo tinggal bersama Mbah Sedo Lanang, kemudian putri Sedo meninggalkan Sedo Lanang,” jelas Citro.

Mbah Sedo Lanang tenggelam dalam perjalanannya di daerah yang sekarang bernama Desa Celep. Nama Celep berasal dari kata meneteskan air liur apa yang dimaksud dengan tenggelam

“Di sini namanya Dukuh Tunggon karena tempat menunggu nenek Sedo Putri meninggal,” jelas Citro.

Baca Juga: Jejak Steam Station dan Desa Sepuran di Desa Sisvodipuran Boyolali

Sedangkan makam Nenek Sedo Lanang terletak di RT 22A, Dusun Celep Kidul, Desa Celep, Kecamatan Kedawung. Tempat itu menjadi tempat wisata religi.

Tokoh masyarakat setempat yang juga anggota DPRD Sragen, Thohar Ahmadi. mengatakan bahwa Nenek Sedo Lanang adalah seorang pejuang dan termasuk keturunan ras Derpoyudo. Nenek Sedo adalah anak ketiga dari Ki Ageng Derpoyudo.

“Orang-orang memanggilnya Nenek Sedo, dialah yang memberi nama Desa Celep,” katanya saat bertemu dengannya. Solopos.com beberapa waktu lalu di rumahnya.

Ki Ageng Derpoyudo awalnya adalah seorang prajurit Keraton Solo. Ia kemudian memihak Pangeran Mangkubumi, yang akhirnya menjadi menantunya. Putra Ki Ageng Derpoyudo, Rr Sulastri, menikah dengan Pangeran Mangkubumi dan menjadi Permaisuri bergelar Kanjeng Ratu Mas. Putra ini menjadi Sultan Hamengku Buwono II dan secara turun-temurun menjadi Sultan Yogyakarta.

Baca juga: Asale Desa Mulur Sukoharjo, Antara Keraton Surakarta dan Pangeran Diponegoro

Nenek Sedo juga dikenal sebagai Prawiro Mantri (Perang Sedo). “Perang Sedo artinya panglima perang melawan penjajahan Belanda,” kata salah satu pengurus Masjid Darul Fattah, Juahiril Anwar. Masjid ini berdiri berdampingan dengan makam Nenek Sedo.

Diskbud versi Sragen

Mengutip dari buku cerita Pedusunan Bunga Rampai Toponimi di Kabupaten Sragen oleh Badan Pendidikan dan Kebudayaan (Diskbud) Sragen, asal-usul Dukuh Tunggon telah diarsipkan Kisah Kesetiaan Seorang Istri Kepada Suaminya (Asal Mula Dukuh Tunggon Kedawung).

Asal mula Dukuh Tunggon versi buku berawal dari kisah hidup sepasang suami istri yang tinggal di desa dekat sungai, yaitu Ki Kerto Menggolo dan istrinya.

Kerto Menggolo adalah anak dari nenek Derpoyudho dan istrinya Widuri. Hidup di era Mataram Kartasura sekitar tahun 1700. Di tempat baru ini, Kerto Menggolo berganti nama menjadi Ki Sedo. Karena kewibawaannya, ia menjadi orang yang disegani di desa.

Baca juga: Konon Peninggalan Joko Tingkir, Air Mancur di Sragen Ini Tak Pernah Kering

Mbah Sedo berpamitan dengan istrinya dan pergi entah kemana. Dia menyarankan istrinya untuk menunggu kepulangannya. Tidak terlalu jauh untuk melakukan perjalanan, nasib sial menimpa Mbah Sedo. Dia terpeleset ke sungai dan mati.

Mbah Sedo Putri tidak mengetahui jika suaminya meninggal akibat hanyut di sungai. Dia tetap setia dan, menurut pesannya, menunggu kepulangan suaminya.

Suatu hari, putri Mbah Sedo mendengar kabar bahwa suaminya telah meninggal. Dimakamkan di daerah lain yang sekarang disebut Desa Celep. Betapa patah hati. Akhirnya keinginan itu datang
hatinya untuk melihat makam suaminya.

Sesampainya di tempat kejadian, dia menjadi yakin bahwa suaminya memang telah meninggal. Setelah memastikan suaminya telah meninggal, putri Mbah Sedo kembali ke rumah. Dia tinggal sendirian selama sisa hidupnya di rumah yang dibangun suaminya. Rumah tempat mendiang suaminya menunggu kepulangannya.

Source: news.google.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button