Mengenal Budaya Sedekah Laut di Pantai Baron Gunungkidul - WisataHits
Yogyakarta

Mengenal Budaya Sedekah Laut di Pantai Baron Gunungkidul

Liputan6.com, Gunungkidul – Pantai Baron di Kalurahan Kemadang, Kapanewon Tanjungsari, Gunungkidul, DIY sudah lama dikenal sebagai tempat pemancingan ikan. Buktinya, banyak perahu nelayan Jungkung yang terparkir di bibir pantai.

Hampir seluruh warga Kemadang bergantung pada hasil laut di Pantai Baron, mulai dari nelayan mencari ikan hingga beberapa kerajinan hasil laut yang menjadi komoditas dambaan warga. Bahkan tidak sedikit warga dari daerah lain yang tinggal di lepas Pantai Baron ini.

Surisdyanto, warga Kemadang yang juga petugas SAR di kawasan itu, mengatakan Pantai Baron merupakan sumber kehidupan masyarakat. Seiring berjalannya waktu, kawasan pesisir berkembang menjadi kawasan wisata.

“Pantai Baron itu unik, salah satu yang paling terkenal adalah sungai bawah tanah yang mengalir ke laut. Sungai itu mengikis pasir, sehingga pola atau bentuk permukaan pantai bisa berubah tergantung arus yang deras. Itulah yang membuat Pantai Baron istimewa. “ujarnya di sela-sela acara Amal Laut.

Mengenai Sedekah Laut sendiri, Suris mengatakan sebagai bentuk rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa karena telah menyediakan tempat dengan potensi yang besar. Mulai dari makanan laut hingga daerah memiliki karakter yang berbeda-beda.

“Ini ungkapan karena kami orang Jawa dan masih kental dengan budaya Jawa, jadi cara dan prosesinya menggunakan adat Jawa. Namun, untuk shalat itu sendiri dalam Islam,” jelasnya.

Penggunaan tata bahasa Jawa merupakan kesepakatan warga, dimana selain penggunaan pakaian adat Jawa, bahasa dan penyajiannya sendiri menggunakan tata bahasa Jawa. Tak hanya itu, penataan tempat duduk pun diatur di mana para tamu berada di ujung tengah.

“Jadi tamu dimuliakan, jadi lokasi sentral prosesnya. Sedangkan peserta lainnya duduk berhadapan dengan para tamu. Cara duduknya juga diatur, yaitu duduk bersila atau berlutut bagi perempuan,” kata Suris.

Suris mencontohkan, standar sedekah juga menggunakan simbol atau simbol kehidupan. Dimana hasil bumi, hasil laut, hewan hidup, dll ditata dan ditata dalam sebuah miniatur rumah kecil atau “Gununggan”.

“Kami menyebutnya sebagai persembahan, jangan menganggapnya sebagai sesuatu yang negatif dulu. Ini adalah gambaran kecil dari segala sesuatu yang menjadi sumber kehidupan masyarakat, sehingga dijadikan satu untuk berlabuh. Ini lebih tepat disebut sea charity bagi warga,” kata Suris.

Dalam acara amal laut itu sendiri, telah berkembang apa yang hanya jamuan makan dan makan bersama di pantai, sekarang dalam bentuk setengah pertunjukan. Dimana sesaji atau gunungan diarak dari lokasi pelelangan ikan ke pendopo upacara.

Prosesi juga disesuaikan dengan pakaian dan simbol ukuran. Misalnya, barisan depan adalah prajurit ala “Berdo” atau Istana Mataram. Kemudian para wanita pengadilan mengikuti.

“Jadi pesanannya dulu Bergodo, kemudian dayang dayang yang menunggu membawa bunga, miniatur rumah penuh hasil bumi, lalu warga dan nelayan,” jelasnya.

Usai pawai, lanjut Suris, rombongan menuju pendopo untuk melakukan ritual. Ritual yang dimaksud terdiri dari semua barang bawaan yang diarak diletakkan di tengah, dikelilingi oleh tamu dan warga, kemudian doa-doa Islam yang dipadukan dengan bahasa Jawa dibacakan sebagai permintaan.

“Karena mayoritas penduduk di sini beragama Islam, shalatnya menggunakan bacaan Al-Qur’an, tetapi doa dan harapan masa depan juga disisipkan dalam bahasa Jawa. Dan uniknya semua yang hadir bilang amin, ada yang bilang ‘nggih’ atau ya,” ujarnya.

Source: www.liputan6.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button