Jawa Timur

Pengurangan tempat parkir umum di jalan raya di Surabaya

JawaPos.com– Parkir umum pinggir jalan (TJU) di Surabaya kurang. Pemicunya adalah dua tahun penyebaran virus corona. Selama pandemi Covid-19, banyak restoran, kafe, taman, dan area publik lainnya ditutup.

Manajer Lalu Lintas Dinas Perhubungan (Dishub) Surabaya Soesandi Ismawan mengatakan, lahan parkir TJU tersebar di 1.223 titik. Itu kurang dari 1.800 poin tahun sebelumnya. “Faktor di balik penurunan itu bermacam-macam. Misalnya, beberapa restoran tutup selama pandemi,” katanya.

Selain itu, ada perubahan manajemen lalu lintas dan pengembangan kawasan wisata yang menghilangkan opsi parkir. TJU juga mengurangi kewajiban pengusaha menyediakan kantong parkir.

Menurut Soesandi, dinas perhubungan tidak bisa memungut retribusi terhadap kendaraan yang diparkir di kantong-kantong parkir gedung komersial. Itu kewenangan Badan Pajak Daerah (Bappenda). “Pemungutan biaya parkir bukan lagi biaya parkir,” katanya.

Berdasarkan catatan Dishub, biaya parkir TJU berbeda-beda. Rata-rata Rp 68 juta per bulan. Menurut Soesandi, setiap titik TJU memiliki potensi pendapatan yang berbeda-beda. Daerah Kedungdoro misalnya. Penyetoran tugas Jukir pagi dan sore yang bertugas berbeda. Karena pada sore hari, tempat parkir TJU harus berbagi ruang dengan pedagang kaki lima (PKL).

Sebagian besar tempat parkir TJU terletak di area perhotelan dan layanan. Ada 362 titik di tempat kuliner dan 346 titik di bengkel. Paling sedikit di cluster taman, yaitu hanya 5 poin.

Untuk menghitung potensi parkir TJU tahun depan, Dishub Surabaya bekerja sama dengan Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (UWKS). Perwakilan UWKS, Dr. Ir Siswoyo MT menjelaskan, dari 1.223 lahan parkir yang diperiksa ada 105 titik. Menurut dia, butuh waktu enam bulan untuk merealisasikan potensi parkir TJU.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi C DPRD Surabaya Aning Rahmawati mengatakan potensi taman tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal. Ada banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Salah satunya adalah hilangnya pendapatan dan pembayarannya tidak cashless. “Potensi pendapatan riil perlu dihitung agar kita bisa mengetahui solusi kebijakan seperti apa yang ada,” jelasnya.

Source: www.jawapos.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button