Kelelawar dalam Gempa - KBK - WisataHits
Yogyakarta

Kelelawar dalam Gempa – KBK

Presiden Jokowi meninjau tenda pengungsian di Taman Prawatasari.

Tampilan postingan: 53

SAMPAI Saat ini, korban tewas akibat gempa Cianjur tercatat 321 orang, dan bantuan mengalir dari berbagai arah, tanpa memandang agama, partai, dan suku. Berbagai macam reaksi masyarakat terhadap bencana ini, ada yang berusaha menjadi preman, bahkan bencana tersebut dianggap wisata halal. Dan sekarang semua orang bisa menjadi jurnalis melalui media sosial, banyak orang akan membuat komentar lucu, baik SARA atau tidak.

Sudah menjadi naluri setiap orang untuk selalu ingin tahu atau mengetahui lebih banyak tentang kejadian yang baru saja terjadi. Saat gempa Cianjur terjadi pada Senin siang, 21 November, masyarakat tidak puas hanya mendengar di radio tapi melihatnya di koran dan televisi. Banyak yang menggunakan kendaraan pribadi untuk langsung menuju daerah Cianjur, daerah gempa. Bukan untuk menyumbang, hanya untuk melihat-lihat saja, meski Menteri Pariwisata dan Industri Kreatif Sandiaga Uno tidak pernah memintanya.

Kalau hanya satu atau dua orang tidak masalah, tapi ada mobil, jadi kedatangan mereka akan menyebabkan kemacetan lalu lintas. Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan petugas evakuasi BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana). Karena itu, Kepala BNPB Letjen Suharyanto mengimbau masyarakat tidak menjadikan lokasi gempa sebagai tontonan seperti di kawasan wisata.

Jika ingin berdonasi silakan saja, tapi sebaiknya melalui posko yang sudah disiapkan, jangan langsung ke rumah orang. Karena itu, polisi diminta bertindak tegas untuk mengusir mereka. “Sehingga ini juga menjadi himbauan kepada rekan media untuk menyampaikan agar kegiatan tersebut tidak mengganggu proses penanganan masyarakat terdampak,” ujarnya.

Adalah tugasnya untuk datang ke lokasi bencana. Tapi sekarang, karena ponsel berteknologi tinggi, semua orang berpura-pura menjadi jurnalis. Tanpa memikirkan implikasinya, ia mengunggah rekaman video lama yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan gempa Cianjur. Akibatnya, masyarakat tertipu untuk melihat peristiwa lama sebagai peristiwa yang sedang berlangsung di Cianjur.

Ketika jurnalis menerbitkan berita, ada rasa tanggung jawab, seleksi, karena memikirkan dampaknya bagi publik. Namun ketika pemilik ponsel ini memposting atau berkomentar di Twitter, banyak yang asal-asalan. Misalnya, seseorang men-tweet: “Terlalu dibesar-besarkan, setiap jalan banyak orang yang meminta sumbangan ke Cianjur. Masyarakat Cianjur terlalu dimanja memikirkan sumbangan setiap saat. Tidak mandiri” Tulis akun @Incess Amoy.

Aneh kan dari nama pemilik rekening, ada nama lain gak? inses itu berarti berhubungan seks dengan saudara kandung. kemudian amoy,…..ah sudahlah, nanti malah terjebak di urusan SARA. Yang jelas pemilik akun ini di-bully oleh netizen karena menunjukkan sama sekali tidak bersimpati kepada mereka yang sedang berduka pascabencana.

Mana mungkin korban gempa dianggap dibesar-besarkan karena berharap sumbangan dan tidak bisa mandiri. Bagaimana seseorang bisa mengandalkan kemampuan sendiri dalam situasi darurat seperti itu, di mana sarana dan prasarana hancur, juga membuat kegiatan ekonomi terhenti? Berpikir, atau……pemegang akun benar-benar tidak punya pikiran?

Memang, komentar Incess Amoy mengacu pada kehadiran orang-orang yang mencegat mobil bantuan dan memaksa penurunan sumbangan. Jika tidak, silakan kembali. Tentu saja, para donatur memilih memutar mobilnya, memutar balik, dan mencari jalan lain. Belum bisa dipastikan apakah mereka korban gempa atau hanya preman desa yang mencari peluang dalam situasi sulit.

Menurut BNPB, jumlah korban meninggal per hari mencapai 321 orang, sedangkan 11 orang masih hilang atau tidak ditemukan. Dan bantuan berupa uang juga mengalir dari berbagai sumber, baik perusahaan, perorangan maupun lembaga. Menurut Pemkab Cianjur, hingga Sabtu 26 November sudah mencapai Rp 2,5 miliar dari 383 transaksi. Sebenarnya masih terlalu kecil. Tapi kalau si pendonor bilang, “Jangan lihat nominalnya, tapi itu bentuk empati kita,” apa yang akan si pendonor katakan?

Sayangnya, ada orang yang memancing di air keruh. Saat tenda milik kelompok gereja berdiri di posko bantuan, tiba-tiba ada yang merobek logo gereja. Orang yang sangat picik. Dalam membantu korban bencana, tidak perlu diperhatikan siapa yang membantu dan siapa yang ditolong. Terakhir, gempa tidak pernah pilih-pilih bangunan mana yang Islam dan mana yang Kristen. Semua bertemu. Demikian mantan Ketua PBNU KH. Kata Aqil Siraj berkata: “Mereka belum dewasa.”

Presiden Jokowi saat mengunjungi korban gempa di pengungsian Taman Prawatasari mengatakan, pemerintah telah menyiapkan bantuan untuk merenovasi rumah-rumah penduduk. Yang rusak berat mendapat Rp 50 juta, yang rusak sedang Rp 25 juta dan yang rusak ringan Rp 10 juta. “Bangun nanti setelah gempa reda ya…” kata Presiden.

Ini memperingati korban gempa Yogyakarta Mei 2006. Itu adalah warga dari Kec. Ngombol, Kabupaten Purworejo sedang membangun rumah yang belum rampung karena keterbatasan dana. Saat rumahnya juga hancur akibat gempa Yogyakarta, pemerintah menerima bantuan Rp 20 juta. Alhamdulillah, karena efek gempa, rumah yang tadinya belum selesai kini bisa diselesaikan dan terlihat berkelas. Mungkin pemiliknya bertanya dalam hati: “Kapan ada gempa lagi ya, serambinya belum dibangun.” (Cantrik Metaram)

Source: news.google.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button