Di belakang cagar alam di Taman Nasional Komodo - WisataHits
Jawa Barat

Di belakang cagar alam di Taman Nasional Komodo

Di belakang cagar alam di Taman Nasional Komodo

Oleh: Ewaldus Bole

INDONEWS.ID – Kebijakan pembatasan jumlah pengunjung dan digitalisasi di Taman Nasional Komodo (TNK) yang ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Pemprov NTT mendapat tentangan dari berbagai kalangan. Penolakan kebijakan muncul karena tidak melibatkan unsur masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan dan tidak adanya sosialisasi sehingga menimbulkan banyak pertanyaan di masyarakat.
Konservasi alam sebagai alasan utama

Gagasan melestarikan keanekaragaman hayati di TNK harus didukung untuk melestarikan komodo. Ide pelestarian komodo didasarkan pada penelitian Peter A. Ouwens, direktur Museum Zoologi Bogor pada tahun 1911-1912 (P3EBNT, 2018). Dimana, upaya pelestarian dan perlindungan komodo kemudian dilakukan pada tahun 1912 ketika wilayah Pulau Komodo masih berada di bawah Kerajaan Bima. Kebijakan ini didukung oleh Masyarakat Konservasi Alam Hindia Belanda (Ping, 2006).

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 menyatakan bahwa taman nasional dapat digunakan sebagai bentuk pelestarian keanekaragaman hayati untuk penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budaya, pariwisata dan rekreasi. Untuk itu, salah satu upaya pelestarian keanekaragaman hayati di TNK adalah dengan membatasi pengunjung sesuai dengan daya dukung dan daya tampung TNK.

Berdasarkan Studi Daya Dukung dan Kapasitas yang dilakukan Ditjen KSDAE KLHK melalui Balai Taman Nasional Komodo (BTNK), jumlah pengunjung ideal per tahun ke Pulau Komodo adalah 219.000 wisatawan dengan maksimal 292.000 pengunjung. Oleh karena itu, perlu ditetapkan kuota pengunjung dengan sistem pembatasan pengunjung. Tujuannya adalah untuk meminimalkan dampak negatif kegiatan pariwisata terhadap konservasi populasi komodo dan satwa liar lainnya, untuk menjaga kelestarian ekosistem khususnya di pulau Komodo dan Padar, serta untuk menjamin kenyamanan pengunjung dan petugas selama mereka berada. kegiatan di Taman Nasional Komodo.

Realitas di balik konservasi

Upaya pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK RI) untuk melaksanakan agenda konservasi di TNK merupakan respon terhadap krisis ekologi yang tentunya sangat mengancam keberadaan dan keberadaan komodo. Namun dalam praktiknya, pelaksanaan konservasi di TNK tidak terlepas dari berbagai dampak sosial seperti keterasingan masyarakat, konflik kepentingan dan kemiskinan (Muthohharoh et al., 2021). Praktik konservasi telah menimbulkan masalah seperti keterasingan masyarakat (Cinner & Aswani, 2007), konflik dengan masyarakat (Carranza et al., 2020; Hauzer, Dearden & Murray, 2013), dan penciptaan kemiskinan masyarakat baru. (Adams, 2004)

Di sisi lain, dalam pengelolaan dan pelaksanaan konservasi terdapat hubungan politik antara manusia dan alam, salah satunya berkaitan dengan hak dan akses terhadap sumber daya (Adams & Hutton, 2007). Ribot & Peluso (2003) menyebutkan bahwa konsep akses melekat pada kekuasaan. Ketidakseimbangan kekuatan dalam penggunaan sumber daya atau ruang adalah hal biasa (Bryan & Bailey, 1997) dan dapat menyebabkan tersingkirnya pihak atau kekuatan yang lebih lemah (Hall, Hirsch & Li, 2011).

Pada tahun 2021, Journal of Rural Sociology Solidality mempresentasikan hasil penelitiannya tentang Kontestasi Pemanfaatan Ruang di Taman Nasional Komodo: Perspektif Akses dan Eksklusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pertama, pengelolaan konservasi di Taman Nasional Komodo telah bergeser dari perspektif berbasis ekologi (EBC) ke perspektif konservasi berbasis pasar (MBC), yang menyebabkan perubahan aktor. Kedua, sebagai akibatnya, muncul seperangkat kekuatan baru dengan aktor yang berbeda di setiap jenis periode konservasi. Selama periode EBC ada ketidakseimbangan kekuatan antara masyarakat lokal di satu sisi dan kantor TNK dan LSM konservasi di sisi lain. Ketiga, aspek hukum merupakan sumber kekuasaan yang terakhir. Di era MBC, sumber kekuasaan adalah pasar dan peradilan. Ketiga, ada kekuatan baik pada periode EBC maupun MBC yang menyebabkan pengucilan komunitas lokal.

Aktor dan kepentingan di KNP

Perubahan orientasi pengelolaan TNK dari EBC menjadi MBC menyebabkan perubahan pemanfaatan ruang di TNK sebagai efek domino perubahan aktor dan kepentingan. Selama KTN Conservation Management Alignment to Protecting Komodo Environment and Wildlife (EBC Period), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, LSM, sektor pariwisata swasta dan masyarakat lokal merupakan aktor strategis yang berperan penting dalam pengelolaan.

Namun, fokus pengelolaan konservasi di TNK telah bergeser ke konservasi berbasis pasar (market-based Conservation/MBC). Selama periode MBC, hubungan antara kekuasaan (aktor) dan kepentingan dalam menggunakan ruang TNK menjadi kompleks. Dimana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bertugas memenuhi fungsi perlindungan lingkungan yang secara teknis dilaksanakan oleh Balai Taman Nasional Komodo (BTNK). Sedangkan pengguna adalah Kementerian Pariwisata dan Industri Kreatif yang secara teknis dioperasikan oleh Badan Pelaksana Otoritas Labuan Bajo Flores (BPOLBF), dan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Di sisi lain, kotamadya merupakan subjek yang sangat bergantung pada sumber daya alam di kawasan TNK untuk kebutuhan sehari-harinya. Secara historis, masyarakat telah mengalami beberapa kali perubahan mata pencaharian sebagai bentuk penyesuaian pola pemukiman, karakteristik ekologi, dan dampak dari kebijakan pengelolaan kawasan TNK. Pada masa MBC, orang-orang ini mendapat ancaman eksklusif dari gagasan penutupan dan relokasi penduduk Pulau Komodo yang diajukan oleh Gubernur NTT.

pemain pendanaan

Mekanisme akses yang dilakukan selama implementasi MBC adalah teknologi dan permodalan. Berkaitan dengan permodalan, pengelolaan divisi TNK dipercayakan kepada 2 (dua) perusahaan yaitu PT. Ekowisata Satwa Komodo dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 796/Menhut/11/2013, 9 September 2013 (Pulau Padar dan Pulau Loh Liang Komodo) dan PT. Segara Komodo Lestari dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 5.557/Menhut/11/2013 tanggal 9 September 2013 (Loh Buaya di Pulau Rinca). Kedua perusahaan tersebut dimiliki oleh David Makes yang juga merupakan Ketua Tim Percepatan Ekowisata Nasional yang memiliki sejumlah perusahaan yang beroperasi di hampir setiap taman nasional di Indonesia.

poin 2014 Ekowisata Satwa Komodo mendapat IUPSWA di Pulau Komodo dan Pulau Padar pada September 2014 seluas 426,07 ha, terdiri dari: 274,13 ha di Pulau Padar (19,6 4 luas Pulau Padar), masing-masing 151,94 ha Pulau Komodo ( 0,5 & dari area Pulau Komodo). Sarana dan prasarana yang dapat dibangun seluas 42,6 ha Pada tahun 2015 PT. Segara Komodo Lestari memperoleh IUPSWA di Pulau Rinca dengan luas 22,1 Ha (O.15 luas Pulau Rinca) dan izin mendirikan sarana dan prasarana maksimal 109 dari luas izin yang diberikan, yang seluas 2,21 Ha Selain kedua perusahaan tersebut juga terdapat PT. Synergi Niagatama yang juga mendapatkan izin usaha di Kawasan Taman Nasional Komodo dan PT. Flobamora saat ini sedang dalam proses perizinan untuk berinvestasi di kawasan Taman Nasional Komodo (Sorot Jakarta, 2020). Sedangkan yang lainnya adalah Direktur Utama BPOLBF yang merupakan pengusaha di bidang pariwisata.

Desain bisnis di KNP

Pada 2019, Presiden BPOLBF Shana Fatina menyampaikan wacana tarif masuk Taman Nasional Komodo menjadi 14 juta atau setara dengan $1000 dalam rangka mewujudkan rencana pemerintah menjadikan Labuan Bajo sebagai destinasi wisata unggulan (Kompas, 2019). . Dimana Presiden Jokowi pernah mengatakan bahwa pengembangan destinasi super premium Labuan Bajo akan dimulai pada awal tahun 2022. Untuk merealisasikan program tersebut, pemerintah berencana menjadikan Labuan Bajo sebagai destinasi wisata super premium dengan memperkenalkan sistem keanggotaan.

Model bisnis keanggotaan Taman Nasional Komodo dibagi menjadi beberapa segmen. Salah satunya adalah segmentasi berdasarkan demografi. Segmentasi berdasarkan segmentasi ini dilakukan dengan melihat profil kelas sosial atas, yang dibagi menjadi tiga (3 cluster) berdasarkan kekayaan kekayaannya, yaitu Kaya (Kaya) 1-5 M USD, Sangat Kaya (Sangat Kaya) ) 5 – $30 juta dan Ultra Kaya > $30 juta. dimana tujuan utama dari program keanggotaan ini dibagi menjadi 3 segmen utama yaitu First Ultra Rich berlaku bagi para dermawan untuk menjadi First Priority. Kedua, “Sangat Kaya” adalah prioritas utama untuk “Experientialist” dan “Tradisionalis” dan “Kemewahan Didorong Kemewahan” adalah prioritas kedua. Ketiga ranah tersebut berfungsi sebagai non-anggota dengan fasilitas yang berbeda untuk setiap anggota.

jalan tengah

Dalam upaya meminimalisir berbagai kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam pengelolaan TNK, setidaknya ada empat hal yang menjadi sangat penting, yaitu pertama, mengembalikan fokus kegiatan konservasi dari konservasi berbasis pasar menjadi konservasi berbasis ekologi. Komodo Dragon dipelihara. Kedua, mempertimbangkan kepentingan masyarakat lokal dalam segala keputusan kebijakan, karena bagaimanapun kearifan masyarakat lokal harus dilestarikan sebagai bagian dari warisan budaya. Ketiga, penting untuk melibatkan orang-orang dari berbagai sektor dalam proses pembuatan kebijakan. Dengan tujuan agar kebijakan yang diputuskan memperhatikan kepentingan masyarakat setempat. Keempat, KLHK perlu mengkaji dan mempertimbangkan kembali izin beberapa perusahaan yang beroperasi di Taman Nasional Komodo.*

Source: indonews.id

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button