Anjasmoro 25 Heritage House, Sejarah Orang Jawa di Tempat Tinggal Belanda - WisataHits
Jawa Timur

Anjasmoro 25 Heritage House, Sejarah Orang Jawa di Tempat Tinggal Belanda

Irawan Prajitno dan Ratna Shanty Indrasari, generasi ketiga pemilik rumah pusaka Jl Anjasmoro no 25 kota Malang. (Tidak)

BACAMALANG.COM – Seperti kota-kota lain di Indonesia pada umumnya, Kota Malang tumbuh dan berkembang setelah kehadiran pemerintah kolonial Belanda. Sejumlah fasilitas umum dan perumahan dirancang untuk memenuhi kebutuhan keluarga Belanda.

Seperti yang digambarkan di kawasan “bergenbuurt” atau pegunungan, yaitu Ijen Boulevard dan sekitarnya, yang hanya bisa dinikmati oleh keluarga Belanda dan orang Eropa lainnya. Sedangkan penduduk asli harus puas tinggal di desa atau di pinggiran. Namun, ada sebuah rumah di Jalan Anjasmoro, tepatnya no. 25, yang telah dihuni oleh penduduk asli sejak awal.

“Pak Slamet, nama yang tidak mungkin milik warga negara Belanda ya, itu kakek saya yang sudah tinggal di rumah ini sejak tahun 1935, setahun setelah dibangun tahun 1934,” kata Irawan Prajitno, yang ditemui di rumah tersebut. pemiliknya saat itu sendiri di akhir pekan di kediamannya yang nyaman dan asri.

Irawan mengatakan kakeknya bisa tinggal di rumah di daerah itu karena dia bekerja di kota Malang sebagai dokter hewan dan sebagai pengelola rumah jagal, posisi yang sangat langka bagi penduduk asli saat itu. “Itu juga membelinya secara mencicil (mencicil) ke pemkot,” katanya.

Pasangan generasi ketiga Irawan dan Ratna Shanty Indrasari mengaku tetap menjaga keaslian arsitektur rumah warisan kakeknya. Tidak ada perubahan, hanya atap dan jendela tambahan di teras samping rumah yang kini digunakan sebagai ruang layanan pos. “Kami juga bersyukur rumah ini, meski sudah berusia di atas 80 tahun, tidak mengalami kerusakan yang berarti,” ujar wanita yang biasa disapa Bu Nana itu.

Ditambahkannya, Belanda yang sebenarnya mengalami empat musim, memperhitungkan segala sesuatunya dalam membangun rumahnya, bahkan untuk daerah tropis. Mulai dari dinding, plafon hingga atap genteng. “Rumah ini memang tipe villa, meski termasuk kategori standar,” ujarnya.

Tampak depan rumah di Jl Anjasmoro 25 Kota Malang ditetapkan sebagai Cagar Budaya. (Tidak)

Seperti yang diceritakan Irawan, pada tahun 1917 pemerintah kolonial membangun kota Malang dalam 8 tahap atau denah Bouw. Daerah ini termasuk dalam Rencana Bouw ke-7, yang dalam beberapa referensi menyebutkan nasibnya untuk pejabat kota atau pengusaha, yang kebetulan orang Belanda.

Slamet, kakeknya, yang lahir pada tahun 1899, adalah seorang dokter hewan yang bertanggung jawab melakukan perjalanan ke berbagai daerah di luar Jawa hingga tahun 1930-an. Pendidikan menjadi perhatian utama Slamet bagi keempat anaknya saat ini. Akhirnya dia berpikir pulau Jawa akan menjadi tempat yang baik untuk anak-anaknya belajar, sehingga dia akhirnya mencoba untuk kembali ke Jawa. “Setelah saya ‘google’ kalau pakai istilah saat ini Pak Slamet cari lowongan dan ternyata kota Malang butuh dokter hewan,” kata Irawan.

Posisi dokter hewan diperlukan karena pemerintah kolonial saat itu berencana membangun Rumah Potong Hewan (RPH) untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging sesuai standar mereka. Pak Slamet yang diterima setelah lamarannya mengikuti proses pembangunan RPH di kawasan Gadang kota Malang hingga diresmikan pada tahun 1937 dan menjadi ketua RPH yang pertama. “Saya masih curiga, karena saya belum menemukan bukti tertulis sampai sekarang, bahwa karena posisi ini, Pak Slamet memiliki akses, manfaat (keistimewaan) dan kemampuan untuk membeli rumah di daerah non-Adat,” jelasnya.

Dari cerita neneknya, Irawan juga menjelaskan bahwa ketika Perang Dunia II pecah dan Jepang mulai menginvasi Indonesia pada tahun 1942, Perumahan Bouw Plan 7 “dipinjam” oleh Angkatan Darat Jepang sebagai kamp interniran bagi warga negara Belanda dan Eropa. Rumahnya dan sekitarnya dirombak untuk menampung perempuan dan anak-anak, sedangkan laki-laki ditempatkan di kawasan Jalan Semeru dan Kawi. “Tentara Jepang kaget karena rumah ini sebenarnya ditempati oleh warga non-Eropa, sehingga keluarga kami di Jalan Ijen No. ‘tertukar’. 37, yang sayangnya sudah tidak berbentuk seperti aslinya lagi,” ujarnya.

Daerah pegunungan ini aman dari taktik bumi hangus pada saat itu karena yang dihancurkan adalah bangunan yang menjadi objek kehidupan, bukan rumah. Ketika Jepang kalah, Pak Slamet dan istrinya yang sedang membantu para pejuang kemanusiaan diburu oleh Belanda yang hendak pulang ke negeri itu. “Akhirnya kami sekeluarga mengungsi ke desa Peniwen di Malang Selatan hingga terjadi peristiwa Peniwen yang mengakibatkan Pak Slamet dibawa ke Lapas Lowokwaru untuk menyaksikan kejadian tersebut,” kata aktivis komunitas sejarah ini Foto Lama Malang.

Setelah tinggal di kawasan Jalan Tanggamus, Pak Slamet, seorang pengurus yang rapi, akhirnya bisa kembali ke rumah Anjasmoro setelah mengurus dokumen dan surat-surat yang disimpan dengan baik meski sudah pindah. Rumah yang juga dikenal dengan nama Amor 25 itu akhirnya ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Pemerintah Kota Malang pada tahun 2019, menurut tim ahli cagar budaya saat itu, melalui proses survei dan studi selama setahun.

Irawan mengaku belum memahami detailnya, namun mengatakan sebuah bangunan dianggap cagar budaya jika memenuhi tiga kriteria, yakni mewakili waktu, memiliki sejarah, dan berusia lebih dari 50 tahun. “Jadi rumah Belanda tahun 1930-an, arsitekturnya seperti itu sementara ada cerita dari sejarahnya tentang membelinya, siapa dan bagaimana membelinya, serta cerita lain seperti yang saya ceritakan, dan usia bangunannya 80 tahun. tahun,” jelasnya.

Ia juga menolak anggapan yang salah bahwa bangunan cagar budaya akan selalu menjadi tujuan wisata bersejarah. “Warisan dan properti adalah dua hal yang berbeda, seperti rumah ini adalah milik pribadi. Setelah itu, tidak selalu dibuka untuk umum, padahal sudah ditetapkan sebagai cagar budaya,” ujarnya.

Menurut Irawan, selama ini dia bisa berkunjung ke rumahnya sebagai tamu pribadi, dan dia juga tipikal tuan rumah yang suka menerima tamu dan mengobrol. Dia hanya bisa menunjukkan kepada tamu bagian ruangan. “Jadi kalau mau lihat-lihat, pasti paling aman dan nyaman buat janji dulu,” ujarnya.

Hibah dari Pemkot Malang saat ini hanya dikompensasikan 50% untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). “Yang lain belum ada cerita lagi, masing-masing kota atau daerah tergantung pemda dan peraturan daerah,” lanjut Irawan.

Selama ini ia mengaku hidup aman dan nyaman bersama Bu Nana dan kelima anjingnya. “Kalau ternyata ada tamu yang merasa berbeda ya tergantung niatnya saja. Kalau turun ya tidak jadi apa-apa,” tutupnya. (Tidak)

Source: bacamalang.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button