Tingginya angka bencana di Pulau Jawa akibat salah urus tata ruang - WisataHits
Yogyakarta

Tingginya angka bencana di Pulau Jawa akibat salah urus tata ruang

Tingginya angka bencana di Pulau Jawa akibat salah urus tata ruang

image_pdfimage_print

Realitarakyat.com – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Wilayah Jawa menyebutkan, tingginya bencana di Pulau Jawa bukan hanya karena faktor alam, melainkan gabungan dari dampak perubahan iklim, tata ruang yang salah urus, mega infrastruktur dan ekonomi politik. kontrol spasial.

“Dari semua faktor yang mempengaruhi bencana, kami mendefinisikan bencana yang melanda Jawa sebagai bencana ekologis,” kata aktivis WALHI Jawa Tengah Fahmi Bastian saat konferensi pers bersama, Senin (23/1).

WALHI Jateng mencatat, salah urus tata ruang menyebabkan penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan, menyebabkan Kota Semarang dan sekitar 15 kabupaten kota lainnya di Jateng mengalami banjir dan longsor dalam kurun waktu yang hampir bersamaan.

“Di Kota Semarang, penggunaan lahan telah berubah secara signifikan selama 30 tahun terakhir,” tambah Fahmi.

Sedangkan kawasan atas, buffer zone, telah berubah fungsi menjadi kawasan pemukiman, pusat pendidikan dan kawasan komersial. Sedangkan kawasan yang lebih rendah, khususnya pesisir, mengalami kerusakan ekosistem akibat konversi kawasan mangrove dan proyek reklamasi besar-besaran untuk industri dan perumahan mewah.

“Bencana banjir dan pasang surut di Kota Semarang juga berkontribusi terhadap percepatan penurunan muka tanah akibat pengambilan air tanah secara masif dan dampak perubahan iklim,” ujar Fahmi.

Ia mengatakan, daya dukung dan daya tampung lingkungan Pulau Jawa mengalami kebangkrutan ekologis.

Sementara itu, WALHI DKI Jakarta mencatat banjir yang terjadi di Jakarta setiap tahun dan situasinya semakin parah. Pada akhir tahun 2022, banjir besar melanda wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Timur.

“Masalah utama banjir di Jakarta adalah persoalan tata ruang yang masih memungkinkan pembangunan besar-besaran di daerah aliran sungai,” kata aktivis WALHI Jakarta Suci F. Tanjung.

Selain itu, ada juga faktor salah urus tata letak DAS Ciliwung yang terbesar di Jakarta, dengan proyek konkrit soal privatisasi lahan kosong oleh sejumlah perusahaan besar.

Di sisi lain, pemenuhan kuantitatif Ruang Terbuka Hijau (RTH) Jakarta juga stagnan di angka 9 persen. “Akibatnya, banjir terus meluas hingga menimbulkan korban jiwa dan menambah kerawanan nyawa warga,” jelas Suci.

WALHI Jawa Barat menyoroti masalah bencana, khususnya banjir di Cekungan Bandung, akibat kekacauan tata ruang yang berpihak pada segelintir orang.

“Masalah ini dipicu oleh alih fungsi kawasan hulu dan lahan pertanian berkelanjutan menjadi peruntukan lain seperti perumahan mewah,” katanya.

Hilangnya DAS dan daerah penerima menyebabkan meningkatnya kerentanan terhadap bencana seperti banjir dan tanah longsor. Alih fungsi lahan yang masif di Bandung tidak hanya memudahkan terjadinya bencana, tetapi juga menurunkan kuantitas dan kualitas sumber air baku warga. WALHI Jawa Barat menemukan lebih dari satu juta warga kota Bandung belum mendapatkan air baku dari pemerintah.

“Situasi akan semakin parah dengan berkurangnya sumber air akibat masifnya pembangunan infrastruktur di kawasan penyangga,” kata Haerudin Inas, aktivis WALHI Jawa Barat.

WALHI Yogyakarta melihat permasalahan salah urus tata ruang tidak hanya terjadi di kawasan perkotaan, tetapi juga merembet ke kawasan pinggiran kota, seperti ambisi membangun aeropolis perkotaan baru Kulon Progo.

Megaproyek perkotaan baru telah meningkatkan kerentanan kawasan, terutama karena proyek tersebut dibangun di kawasan yang rawan bencana seperti gempa bumi dan tsunami.

Ambisi Aeropolis memicu munculnya Proyek Strategis Nasional Bendungan Bener (PSN) yang menyita habitat warga di kawasan lain seperti Wadas. Proyek ini dibangun untuk memenuhi sumber air NYIA Aeropolis.

“Hal ini bertentangan dengan situasi krisis air di Kota Yogyakarta yang diakibatkan oleh pengambilan air tanah oleh industri pariwisata, khususnya industri perhotelan,” ujar Halik Sandera dari WALHI Yogyakarta.

Menurut Halik, di kawasan Gunung Kidul, Kawasan Bentang Alam Karst Gunung Sewu (KBAK) yang merupakan kawasan konservasi perairan justru dirampingkan untuk kepentingan pariwisata.

“Parahnya, sumber air terdekat dihilangkan kemudian sumber air dicari di daerah lain, tapi cara itu eksploitatif sehingga rusak,” katanya.

WALHI Jawa Timur menunjukkan bahwa permasalahan tata ruang yang salah di Jawa Timur menyebabkan kerentanan di wilayah hulu dan hilir. Di kawasan hulu DAS Brantas yakni Kota Batu tata ruangnya benar-benar semrawut. Cagar alam tersebut telah berubah fungsi menjadi hotel, wisata buatan dan peruntukan lainnya.”Konstruksi tersebut menyebabkan banjir, tanah longsor dan menghilangkan sumber air,” kata Wahyu Eka dari WALHI Jawa Timur.

Dia memperkirakan kerusakan ekosistem di wilayah hulu mengancam wilayah hilir seperti Malang, Pasuruan hingga Surabaya. Maraknya bencana hidrometeorologi ditambah dengan tata guna lahan yang semrawut, seperti pembangunan bantaran sungai, alih fungsi kawasan hingga minimnya ruang terbuka hijau, semakin memperparah kondisi Kota Malang.

“Sedangkan di Surabaya, perluasan perumahan mewah ke kawasan pinggiran kota seperti Surabaya Barat dan Timur oleh korporasi besar menyebabkan hilangnya daerah aliran sungai seperti konversi waduk dan konversi mangrove,” jelas Eka.

Peningkatan frekuensi bencana dan peningkatan kerentanan kota menyebabkan peningkatan dampak dan perluasan wilayah yang terkena bencana.

Aktivis WALHI Nasional Abdul Ghofar mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk serius menangani masalah bencana lingkungan di Jawa dengan mengevaluasi perencanaan lingkungan dan tata ruang dengan memastikan keselamatan masyarakat.

“Pembangunan mega infrastruktur seperti PSN perlu dikaji secara kritis untuk melihat perubahan fungsi kawasan lindung, kawasan rawan bencana dan situasi sosial masyarakat,” kata Ghofar.

Menurut Ghofar, pendekatan manajemen bencana dan solusi bencana teknis tidak cukup untuk menyelesaikan masalah. Melindungi kawasan penyangga, memulihkan lingkungan yang rusak, dan menghentikan kegiatan penambangan merupakan salah satu cara untuk melindungi dari ancaman bencana lingkungan di masa mendatang.[prs]

Maaf, telah terjadi kesalahan YouTube.

Source: news.google.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button