Pembedahan Candi Borobudur: Mengapa Surplus Pengunjung Menjadi Bumerang? - WisataHits
Jawa Tengah

Pembedahan Candi Borobudur: Mengapa Surplus Pengunjung Menjadi Bumerang?

TEMPO.CO, jakarta – Beberapa waktu lalu pemerintah memperkenalkan wacana tiket Candi Borobudur Rp 750.000 untuk wisatawan lokal. Tiket naik dari Rp 50.000 untuk turis lokal dan Rp 5.000 untuk pelajar. Mempertimbangkan peningkatan tiket masuk untuk membatasi keramaian pengunjung yang mengancam situs yang dibangun pada abad ke-9 Masehi itu.

Pemerintah akhirnya mencabut rencana penambahan itu. Tiket Masuk Candi Budha di Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah tetap harga aslinya. Namun, jumlah pengunjung masih dibatasi maksimal 1.200 orang per hari. Mari kita analisa: apakah kenaikan biaya masuk benar-benar menjamin kelangsungan candi?

Candi Borobudur selalu menjadi primadona bagi Indonesia. Sebanyak 73 stupa, yang merupakan satu kesatuan jika dilihat dari udara, memancarkan aura kuno dan megah di antara perbukitan di sekitarnya. Bagi peneliti, Borobudur adalah taman fantasi yang menyimpan banyak hal menarik untuk dipelajari dan dijelajahi.

Saking populernya, Candi Borobudur menjadi lahan basah bagi banyak pihak. Pemerintah, warga sekitar, peneliti, umat Buddha, pengusaha dan wisatawan merasa berhak menentukan penampilan Candi Borobudur.

Setidaknya menurut Supratikno Raharjo dalam Beberapa masalah pelestarian monumen budaya dan strategi solusinya, secara umum ada empat permasalahan kawasan cagar budaya di Indonesia selama ini: penetapan status kawasan cagar budaya yang belum jelas; perencanaan pengelolaan ruang yang tidak lengkap; Penetapan zonasi yang tidak melindungi seluruh kekayaan kawasan; dan konflik penggunaan dan pengelolaan.

Oleh karena itu, ketika perbincangan mengenai tiket ke Candi Borobudur mencuat, kabar tersebut menghebohkan. Banyak yang mengecam pemerintah karena melabeli pendakian itu sebagai hal yang acak, sehingga menghilangkan harapan banyak turis lokal yang ingin melihat kemegahannya dari dekat. Pemerintah berpendapat bahwa masalah ini masih merupakan angin lalu yang perlu dibahas secara mendalam. Pemerintah juga menyatakan bahwa hanya wisatawan yang ingin mendaki ke puncak Borobudur yang akan dikenakan biaya.

Masalah utama dengan kuil

Masalah utama Borobudur adalah masalah klasik yang dimiliki semua tempat wisata: terlalu banyak pengunjung atau bahasanya yang dingin pariwisata. Dalam sebuah esai berjudul Rencana Pengelolaan Pengunjung Borobudur Menulis data dari ITMP Consultant Analyst (Rencana induk pariwisata terpadu) idealnya hanya 128 orang dalam satu hari, yang dapat dengan nyaman menikmati kawasan candi sekaligus, itupun dengan petunjuk perlu direnovasi. Jika hanya ada 128 orang yang berkunjung, berapa jumlah maksimum dalam satu hari? Masih berdasarkan sumber yang sama, maksimal per hari hanya 1.792 orang.

Bagaimana dengan jumlah kunjungan yang sebenarnya? Sebelum pagebluk pada 2019, data kunjungan dikumpulkan dari 3.989.839 orang per tahun, atau sekitar 11.000 orang per hari.

Aktivitas manusia adalah penyebabnya?

Sebagai bangunan yang berusia lebih dari seribu tahun, Candi Borobudur yang telah dua kali dipugar, juga mengalami kemerosotan yang cukup signifikan sejak pemugaran kedua pada tahun 1973-1983 oleh pemerintah dan UNESCO. Meskipun kondisi bangunan relatif stabil, beberapa faktor pendukung lain yang berperan dalam degradasi bangunan candi adalah faktor biotik dan abiotik.

Aktivitas manusia yang berkerumun inilah yang pada akhirnya meninggalkan keausan, terutama pada tangga, stupa, lantai stupa teras, dan stupa induk (Studi Perbaikan Tangga Candi Borobudur) yang pada akhirnya berangsur-angsur terkikis dan berkurang nilai arkeologisnya. Jika hal ini tidak diperhatikan, keadaan candi akan kosong dan tidak menarik secara estetika selama 50 tahun ke depan. Dalam tesis yang berjudul Meminimalisir dampak negatif pemanfaatan Candi Borobudur sebagai objek wisatamenyatakan bahwa keausan pada tangga dan lantai dapat mencapai 0,1-0,32 cm per tahun, dengan asumsi rata-rata kunjungan tahunan adalah 3 juta orang.

tertawa terbahak-bahakMengapa jumlah kunjungan dapat menyebabkan keausan, apa hubungannya dengan itu? dalam Menyelidiki struktur permukaan pelataran candi borobudur dan hubungannya dengan keausan batu tangga menjelaskan bagaimana keausan berhubungan dengan aktivitas manusia. Pasir yang menempel di sepatu pengunjung dapat menyebabkan gesekan, yang dalam jumlah besar dapat menyebabkan keausan yang signifikan.

Solusinya, menurut penelitian yang sama, adalah penataan dan pengendalian pasir taman, penggunaan sepatu khusus, pembuatan lapisan pelindung, dan terakhir tentu saja pengendalian jumlah pengunjung. Paling lambat saat mendaki pura, penggunaan sandal Upanat diperlukan. Sandal ini dirancang khusus untuk melindungi kuil dari keausan.

Tiket mahal, solusinya?

Akankah tiket mahal mengurangi jumlah kunjungan? Secara visual ya. Harga tiket yang mahal dapat menarik jumlah wisatawan hingga menurunkan target jumlah kunjungan. Kenaikan harga memang diperlukan mengingat nilai historisnya serta perbandingannya dengan nilai serupa (Area Angkor Wat, Machu Picchu, Piramida Giza). Harga tiket yang tinggi seharusnya secara efektif menyaring kunjungan.

Menurut saya, pembatasan kunjungan sudah cukup dengan kuota dan integrasi pemesanan tiket online. Dari segi harga, kisaran Rp 350.000 hingga Rp 400.000 menyaring orang karena kisaran itu membuat orang “memikirkannya”. Lebih baik lagi, kenaikan harga diimbangi dengan peningkatan kualitas, wisatawan tidak pulang dengan tangan hampa; Buku penghargaan, suvenir, memorabilia dan di atas semua pengetahuan disampaikan.

Tentu saja, tidak hanya pemandu lokal yang diuntungkan, tetapi barang dagangan di sekitarnya juga terjual habis. Bagaimana dengan perjalanan Borobudur selama tiga hari, misalnya? Ide bagus, tapi apakah fasilitas pendukungnya sudah terintegrasi dan siap?

Bagaimana tidak bisa membayar? Distribusi pengunjung bisa jadi solusinya. Dimulai dengan membangun narasi melihat Candi Borobudur melihat dari jauh sama baiknya dengan melihat dari dekat. Pemerintah daerah juga harus mempercepat pembangunan di kawasan tersebut, terutama akses dan kesediaan desa-desa sekitar untuk menjadi buffer zone pariwisata Borobudur.

Dalam kondisi saat ini, masyarakat sekitar kurang mendapat perhatian, karena perannya dalam mengelola kawasan wisata belum signifikan. Ke depan, apakah pembagian ini bisa menjadi kunci untuk membubarkan jumlah pengunjung yang tetap besar namun tidak hanya terfokus pada candi?

M.IRSYAD SAPUTRA

Artikel ini dipublikasikan di CariRI

Baca juga: Tur ke Borobudur Edupark, pelajari bagaimana Candi Borobudur dibangun

Selalu update informasi terbaru. Lihat berita terbaru dan berita unggulan dari Tempo.co di saluran Tempo.co Update Telegram. Klik Pembaruan Tempo.co untuk bergabung. Anda harus terlebih dahulu menginstal aplikasi Telegram.

Source: travel.tempo.co

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button