Ini adalah festival seni budaya bersama
Benamkan diri Anda dalam pesona Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dengan Eksotik Bromo
Exotica Bromo membuka Yadnya Kasada, sebuah ritual suci umat Hindu Tengger di Jawa Timur (Jawa Timur). Digagas sejak tahun 2017, festival seni dan budaya kini menjadi daya tarik unggulan untuk merevitalisasi pariwisata di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS).
—
LAUT Pasir Kasiah menarik perhatian akhir pekan lalu. Tepatnya pada 11 dan 12 Juni 2022. Para pelaku seni dan budaya berkumpul di hamparan pasir ini. Tidak hanya dari Pasuruan, tetapi juga dari kota dan kabupaten lain di Jawa Timur.
Ada rombongan Lancenk Kramat dari Pamekasan, Madura. Ada juga Sanggar Reog Sardulo Djojo dari Malang. Kali ini pementasan kembali digelar di panggung utama festival budaya TNBTS. Bromo Exotic tahun lalu digelar di Lapangan Wanajati yang merupakan bagian dari Desa Ngadiwana, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan.
Akhir pekan lalu, Lancenk Kramat dan Sanggar Reog Sardulo Djojo serta kelompok seni budaya lainnya datang ke Laut Pasir-Kasiah secara mandiri. Mereka bekerja sama untuk membawa peralatan yang biasa mereka gunakan untuk pertunjukan dari tempat asal ke tempat. Dengan biaya sendiri, dengan biaya sendiri.
Selain keinginannya yang besar untuk menampilkan seni budaya kepada masyarakat luas, aksinya hanya sebatas undangan dari Panitia Pelaksana Bromo Exotica. Yaitu komunitas seni rupa Indonesia JatiSwara.
“Tujuan utamanya masih sama. Promosi ekonomi kreatif di daerah sekitar. Masyarakat luar daerah yang datang sendiri akan mempengaruhi pergerakan UMKM lokal,” kata Afifa Prasetya, perwakilan JatiSwara Indonesia. Jawa Pos pada hari Jumat (17 Juni).
Dari tahun ke tahun, JatiSwara secara aktif melibatkan masyarakat sekitar. Terutama para pemuda. “Dibandingkan tahun lalu saja, kali ini 80 persen panitia dan peserta utamanya adalah suku Tengger,” jelas Afifa. JatiSwara selalu menekankan bahwa meskipun Eksotika Bromo merupakan festival seni budaya ide mereka, festival pada dasarnya milik seluruh masyarakat. TAHAP PERTAMA: Sanggar Reog Sardulo Djaja melakukan Bromo Exotica sebagai pertunjukan pertama di luar Malang setelah Kuntara. (PUGUH SUJIATMIKO/JAVA POS)
Suyitno, ketua dan pendiri Lancenk Kramat, mengaku mendapat undangan sekitar dua bulan sebelum pertunjukan Bromo Exotica. Ini menjadi first leg masyarakat di luar Pulau Madura. “Selama ini ada pertunjukan di luar (Madura, red.), tapi untuk yang virtual. Jadi direkam, lalu disiarkan. Jangan tampil langsung,” ujarnya dalam wawancara Jawa Pos pada hari pertama Bromo Exotica pada tanggal 11 Juni.
Menurut Suyitno, kegiatan budaya di Madura telah meningkat selama setahun terakhir. “Alhamdulillah, komunitas musik ul daul di Madura kembali muncul. Itu bisa muncul,” lanjutnya. Selama kuntara akibat Covid-19, Lancenk Kramat hanya fokus pada latihan.
Senada dengan Suyitno, Bambang Supriadi – pemilik dan ketua Sanggar Reog Sardulo Djojo – juga mengatakan bahwa Bromo Exotica merupakan dorongan untuk merevitalisasi komunitas seninya. Tidak ada jadwal pertunjukan selama Kuntara. “Soalnya, Kota Malang memiliki tingkat[kasusCovid-19red]yang sangat tinggi,” katanya.
Pria Ponorogo itu menambahkan, tahun ini studionya memiliki jadwal yang padat. “Suroan dan 17 Agustus itu banyak acaranya. Kami juga sedang merencanakan study trip ke Magelang,” kata Bambang. Studio yang dikelolanya memiliki 135 anggota, mulai dari anak-anak prasekolah hingga dewasa.
Eksotica Bromo memupus harapan para pelaku seni budaya di Jawa Timur. Eksotika Bromo pun semakin memperlebar senyum warga sekitar. Pasalnya, bisnis pariwisata mereka kembali menggeliat. Homestay di desa Ngadisari, titik bermalam tertinggi di Kabupaten Probolinggo, penuh. Pengemudi jip kebanjiran makanan.
“Tidak seramai sebelumnya, tapi jauh lebih baik. Ada yang menginap,” kata Mandik, salah satu pemilik homestay di Ngadisari. Usaha sampingannya berupa warung makan sederhana juga terkena imbasnya. “Biasanya bapak-bapak di sini saja yang minum kopi dan merokok,” imbuhnya.
Mobil jeep bromo mulai berani menawarkan harga tinggi. Karena peminatnya juga bertambah. Khususnya pada tanggal 11 dan 12 Juni. Jika mereka mematok tarif Rp 300.000 untuk jalur Ngadisari-Desa Penanjakan pada hari kerja, tarifnya bisa berlipat ganda akhir pekan lalu.
“Jika Anda ingin lebih murah, pergilah sedikit kemudian. Namun, risikonya matahari tidak akan terbit dan lalu lintas akan macet,” kata Toyoa, pengemudi jip Ngadisari. Waktu perjalanan prime time, tambahnya, adalah dari pukul 02.00 hingga 03.00. Setelah melewati tanjakan berkelok-kelok di Wonokitri dan mengantri di Bukit Cinta, yang dikejar adalah sunrise. Ya! Pemandangan menakjubkan yang keindahannya tidak bisa digambarkan dengan kata-kata.
Source: www.jawapos.com