Sejarah wisata Pangandaran, populer dengan transportasi yang mudah - WisataHits
Jawa Barat

Sejarah wisata Pangandaran, populer dengan transportasi yang mudah

Menurut sebuah surat kabar Belanda “De Preanger Bode” berjudul “Badhotel Pangandaran” Tanggal 30 Mei 1923, sejarah wisata Pangandaran populer karena mudahnya akses transportasi.

Banyak wisatawan yang datang ke Pangandaran dengan menggunakan transportasi umum yaitu dengan kereta api. Mereka dulunya berasal dari Batavia, Buitenzorg (Bogor) dan Bandung menggunakan KA tujuan akhir ke stasiun Bandjar (Banjar).

Setibanya di Stasiun Bandjar, pemudik naik kereta jurusan Bandjar-Cijulang. Kemudian turun langsung di stasiun Pangandaran yang saat ini berada di dusun Karangsalam.

Baca juga: Sejarah Pangandaran Setelah pendudukan Jepang, pemerintahan berpindah dari Ciamis ke Cilacap

Wisatawan yang datang ke Pangandaran mengaku mengetahui tempat ini dari surat kabar yang sering memberitakan keindahannya “De Dirk de Vries Baai” atau Teluk Panandjoeng (Pananjung) pada tahun 1920-an.

Pesan-pesan ini juga sering memberikan petunjuk arah bagi wisatawan yang tertarik berwisata ke Pangandaran. Jangan khawatir dengan transportasi yang sulit karena aksesnya relatif mudah ditemukan.

Salah satu bentuk transportasi umum yang paling direkomendasikan di surat kabar adalah kereta api. Dengan menggunakan kereta api, penumpang akan merasa puas karena bisa melihat hamparan laut yang indah dari kereta yang mereka tumpangi selama perjalanan.

Jalur kereta api dari Bandjar hingga tujuan akhir Cijoelang menyuguhkan berbagai pemandangan yang sangat indah mempesona. Jalur ini diyakini sebagai perlintasan sebidang yang memiliki terowongan terpanjang di Asia Tenggara.

Terowongan itu disebut Terowongan Wilhelmina. Sedangkan jembatannya tinggi dan penumpang bisa melihat hamparan laut dari atas kereta api yang disebut Jembatan Tjikatjepit (Cikacepit).

Sejarah Pariwisata Pangandaran Kawasan wisata ini memiliki jalur kereta api yang megah

Pariwisata di Pangandaran yang dimulai pada tahun 1920-an didukung oleh rel kereta api yang megah. Pangandaran adalah satu-satunya daerah dengan jalur kereta api paling langka.

Karena jalur ini berada di pesisir selatan Priangan, membangun jalur ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu, pembangunan jalur kereta api ini dibiayai oleh perusahaan swasta Belanda.

Menurut berbagai laporan dari surat kabar Belanda, orang yang datang ke Pangandaran sebagai turis berasal dari berbagai daerah. Kebanyakan dari mereka berasal dari wilayah Priangan (Jawa Barat) dan Jawa Tengah.

Jika datang dari Priangan, seperti Bogor, Bandung, bahkan ada yang dari Batavia, mereka biasanya menggunakan jalur kereta api yang berhenti di stasiun Bandjar. Setelah itu sambungkan kembali KA dengan KA tujuan Pangandaran.

Baca juga: Sejarah wisata pantai Pangandaran, terkenal sejak tahun 1923

Sedangkan wisatawan yang datang dari Jawa Tengah biasanya naik kereta api dan turun di Stasiun Maos. Sebagian tetap menggunakan kereta api menuju Bandjar. Ada juga yang melanjutkan perjalanan ke Pangandaran dengan perahu melewati Nusakambangan kemudian berlabuh di pelabuhan Kalipoetjang (Kalipucang).

Setelah berlabuh di Kalipoetjang, naik mobil umum ke Pangandaran atau tunggu di stasiun Bandjar dekat Tunggilis.

Yang paling menyenangkan adalah berkendara dari arah Jawa Tengah. Karena wisatawan dari arah ini sering memilih perahu untuk menyeberangi Nusakambangan hingga tiba di pelabuhan Kalipoetjang.

Selama perjalanan ini, Anda akan disuguhi berbagai jenis pemandangan alam yang indah. Anda bisa melihat kekayaan flora dan fauna di hutan perbatasan antara Nusakambangan dan Kalipoetjang. Sebagian besar wisatawan yang suka naik perahu ini berasal dari kalangan pemuda Eropa.

Sudah ada penginapan sejak tahun 1920-an

Karena banyaknya turis yang datang ke Pangandaran pada awal tahun 1920-an, pemerintah kolonial berinisiatif menyediakan akomodasi dasar.

Pembangunan ini dilakukan di sekitar pantai barat, hampir persis di depan Teluk Panandjoeng. Awal tahun 2000-an, bekas komplek penginapan Belanda ini bernama Pananjung Sari.

Saat ini tempat tersebut merupakan tanah para pedagang yang dimukimkan kembali oleh pemerintah pemerintah Pangandaran.

Tempat bersejarah ini dihancurkan. Tidak ada bekas-bekas yang mencirikan bangunan kolonial di Pangandaran. Dengan demikian, hampir tidak ditemukan peninggalan Belanda di kawasan ini selain sejumlah bangunan, seperti bekas stasiun kereta api Pangandaran dan Cijulang, serta rumah-rumah tua lainnya yang tidak terpelihara dengan baik.

Setelah penjajah membangun shelter di Pangandaran, banyak pengusaha swasta yang datang dan berlomba membangun shelter di sekitar pantai.

Menurut sebuah surat kabar Belanda “Bataviaasch Nieuwsblad” Pada tanggal 30 Mei 1923, salah satu pemodal swasta yang membangun penginapan di Pangandaran, Dr. Suriah. Seorang dokter Eropa yang berasal dari kota Tasikmalaya.

Dokter Syriar membeli beberapa bangunan bekas dari pemerintah setempat dan kemudian mengubahnya menjadi wisma yang dapat menampung pelancong dari berbagai daerah.

Harga penginapan ini relatif murah. Menurut surat kabar tersebut, Dr. Suriah terjangkau untuk semua pelancong yang ingin tinggal 2-3 hari dengan harga murah.

memiliki teluk De Dirk De Vries Baai (Panandjoeng)

Selain karena transportasi yang mudah, sejarah mencatat bahwa wisatawan mencari wisata ke Pangandaran karena kawasan ini memiliki teluk yang indah sesuai dengan namanya. De Dirk De Vries Baai (Panandjoeng).

Menurut berbagai pemberitaan di iklan surat kabar, tempat ini merupakan habitat flora dan fauna langka yang jarang ditemukan di hutan Priangan lainnya. Salah satunya adalah hutan ini dulunya terdapat tumbuhan Raflesia yang langka.

Baca juga: Sejarah turis Belanda yang tenggelam di Pangandaran pada tahun 1938

Selain itu ada juga banteng yang kemudian disuplementasi dengan sapi bali untuk menjaga habitatnya dari kepunahan.

Teluk yang diapit oleh dua samudra luas ini memukau semua pelancong. Tak hanya nyaman melihat keindahan alam, mereka juga senang karena bisa berenang di antara kedua pantai tersebut.

Berenang di pantai ini aman karena arus laut di Pangandaran cenderung tenang. Namun wisatawan perlu berhati-hati, karena pada tahun 1938 seorang Belanda tewas karena kelalaiannya saat berenang sambil mabuk.

Informasi ini dilaporkan oleh surat kabar Belanda “Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie” berjudul Ongeluk bij Pangandaran dalam Dirk de Vries Baai op Donderdagochtendtanggal 17 Juli 1938. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)

Source: news.google.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button