Wajah Buram Pariwisata Yogyakarta | tekan balairing - WisataHits
Yogyakarta

Wajah Buram Pariwisata Yogyakarta | tekan balairing

©Dina/Bal

Baru-baru ini, Pemerintah Daerah (Pemda) Yogyakarta gencar melakukan perluasan infrastruktur pariwisata Yogyakarta. Pembangunan yang tidak dilakukan secara adil dan transparan menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat, seperti kemacetan dan gentrifikasi. Agar masyarakat memahami dampak negatif dari pembangunan tersebut, pemerintah daerah Yogyakarta mengulang kembali narasi-narasi positif dan memikat yang sarat akan nilai-nilai luhur Yogyakarta. Informasi tentang dampak negatif pembangunan jarang disebarluaskan. Salah satu contoh yang muncul dari fenomena ini adalah penggusuran Pedagang Kaki Lima (PKL) Malioboro yang dirahasiakan dan dihias dengan narasi budaya bangsawan.

Berawal dari permasalahan tersebut, BALAIRUNG berkesempatan mewawancarai Elanto Wijoyono. Dia adalah direktur Combine Research Institute, sebuah organisasi non-pemerintah yang didedikasikan untuk keterbukaan informasi berbasis masyarakat. Dalam wawancara tersebut, Elanto menjelaskan minimnya informasi perkembangan pariwisata Yogyakarta membuat masyarakat tidak siap dengan dampak negatifnya.

Bagaimana menurut Anda pariwisata di Yogyakarta saat ini?

Pariwisata di Yogyakarta tidak bisa dipahami hanya sebagai agenda pemerintah daerah Yogyakarta. Ada dua level agenda pembangunan infrastruktur pariwisata di Yogyakarta yang perlu dipahami. Pertama, berdasarkan agenda pemilik, ada pembangunan infrastruktur pariwisata yang menjadi agenda pemerintah pusat, dan ada yang menjadi agenda pemerintah daerah. Kedua, berdasarkan skala, ada pembangunan pariwisata yang bersifat proyek “mercusuar” periodik yang besar dan ada pula yang berskala kecil di tingkat komunitas.

Pembangunan pariwisata yang menjadi agenda pemerintah pusat dapat dilihat dari kawasan-kawasan yang masuk dalam Kawasan Strategis Pariwisata Nasional. Sementara itu, agenda pembangunan pariwisata pemerintah daerah dapat dilihat dari program pendampingan pembangunan pariwisata di tingkat Kelurahan. Pariwisata yang menjadi agenda pemerintah pusat biasanya menjadi suar, sedangkan pemerintah daerah biasanya fokus memberikan dukungan pariwisata di tingkat masyarakat.

Jika kita berbicara tentang wajah pariwisata Yogyakarta, masalah sebenarnya adalah kurangnya transparansi publik. Selama ini masyarakat tidak terlalu mengetahui mana pembangunan pariwisata yang menjadi agenda sentral dan mana agenda daerah. Akibatnya, masyarakat juga tidak mengetahui keterkaitan antara satu proyek dengan proyek lainnya. Padahal, masyarakat umum akan terkena dampak dari segala perkembangan pariwisata.

Mereka mengatakan masyarakat tidak mendapatkan informasi yang cukup tentang perkembangan pariwisata di Yogyakarta, meskipun masyarakat akan merasakan dampak dari pembangunan tersebut. Bagaimana dampak perkembangan pariwisata di Yogyakarta hingga saat ini bagi masyarakat?

Saya ambil contoh pembangunan hotel dan apartemen di Yogyakarta yang sangat masif dalam lima tahun terakhir. Setelah banyak hotel dan apartemen dibangun, kita yang tinggal di dekat tempat-tempat ini diganggu oleh kebisingan dan polusi udara. Sementara itu, kemacetan juga menimpa mereka yang rumahnya tidak berdekatan dengan hotel dan apartemen. Hal ini disebabkan semakin banyaknya orang yang datang dan tinggal di Yogyakarta seiring dengan terjadinya akomodasi di hotel dan apartemen. Kemacetan lalu lintas menyebabkan munculnya tindakan ilegal, seperti patroli pengawalan ilegal.

Efek yang berbeda ini dapat diantisipasi jika masyarakat diberikan transparansi dan kejelasan tentang efek pembangunan sejak awal. Namun, baik dampak, manajemen risiko maupun solusi atas dampak dan risiko yang timbul dari pengembangan pariwisata; sebenarnya tidak terbuka untuk umum sama sekali. Kami belum membahas dampak yang lebih spesifik, seperti indikasi alih fungsi lahan atau perubahan nilai objek kena pajak. Tanpa informasi tentang pembangunan partisipatif, sulit bagi masyarakat untuk mengantisipasi dampak tersebut.

Kerahasiaan informasi di tingkat kabupaten/kota membuat masyarakat sulit mengantisipasi dampak pembangunan pariwisata. Apa dampak dari penutupan informasi ini terhadap agenda pengembangan pariwisata di tingkat yang lebih kecil, seperti B. pengembangan pariwisata di kelurahan?

Di tingkat desa atau kelurahan, ketertutupan informasi membuat inisiatif pariwisata berbasis masyarakat lokal dicaplok oleh agenda elite. Saya ambil contoh wisata gunung api purba di Nglanggeran, Gunung Kidul. Ini sebenarnya inisiatif dari komunitas pemuda di Nglanggeran sekitar 7 atau 8 tahun yang lalu. Seiring berjalannya waktu, Gunung Api Purba Nglangeran semakin populer. Alhasil, banyak agenda pemda dari provinsi Yogyakarta dan Gunung Kidul yang diterima di Nglanggeran. Mereka menawarkan skenario periklanan, kampanye, dan pengemasan paket perjalanan. Penawaran biasanya dirancang oleh pemerintah negara bagian. Akibatnya, masyarakat di Nglanggeran hanya bisa merujuk pada draf tersebut tanpa memiliki cukup ruang untuk berdialog.

Pola yang sama sebenarnya bisa diamati di kawasan Poros Filosofis, khususnya di kawasan Malioboro. Sebelum pemerintah daerah membuat proyek, ada banyak inisiatif pariwisata berbasis masyarakat di sana. Namun, setelah pemerintah daerah mengembangkan proyek yang bertujuan untuk mengusulkan Poros Filosofis sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO, banyak prakarsa kotamadya yang gagal.

Apakah ada masalah lain selain kerahasiaan informasi yang memudahkan prakarsa pariwisata berbasis masyarakat dicaplok oleh agenda pengembangan pariwisata elit?

Harus diakui bahwa banyak prakarsa wisata berbasis masyarakat yang belum memiliki landasan organisasi yang kokoh. Hal ini diperparah dengan eratnya hubungan antara pemangku kepentingan industri pariwisata dengan pemerintah daerah. Akibatnya, banyak elit pemerintah daerah yang mendominasi asosiasi industri pariwisata di Yogyakarta.

Kondisi organisasi ini membuat posisi para penggiat pariwisata berbasis masyarakat semakin rentan yang sudah rentan berhadapan dengan industri pariwisata besar. Kerentanan ini meningkat ketika pariwisata tiba-tiba dihadapkan pada berbagai tantangan. Misalnya, pandemi Covid-19 yang menggemparkan dunia selama dua tahun terakhir mengguncang pariwisata di Yogyakarta. Pelaku pariwisata berbasis masyarakat tentu lebih rentan terhadap dampak pandemi dibandingkan industri pariwisata berkapitalisasi besar.

Dalam kondisi seperti itu, pelaku wisata berbasis masyarakat mau tidak mau harus meminta bantuan pemerintah. Namun, pada saat yang sama, mereka juga harus mewaspadai program-program yang ditawarkan pemerintah. Anda harus memahami bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk menerapkan sistem yang adil. Jangan sampai program yang ditawarkan justru mencaplok pelaku wisata berbasis masyarakat. Di Yogyakarta, saya cenderung melihat pola yang kedua. Pengembangan pariwisata di Malioboro adalah contohnya.

Anda beberapa kali mencontohkan Malioboro. Seperti apa perkembangan pariwisata di Malioboro?

Bagi saya, perkembangan pariwisata di Malioboro mencerminkan realita perkembangan pariwisata di Yogyakarta. Semua masalah ada di sana, terutama penutupan. Bayangkan malah mengabaikan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang menjadi aktor utama dalam merelokasi PKL untuk pengajuan Poros Filosofis ke UNESCO. Selain merelokasi pedagang kaki lima, pemkab berencana membangun Jogja Planning Gallery yang salah satunya berlokasi di Teras Malioboro 2. PKL akan bergerak untuk kedua kalinya.

Galeri Perencanaan Jogja sebenarnya merupakan upaya pemerintah daerah untuk menjabarkan rencana pembangunan Yogyakarta saat ini dan ke depan. Kehadiran Jogja Planning Gallery tentu membawa angin segar bagi transparansi perkembangan pariwisata di Yogyakarta. Namun ironisnya, ada kelompok warga setempat, yaitu pedagang kaki lima, yang berkali-kali digusur selama proses pembangunan. Hanya pembangunan Jogja Planning Gallery Pemda tidak transparan, apalagi membicarakan rencana pembangunan besar di Yogyakarta.

Salah satu argumentasi masifnya perkembangan pariwisata di Yogyakarta adalah ketergantungan perekonomian Yogyakarta terhadap pariwisata. Selain pariwisata, apakah ada alternatif ekonomi?

Pertama-tama, harus diakui bahwa pendapatan terbesar Yogyakarta berasal dari pajak hotel dan restoran. Namun, kita juga harus menyadari bahwa ekonomi sektor pariwisata sangat rapuh. Jika ada kondisi yang tidak mendukung keberlangsungannya, perekonomian sektor pariwisata bisa sangat cepat ambruk. Saat pandemi Covid-19 melanda selama dua tahun terakhir, kita melihat sendiri banyak sektor pariwisata yang terhambat. Tak hanya pandemi, berbagai jenis bencana dan kejadian yang tiba-tiba juga bisa menggerogoti pariwisata. Serangan bom di Bali, misalnya, menyebabkan Bali yang dikenal sebagai surga wisata itu runtuh.

Berbicara perekonomian Yogyakarta, saya selalu percaya bahwa sektor pendidikan bisa menjadi salah satu alternatif. Jika pemerintah daerah mau meningkatkan, menjaga dan mengelola kualitasnya, maka pendidikan Yogyakarta dapat menjadi salah satu penopang perekonomian Yogyakarta. Selain itu, pengembangan sektor pendidikan juga berarti penguatan sektor pariwisata. Karena sektor pendidikan juga bisa menarik calon wisatawan. Coba kita lihat kota-kota pendidikan di luar negeri, seperti Kyoto, Leiden atau Groningen. Kota-kota ini mampu memiliki pendidikan lanjutan dan sektor pariwisata.

penulis: Renova Zidane Aurelio
Editor: Bangkitlah Adhi Wiguna
penulis: Dina Rahayu

Source: news.google.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button