Tomboan Ngawonggo Wisata ramah lingkungan dan konsep kuliner tradisional - WisataHits
Jawa Timur

Tomboan Ngawonggo Wisata ramah lingkungan dan konsep kuliner tradisional

  • Tomboan Ngawonggo adalah tempat wisata yang menawarkan suasana alam di Dusun Nanasan, Desa Ngawonggo, Kecamatan Tajinan, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
  • Tempat peristirahatan ini dibangun pada tahun 2020 oleh sebuah lembaga swadaya masyarakat untuk menjamu tamu yang berkunjung ke situs Ngawonggo Petirtaan. Nama Tomboan terinspirasi dari hidangan Wedhang [minuman] dari tanaman obat. Tombo berarti obat dalam bahasa Jawa.
  • Menariknya, harness yang digunakan di sini adalah non-plastik. Dari piring dan gelas stainless hingga keranjang bambu. Minuman khas yang menjadi andalan berupa serai, jeruk, jahe, bunga rosella, daun kelor hingga racikan tangan bumbu Wedhang Uwuh. Sedangkan makanan tradisional seperti emblem, horog-horog, tiwul, ongol-ongol, getuk, dan lemet dibungkus dengan daun pisang.
  • Pengelola Tomboan Ngawonggo yang bernama Rancang terus menggalakkan pariwisata ramah lingkungan. Penduduk setempat terlibat dalam persiapan makanan ringan dan makanan. Proses memasak dilakukan dari rumah masing-masing. Disajikan setelah dimasak di Tomboan Ngawonggo.

Baca Sebelumnya: Situs Ngawonggo Petirtaan, Peninggalan Mpu Sindok Dilestarikan Warga

**

Banyak pengunjung yang duduk santai di bangku kayu. Jajanan tradisional dan minuman herbal tersaji rapi di atas meja. Pohon bambu membentuk latar belakang pemandangan hijau yang indah. Terletak di Dusun Nanasan, Desa Ngawonggo, Kecamatan Tajinan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Tomboan Ngawonggo menjadi destinasi wisata yang ramai sejak Maret 2020.

Muhammad Yasin, pengelola Tomboan Ngawonggo mengatakan rest area ini dibangun masyarakat untuk menjamu tamu yang berkunjung ke situs Petirtaan Ngawonggo.

“Nama Tomboan terinspirasi dari masakannya Rabu [minuman] dari tanaman obat. mengundi dalam bahasa jawa artinya obat, semoga tempat ini menjadi obat penat bagi pengunjung,” ujarnya Mongabay di Tomboan Ngawonggo, Rabu [08/06/2022].

Tomboan Ngawonggo menjadikan minuman dan makanan tradisional sebagai bagian penting dari menu. Foto: Wulan Eka Handayani/Mongabay Indonesia

Wisata ramah lingkungan

Tomboan Ngawonggo mulai dibangun pada tahun 2020. Warga menyumbangkan bahan bangunan dan peralatan. “Tanaman dibuat swadaya. seseorang memberi tawonPondok, omong-omong [kamar mandi]melanggar [mushola], Cangkir [bangunan beratap]”lanjut Yasin.

Menariknya, harness yang digunakan di sini adalah non-plastik. Mulai piring dan gelas tahan karat ke keranjang bambu.

Minuman dicincang tepat di atasnya tawon kayu dipecat. Serai, jeruk, jahe, bunga roset, daun kelor untuk campuran bumbu Wedhang uwuh diproses secara manual. Disajikan dalam teko dan gelas yang dapat dicuci dan digunakan kembali.

Makanan seperti Emblem, Horog-Horog, Tiwul, Ongol-Ongol, Getuk, dan Lemet dibungkus dengan daun pisang. Ada juga makanan vegetarian yaitu sego jagung, urap urap, bongko, bothok, sayur lodeh, tahu dan tempe yang disajikan kepada para pengunjung.

Pengunjung dapat menikmati minuman, makanan ringan, dan makanan secara prasmanan. Bayar secara sukarela, melalui kotak cinta asalkan.

“Lingkungan situs harus dijaga dengan kearifan lokal. Zlimbah ero diterapkan bersama-sama dengan konsep tradisional,” katanya.

Yasin menjelaskan, Tomboan Ngawonggo menggunakan falsafah hidup sederhana warga desa dalam kehidupan sehari-hari. Orang makan daging ketika ada perayaan sementara makanan sehari-hari diambil dari kebun.

“Kesederhanaan orang 50 tahun yang lalu. Penggunaan fasilitas dan peralatan juga akan disesuaikan.”

Manajer Tomboan Ngawonggo disebut untuk merencanakan Tetap menerapkan pariwisata ramah lingkungan. Penduduk setempat terlibat dalam persiapan makanan ringan dan makanan. Proses memasak dilakukan dari rumah masing-masing. Disajikan setelah dimasak di Tomboan Ngawonggo.

Pengunjung Tomboan Ngawonggo menikmati makanan tradisional dalam suasana alam. Foto: Wulan Eka Handayani/Mongabay Indonesia

Masalah sampah di tempat wisata

Hadi Prasetyo, seorang pengunjung, mengatakan Tomboan Ngawonggo berhasil menghadirkan konsep wisata yang meminimalkan sampah. Ada peraturan yang melarang pengunjung membawa produk yang dibungkus plastik.

“Tempat wisata yang memperhatikan masalah lingkungan dan bisa belajar sejarah di situs Ngawonggo Petirtaan,” tambahnya, Rabu [08/06/2022].

Coqi Basil, Direktur Humas Trash Hero Tumapel, mengatakan sampah kemasan plastik banyak sekali merek minuman kekinian bisa ditemukan di tempat wisata di Malang Raya.

Berbagai merek minuman kekinian meninggalkan sampah plastik dalam jumlah besar dan merata di Malang Raya, ujarnya, Kamis [09/06/2022].

Tomboan Ngawonggo merupakan tempat wisata alam yang dibangun dengan bantuan warga sekitar. Foto: Wulan Eka Handayani/Mongabay Indonesia

Coqi mengatakan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah sudah tidak relevan lagi saat ini. Secara khusus, ada dua ketentuan dalam pengelolaan sampah, yaitu pengurangan dan penanganan.

Pasal 20 menyatakan bahwa pengurangan sampah dilakukan melalui kegiatan pembatasan penumpukan sampah, daur ulang sampah, dan pemanfaatan kembali sampah. Daur ulang tetap menjadi kunci kedua dalam pengurangan sampah. Bahkan jika saat ini transisi ke energi terbarukan [energi terbarukan] lebih perlu ditekankan.

energi pembaruan Pertama kemudian untuk mengurangi [pengurangan]kemudian daur ulang [pendauran ulang],” dia berkata.

Sedangkan peraturan daerah [peraturan daerah] di beberapa daerah pengurangan sampah TPA tidak dilaksanakan secara optimal karena kurangnya pengawasan dan penegakan hukum.

Ia mencontohkan Perda No.2 Kota Malang Tahun 2018 tentang Kawasan Tanpa Rokok, yang tidak memberikan pengawasan atau sanksi yang tegas bagi pelanggarnya. Merokok, khususnya pembuangan sampah, tidak diperbolehkan di tempat ibadah, lembaga pendidikan, dan tempat wisata yang ditentukan dalam undang-undang. saat beraksi Membersihkan yang rutin dianut oleh komunitasnya, Coqi menemukan kenyataan sebaliknya.

“Peraturan persampahan sulit diterapkan. Saya berharap ada aturan yang mengatur berdasarkan wilayah perintah walikota atau bupati. Ada juga peraturan tentang pengurangan dan pengelolaan sampah,” katanya.

Minuman herbal menjadi menu andalan di Tomboan Ngawonggo. Foto: Wulan Eka Handayani/Mongabay Indonesia

Gaya Hidup Tanpa Sampah

Tidak ada ruginya atau Zero Waste adalah filosofi hidup dengan meminimalkan sampah. Konsep ini pertama kali digunakan pada tahun 1970-an oleh Paul Palmer, seorang ahli kimia dari Oakland, California. Palmer mengembangkan temuannya untuk menggunakan kembali berbagai bahan kimia yang diproduksi oleh industri elektronik.

Tidak ada ruginya Hal ini dapat dicapai dengan menghilangkan penggunaan plastik sekali pakai. penggunaan kembali atau penggunaan berulang adalah kunci untuk meminimalkan sampah, termasuk sampah plastik.

Mulai gaya hidup tidak rugi bisa mulai dengan prinsip 6R yaitu. Mempertimbangkan kembali, menolak, menggunakan kembali, mengurangi, membusuk, dan daur ulang Menolak dan mengurangi perilaku penghasil sampah. Pilih produk yang konsisten, dapat digunakan berulang kali.

Daur ulang sampah yang dilakukan bertujuan untuk mengelola dan meningkatkan nilai dan kegunaan sampah. Prinsip 6R adalah perpanjangan dari versi 3R [Reduce, Reuse, Recycle].

Coqi mengatakan, upaya pengurangan sampah bisa dilakukan dengan dua cara, yakni sendiri dan secara luas.

“Dengan membawa cangkir atau alat makan, saya juga mengajak masyarakat untuk menjaga sampah. Sementara itu, bisa dilakukan untuk dampak yang luas melalui reformasi regulasi,” katanya.

*Wulan Eka Handayani, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya Malang. Artikel ini didukung oleh Mongabay Indonesia.

Source: www.mongabay.co.id

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button