Jawa Tengah

Tantangan dan Pencegahan Radikalisme di Ujung Tanah Air

Kalimantan Utara yang secara geografis berbatasan dengan Malaysia dan menghadapi kelemahan infrastruktur, menghadirkan berbagai tantangan bagi kawasan tersebut.

Tantangan tersebut antara lain kerentanan terhadap berbagai kegiatan kriminal, antara lain penyelundupan, pencurian ikan, illegal logging, perdagangan narkoba internasional, isu teritorial, dan ancaman radikalisme dan terorisme.

Ciri-ciri provinsi ke-34 memiliki wilayah yang cukup luas dengan jumlah penduduk yang sangat jarang. Tengok saja luas wilayah 71.827 kilometer persegi — hampir sama luasnya dengan luas wilayah Jawa Barat plus Jawa Tengah — berpenduduk hanya 701.814 jiwa (sensus 2020).

Panjang wilayah perbatasan di Kaltara mencapai 1.098 km dan melintasi kabupaten Nunukan dan Malinau atau sesuai dengan jalan Anyer-Panarukan yang membentang dari barat hingga ujung timur Jawa.

Diperkirakan ada 14.000 jejak tikus di sepanjang perbatasan. Terdapat 19 penanda batas di sepanjang perbatasan (17 di darat dan dua di perairan, salah satunya di Unarang Coral Beacon).

Selain 19 patok, warga setempat juga telah menandai batas wilayah, gunung, jurang, sungai, pinggir jalan, dan persawahan.

Tantangan Kaltara baru-baru ini diakui oleh Kepala Subdit Pemberdayaan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Kolonel (Czi) Rahmad Suhendro di Tanjung Selor dalam mengawal keterlibatan masyarakat dalam pencegahan terorisme.

Forum Koordinasi Penanggulangan Radikalisme Kaltara (FKPT) – sebagai perpanjangan tangan BNPT – juga merasakan hal tersebut dalam menjalankan tugasnya, misalnya untuk sosialisasi program, dialog nasional, pelatihan dan penelitian.

Sebaran penduduk yang tipis dan tidak merata serta luas wilayah yang cukup besar juga menjadi tantangan dalam bidang pengawasan.

Beberapa daerah hanya dapat dijangkau secara efektif melalui transformasi laut dan sungai, bahkan beberapa harus menggunakan transportasi udara, terutama daerah pedalaman dan perbatasan.

Akibatnya, menjangkau beberapa wilayah di ujung negara yang paling ekstrem membutuhkan lebih banyak energi, waktu, dan biaya daripada wilayah lain di Indonesia.

Lanjut membaca

Empat pilar kebangsaan

Kaltara telah diekspos sebagai titik perlintasan perbatasan bagi teroris dalam beberapa kasus (Filipina Selatan-Tawau, Nunukan-Tarakan-Pulau Jawa).

Selain itu, dilaporkan telah berkembang beberapa sempalan agama yang memerlukan perhatian khusus untuk mencegah penyebarannya.

Selain topik radikalisme, permasalahan di Kaltara adalah berkembang pesatnya agama-agama sempalan, dan ini tidak hanya berlaku untuk Islam tetapi juga Kristen.

Munculnya agama-agama sempalan terungkap dalam pemantauan Komitmen sosial. Agama sempalan ini terkadang disamarkan karena pernah dinyatakan sebagai organisasi terlarang dan kemudian berganti nama. Meskipun kasus berubah, tetapi ajaran mereka ditengarai masih menyimpang dari agama yang diterima di Indonesia.

Berbagai regulasi telah diberlakukan tentang materi radikalisme dan tindak pidana terorisme, termasuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018.

Radikalisme mudah dipahami masyarakat ketika suatu organisasi atau kelompok bertindak bertentangan dengan empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Eka.

Agama sempalan ini berbahaya bukan hanya karena berpotensi menjadi ekstremis dan radikal (misalnya tidak mengakui Pancasila dan pemerintahan yang sah), tetapi dapat meningkat menjadi konflik horizontal karena ajaran yang berbeda.

Kerentanan Kaltara terhadap penyebaran radikalisme dan terorisme, diakui BNPT, belakangan ini termasuk pelibatan masyarakat dalam pencegahan terorisme melalui FKPT Kaltara.

Roedy Widodo, Kasubdit Pembangunan Lapas Tarakan BNPT, mengakui kerentanan Kaltara dalam kegiatan partisipasi masyarakat di perbatasan pada pertengahan 2022.

Kaltara merupakan daerah perbatasan sehingga menjadi pintu gerbang bagi para pekerja migran khususnya tenaga kerja wanita (TKW) yang berpotensi terpapar radikalisme di luar negeri.

Mengenai upaya pendeteksian dan pencegahan pajanan terhadap pekerja migran Indonesia (PMI), termasuk untuk TKW, sudah ada kerjasama tripartit antara BNPT, Kementerian Tenaga Kerja dan Kementerian Luar Negeri di pusat (Jakarta).

Penanggulangan terorisme oleh BNPT dilakukan melalui upaya preventif yang meliputi kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisme, deradikalisasi dan kerjasama internasional.

BNPT bekerja sama dengan kementerian dan lembaga lain, dalam hal ini Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Tenaga Kerja, untuk menginformasikan WNI sebelum berangkat ke luar negeri.

Diantaranya yang sudah berada di luar negeri agar tidak terkena intoleransi, melalui Subdit Kontra Propaganda dan Subdirektorat Perlindungan WNI.

Kejahatan dicegah dengan pendekatan lembut melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat dan deradikalisasi juga pendekatan yang sulit dengan mengkoordinasikan penuntutan pidana di dalam dan luar negeri.

Dalam menjawab tantangan tersebut, BNPT dan FKPT terus berkoordinasi dan bekerja sama dengan seluruh pemangku kepentingan.

Misalnya, FKPT Kaltara, Densus 88 Antiteror Polri dan Pondok Pesantren Fatimah Az-Zahra Bulungan menggelar dialog nasional dengan anak-anak sekolah dan pesantren di Tanjung Selor pada Juli 2022.

Sebelumnya, pada 9 Juni 2022, FKPT Kaltara di Tarakan terlibat dalam kegiatan peningkatan kompetensi guru agama bagi 50 khatib se-provinsi oleh Kementerian Agama Kaltara.

Libatkan pemuka agama

Dalam upaya mengatasi kerentanan Kaltara, FKPT Kaltara mengupayakan koordinasi lebih lanjut dengan melibatkan peran aktif berbagai kalangan, salah satunya para pendidik agama, yang dinilai sangat strategis melawan radikalisme.

FKPT Kaltara telah terlibat dalam kegiatan peningkatan kapasitas guru agama oleh Departemen Agama Kaltara, serta beberapa kementerian di kabupaten dan kota di provinsi tersebut.

Baru-baru ini termasuk “pengarusutamaan moderasi agama dan wawasan kebangsaan” bagi 30 guru EBT dari sejumlah kecamatan Bulungan.

“Pengarusutamaan” adalah proses yang dilakukan untuk membawa aspek-aspek ke dalam siklus pengambilan keputusan dan pengelolaan kegiatan kelembagaan dan program kerja utama yang sebelumnya dianggap tidak penting atau marginal.

Pendaki agama menghadapi tantangan, bukan hanya karena kondisi geografis Kaltara, tetapi juga karena kemajuan teknologi informasi, sehingga potensi radikalisme juga terpancar dari media sosial.

Selain membantu memahami bahaya radikalisme, kami berharap dengan berkoordinasi dengan pejabat daerah, staf penasehat dapat membantu mengungkap kerentanan.

Di sisi lain, ancaman radikalisme bukan hanya untuk orang biasa, tetapi dapat menyerang siapa saja, termasuk guru, dosen dan dosen itu sendiri, meskipun perannya sangat strategis dalam memberikan pendidikan dan suri tauladan.

Oleh karena itu, Ahmad Nurwakhid, Direktur Departemen Pencegahan BNPT, menjelaskan bahwa masalah “pendakwah radikal”—yang pernah dijuluki Presiden Joko Widodo—adalah peringatan keras untuk membangkitkan kesadaran nasional.

Dalam rapat pimpinan TNI Polri pada 1 Maret 2022 di Mabes TNI, Jakarta, Jokowi mengingatkan para istri dan keluarga anggota TNI Polri untuk tidak sembarangan memanggil da’i. Presiden Jokowi khawatir ini bisa menjadi tempat berkembang biaknya radikalisme di kalangan pejabat negara.

BNPT berulang kali menekankan bahwa radikalisme adalah ideologi yang menjiwai aksi terorisme dan karenanya perlu diwaspadai. Radikalisme adalah proses bertahap menuju terorisme, yang selalu memanipulasi dan mempolitisasi agama.

BNPT menemukan ada lima indikator yang terlihat dari isi materi kuliah yang terpapar virus radikalisme.

Pertama, kuliah dengan materi yang diarahkan pada Pancasila dan pro-ideologi khilafah transnasional.

Khilafah adalah gerakan keagamaan yang dipahami sebagai konsep negara berdasarkan hukum Islam, dan pemimpinnya disebut khalifah.

Kedua, dosen yang mengajar takfiri. Takfiri adalah istilah bagi seorang Muslim yang sering mengutuk Muslim lain sebagai kafir dan murtad atau memalingkan orang dari keyakinan mereka kepada Tuhan.

Ketiga, pembicara yang menanamkan sikap kebencian pada anti pemimpin atau pemerintahan yang sah dan membangun ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah dan negara melalui propaganda fitnah, adu domba, ujaran kebencian, dan penyebaran berita bohong.

Keempat, diberikan sikap eksklusif terhadap lingkungan dan perubahan serta intoleransi terhadap perbedaan dan keragaman (pluralitas).

Kelima, biasanya memiliki pandangan anti budaya atau anti kearifan lokal.

Publik juga perlu mewaspadai tujuan kelompok radikal, yaitu menghancurkan Indonesia melalui berbagai strategi yang mempropagandakan doktrin dan narasi kekerasan.

Ditegaskan, ada tiga strategi yang dilakukan oleh kelompok radikalisme, yaitu pengaburan, penghilangan, dan bahkan misrepresentasi sejarah bangsa.
Kedua, rusaknya budaya dan kearifan lokal masyarakat Indonesia. Ketiga, mengadu domba anak bangsa dengan pandangan tentang intoleransi dan isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan).

Strategi ini dilakukan melalui politisasi agama, yang digunakan untuk membenturkan agama dengan nasionalisme dan agama dengan budaya luhur bangsa.

Proses penyebaran virus tersebut dilakukan secara masif di berbagai bidang kehidupan masyarakat, termasuk oleh para pendakwah yang terpapar radikalisme.

Dalam hal pencegahan dan penanggulangan radikalisme dan terorisme, dukungan dari semua lapisan masyarakat sangat membantu.

Ini termasuk orang-orang Kalimantan Utara yang bekerja di pedalaman dan di perbatasan untuk mencegah radikalisme dan terorisme di pinggiran negara.

Oleh karena itu, program pelibatan masyarakat untuk mengantisipasi penyebaran virus radikalisme menjadi fokus perhatian BNPT-FKPT.

Source: news.google.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button