Yogyakarta

Strategi Pendatang Baru Maskapai

Sumber: Bulevar uang tunai | Editor: Nina Dwiantika

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Puncak pandemi Covid-19 terakhir menghadirkan tantangan tersendiri bagi bisnis penerbangan. Pembatasan perjalanan dan persyaratan transportasi umum yang rumit praktis memaksa orang untuk membatasi aktivitas perjalanannya. Kalaupun ingin bepergian, mereka lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi melalui jalur darat.

Industri penerbangan yang belum selesai dengan dampak pandemi Covid-19 kembali dihadapkan pada permasalahan baru dari kenaikan harga Avtur akibat pelemahan nilai tukar rupiah dan kenaikan harga minyak mentah. . Pada semester pertama tahun 2022 saja, harga avtur naik 55,3%. Padahal, bahan bakar penerbangan menyumbang 60% dari biaya operasional maskapai.

Tekanan tersebut mendorong beberapa maskapai untuk mengubah strategi. Transnusa, salah satunya. Menyusul kekosongan operasional di masa puncak pandemi Covid-19, maskapai yang berbasis di wilayah Indonesia Timur itu mengumumkan rencana terbarunya.

Manajemen memutuskan untuk segera memulai format baru, yaitu penerapan konsep LCC (operator berbiaya rendah). Sebelumnya, maskapai yang didirikan pada 2005 dan bermarkas di Bandara El Tari, Kupang ini merupakan maskapai layanan menengah.

Menurut Direktur Utama Transnusa Bayu Sutanto, Transnusa beralih ke pasar LCC karena perubahan pola kerja penumpang menyusul puncak pandemi Covid-19. “Sebelumnya, segmen korporasi dan pegawai BUMN dan ASN didominasi penumpang. Jumlahnya di atas 40 persen,” katanya. Biasanya mereka pergi untuk alasan resmi, rapat dan lain sebagainya.

Di masa pandemi Covid-19, para pekerja dan institusinya sudah terbiasa mengadakan rapat online. “Kecuali mereka yang harus bekerja di lapangan, misalnya di pertambangan. Tapi secara umum masyarakat sudah nyaman dengan pola kerja online ini,” kata Bayu.

Dampak dari perubahan pola kerja tersebut adalah segmen penumpang jasa mengalami penurunan drastis. Padahal, menurut Bayu, segmen penumpang kurang sensitif terhadap harga. Di sisi lain, banyak perusahaan memotong anggaran mereka untuk perjalanan bisnis.

Saat ini, sebagian besar penumpang maskapai penerbangan adalah orang-orang yang bepergian dengan membawa tas sendiri. “Masyarakat saat ini sedang euforia saat traveling, traveling, berlibur,” ujarnya.

Untuk itu, Transnusa bertekad beralih ke rute LCC agar harga tiket yang ditawarkan menjadi lebih kompetitif. Akhirnya, segmen LCC dianggap lebih besar.

Perubahan, menurut Bayu, tidak hanya terbatas pada harga tiket, tetapi banyak aspek di luar itu. Misalnya, mereka mengubah pesawat, dari turbopop ATR asli, Transnusa sekarang terbang dalam mode jet. Salah satunya adalah A320.

Setelah setahun tidak beroperasi di masa puncak pandemi Covid-19, Transnusa harus melakukan resertifikasi AOC. “Karena armada kita juga berubah. Sertifikasi ulang harus selesai pada akhir September,” kata Bayu.

Rencananya ke depan, Transnusa akan menjadikan Bandara Ngurah Rai di Denpasar sebagai hub utamanya selain Bandara Soekarno Hatta.

“Karena kami akan menerbangi rute domestik dan luar negeri,” kata Bayu yang berharap pesawat Transnusa bisa terbang di rute domestik pada awal Oktober.

Untuk hub Denpasar, mereka akan menjajaki kawasan Indonesia bagian timur seperti Kupang, Waingapu dan Labuhan Bajo dalam rencana Transnusa. “Untuk jalur barat ada Yogyakarta dan Surabaya,” kata Bayu lagi.

Menurut Bayu, rute Jakarta-Denpasar dan Jakarta-Yogyakarta merupakan rute prioritas yang akan segera mereka terbangkan. “Kami memilih rute dengan demand tinggi sehingga utilisasinya juga tinggi. Jadi kami tidak akan menerbangkan rute dengan permintaan rendah,” katanya.

Namun, rute gemuk seperti Jakarta-Denpasar dan Jakarta-Yogyakarta dipenuhi seperti gula di banyak maskapai. Bayu juga menyadarinya. “Pemainnya memang banyak, tapi tergantung servicenya. Ini sama saja dengan menjual beras di pasar. Banyak yang jual, tapi tetap dibeli orang,” ujarnya.

Sebagai pemain baru, Transnusa mengandalkan layanan prima untuk menaklukkan pasar. “Kami menyebutnya LCC plus,” kata Bayu. Misalnya, Transnusa menawarkan minuman dan makanan ringan untuk penerbangan lebih dari 1 jam.

Sejauh ini, Transnusa telah menetapkan tujuan faktor beban 70% hingga 80% untuk rute yang mereka kerjakan. “Dengan catatan, kondisi normal, tidak ada pembatasan perjalanan,” katanya.

Terakhir, Bayu optimistis dengan target tersebut karena jumlah penumpang pesawat terus meningkat sejak pandemi Covid-19.

Transnusa juga telah menyiapkan penerbangan luar negeri untuk mendatangkan wisatawan dari sana. Misalnya, Anda berencana membuka rute penerbangan ke China. “Karena turis China itu kebanyakan berada di Indonesia sebelum pandemi Covid-19,” kata Bayu. Selain itu, mereka memiliki rencana untuk mengerjakan rute Australia ke kota-kota Perth, Darwin, Melbourne dan Sydney.

Baca Juga: Biarkan Harga Tiket Pesawat Naik, Itu Alasan Dishub

Penerbangan yang direncanakan

Perubahan bisnis juga telah dilakukan di Pelita Air Service. Maskapai yang merupakan anak perusahaan Pertamina yang didirikan pada 1970 ini sebelumnya lebih fokus menggarap bisnis charter pesawat.

Pelita sebenarnya bekerja di pasar penerbangan berjadwal antara tahun 2000 dan 2005. Namun, setelah itu, mereka kembali ke bisnis sewa pesawat.

Pasca pandemi Covid-19, Pelita Air Service kembali membuka layanan penerbangan berjadwal. Mereka mulai menggarap Fat Route Jakarta-Denpasar pada 22 April 2022.

Pada Juni 2022 Pelita Air menambah rute baru yakni Jakarta-Yogyakarta. “Pembukaan rute ini dipilih karena Yogyakarta merupakan salah satu destinasi wisata unggulan,” kata Dendy Kurniawan, Presiden Direktur Pelita Air Service, dalam siaran persnya.

Untuk melayani pasar layanan menengah ini, Pelita Air berencana menambah 10 pesawat baru setiap tahun. Dengan faktor beban penumpang 70% pada akhir tahun 2022.

Pengadaan pesawat tersebut, menurut Dendy dalam komunikasi yang diterima KONTAN, akan dilakukan melalui leasing dari lessor. Jadi tidak ada investasi selain membayar deposit.

Hingga saat ini, Pelita Air Service telah mengoperasikan tiga pesawat untuk dua rutenya. Sebuah pesawat Airbus A320 yang bergabung pekan lalu (6/8).

Menurut Dendy, kedatangan pesawat baru ini merupakan bukti nyata komitmen Pelita Air Service untuk menggarap penerbangan berjadwal setelah puluhan tahun fokus di bisnis charter pesawat.

Untuk menarik penumpang, Pelita Air menggelar layanan inflight entertainment bagi para penumpangnya. Layanan hiburan gratis ini dapat diakses dengan smartphone, tablet, atau laptop setiap penumpang menggunakan hiburan dalam pesawat nirkabel dengan aplikasi Tripper.

Akankah maskapai lama dengan kedok baru ini berhasil menaklukkan pasar? Kami hanya akan menunggu.

Baca Juga: Siap-siap! Harga tiket pesawat naik, kata Departemen Perhubungan

Source: insight.kontan.co.id

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button