Jawa Timur

SALAMATAKAKI #7: Membaca Bandung dengan cerita Bandung dan Patjar Merah

BandungMobile.id“Saya sebenarnya sudah lama ingin melakukan ini, tapi baru sekarang karena saya hanya libur Sabtu-Minggu,” kata Dian. Dari Jakarta, Dian sengaja naik kereta sore, bermalam di stasiun kereta Hall Bandung, lalu berangkat ke meeting point kami di This Is Me selfie center, Cihampelas, dini hari. Diana tidak ingin terlambat.

Mengungkap Tjihampelas adalah wisata unik yang membuat Dian siap menempuh upaya tersebut. Program ini terselenggara berkat kerjasama Cerita Bandung, biro perjalanan wisata yang menawarkan pengalaman berbeda, dan Patjar Merah, festival literasi dan pasar buku keliling nusantara, mengunjungi gedung PPAG Universitas Parahyangan di Ciumbeuluit, Bandung 3rd-11th Desember.

Bandung Story menyiapkan itinerary cruise di Cihampelas, sedangkan Patjar Merah memberikan buku-buku tentang Bandung kepada sekitar 20 peserta termasuk saya, yang selanjutnya akan kita sebut #patjarboekoe. #patjarboekoe diikuti oleh Gadis Bandung Stories Hadianty dan Roamer #patjar, Faisal Fani Irawan.

Kami memulai langkah dengan memasuki gang Marga Setia. Setelah melewati lapisan jemuran, jalanan yang naik turun, toko-toko kecil dan rumah-rumah penduduk yang padat, kami sampai di sebuah prasasti. Ya, Anda tahu, benar, prasastinya! Itu adalah pertama kalinya saya melihat sebuah prasasti menumpuk seperti batu yang tersesat.

Prasasti ini diperkirakan berasal dari masa Sunda Klasik, sekitar abad ke-7 hingga ke-11 Masehi. Namun karena belum ada penelitian yang dapat memastikan asal muasal prasasti tersebut, maka prasasti tersebut masih ditempatkan di pemukiman penduduk tanpa penjagaan khusus pada saat artikel ini ditulis. Kalau dipikir-pikir, lucu juga. Jarak antara prasasti dan orang membuat prasasti tersebut tampak seperti Semar, yang bersahaja seperti orang biasa, tidak tampan, tetapi sebenarnya adalah penasehat para ksatria.

Prasasti yang ditemui peserta pembukaan Tjihampelas di Gang Marga Setia. Dipercaya bahwa prasasti tersebut berasal dari Sunda Klasik sekitar abad ke-7 hingga ke-11. abad Masehi. (Foto: Sundea/Penulis)

Di gang lain kami berkesempatan mengunjungi masjid yang konon merupakan masjid tertua di kota Bandung. “Sayangnya masjid ini tidak bisa dijadikan cagar budaya,” sesalnya. Didirikan pada tahun 1869, masjid ini awalnya merupakan kobong, atau asrama perguruan tinggi. Karena telah dipugar dengan cara ini tanpa meninggalkan bangunan aslinya, maka dianggap sebagai konstruksi baru. Namun hingga artikel ini ditulis, masjid tersebut tetap aktif sebagai tempat ibadah warga. Namanya cukup unik. Mungolkanas. Singkatan dari “mango urang ngaos sholawat kanggo Kanjeng Nabi Muhammad SAW” yang artinya “Mari membaca doa untuk Nabi Muhammad SAW”. Mungsolkanas didirikan oleh seorang ahli agama bernama KH Abdurrohim, akrab dipanggil Mama (nama panggilan) Aden. Hingga saat ini Mungsolkanas dikelola oleh keturunan Mama Aden.

Tahukah Anda bahwa hidangan lezat itu tercipta di Dapur Dahapati yang melegenda jahat seorang gadis siam dengan saudara laki-laki dari Cianjur? Pernahkah Anda membayangkan bahwa jumlah badak di Bandung pada zaman dahulu bisa hampir sebanyak jumlah kucing saat ini? Bagaimana suasana di pusat hantu Cihampela jika masih menjadi kawasan pemukiman yang nyaman dan tenang bagi penghuninya? Jika Mal Cihampelas masih berupa pabrik pengalengan, bayangkan kehebohan yang terjadi saat buruh pabrik melemparkan hasil produksinya ke warga sekitar untuk meminta sembako.

Rute Reavealing Tjihampelas berakhir di Kelom Geulis Keng yang ternyata ditutup. Di sana saya putus dengan #patjarboekoe yang lain. Mereka rela pergi ke PPAG Universitas Parahyangan untuk mengambil buku-buku barunya sementara saya harus buru-buru pulang untuk menyimpan cucian dan mencuci lagi. Ngomong-ngomong, tempat tinggal saya tidak terlalu jauh dari Kelom Geulis Keng.

Dalam perjalanan pulang, saya menyadari bahwa sebelum kami mendapatkan buku yang diberikan Patjar Merah kepada kami, kami terlebih dahulu diminta untuk mengeja dan membaca kota Bandung. Ingatan saya kembali pada prasasti yang terletak di salah satu gang Cihampelas. Di permukaannya tertulis “unggal jagat, jalmah hendap” dalam aksara Sunda kuno, artinya “setiap orang di dunia ini akan mengalami malapetaka”.

Kalimat ini terasa seperti berita dingin, tetapi juga mengandung hikmah rahasia. aku bertanya pada diriku sendiri Kenapa harus “bencana”? Padahal, bersama bencana, setiap orang pasti juga mengalami kebahagiaan, jatuh cinta, perubahan tahapan hidup, dan sebagainya.

Saya membiarkan pertanyaan terbuka; seperti prasasti yang tidak dilindungi oleh apapun sehingga bisa sedekat mungkin dengan kehidupan masyarakat. Mungkin dia ada sebagai Semar.

Baca juga: SALAMATAKAKI #4: Selamat ulang tahun, sampai jumpa di tengah…
SALAMATAKAKI #5: Kesempatan
SALAMATAKAKI #6: Tentang Bandung Philharmonic, tentang dipaksa putus saat sedang jatuh cinta

Peserta Revealing Tjihampelas, sebuah wisata unik yang menelusuri sisi tersembunyi kota Bandung.  Revealing Tjihampelas adalah tur yang diadakan oleh Cerita Bandung dan Patjar Merah.  (Foto: Haris Patjar Merah)

Peserta Revealing Tjihampelas, sebuah wisata unik yang menelusuri sisi tersembunyi kota Bandung. Revealing Tjihampelas adalah tur yang diadakan oleh Cerita Bandung dan Patjar Merah. (Foto: Haris Patjar Merah)

sejarah bandung

Cerita Bandung adalah biro perjalanan yang menawarkan pengalaman berbeda. Acaranya berupa jalan-jalan ke pelosok kota Bandung sambil mendengarkan cerita-cerita unik tentang kota ini. Bagi cerita Bandung, Bandung bukan sekadar tempat wisata yang terbagi menjadi beberapa tata letak. Bagi mereka, Bandung adalah cerita yang dikandungnya. Sudut pandang masyarakat setempat adalah kekuatan Cerita Bandung. Jadi dengan tour operator ini, Bandung serasa mengunjungi teman lama.

Kisah Bandung dipelopori oleh Farhan Basyir yang masih aktif sebagai MC, Femis yang telah berkecimpung di dunia travelling selama tujuh tahun, dan Girl Hadianty yang sejak kecil memiliki passion menjelajah Bandung. Kunjungi Cerita Bandung di…

Mengungkap peserta Tjihampelas masuk geng Marga Setia di kota Bandung.  Revealing Tjihampelas adalah tur unik yang dibawakan oleh Cerita Bandung dan Patjar Merah.  (Foto: Haris Patjar Merah)

Mengungkap peserta Tjihampelas masuk geng Marga Setia di kota Bandung. Revealing Tjihampelas adalah tur unik yang dibawakan oleh Cerita Bandung dan Patjar Merah. (Foto: Haris Patjar Merah)

Pelindung Merah

Festival literasi dan pasar buku keliling nusantara ini baru menginjak usia 4 tahun. Ide awalnya sangat sederhana, ingin memanfaatkan gudang tak terpakai di kawasan Gedong Kuning Yogyakarta. Penggagas Patjar Merah percaya bahwa pengembangan literasi bisa terjadi di mana saja. Ternyata, acara ini diterima dengan baik dan berkembang. Setelah sukses di Yogyakarta, Patjar Merah pindah ke Malang dan menginvasi kota-kota lain seperti Jakarta dan Surabaya. Selain menjual buku, Patjar Merah juga memberikan diskusi, workshop, bahkan pemutaran film dan pentas musik selama rangkaian acara.

Saat ini Patjar Merah yang dipimpin oleh Windy Ariestanty sedang berkunjung ke Bandung, lebih tepatnya gedung PPAG Universitas Parahyangan. Kolaborasi dan jejaring adalah salah satu cara Patjar Merah memperluas literasi. Kunjungi akun Instagram @patjarmerah_id untuk mengikuti acara dari tanggal 3 hingga 11 Desember 2022.

Source: news.google.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button