Saat mesin digital menggeser perajut di Kampung Rajut Binong Jati - WisataHits
Jawa Barat

Saat mesin digital menggeser perajut di Kampung Rajut Binong Jati

bandung

Kota Bandung menobatkan Desa Rajut Binong Jati sebagai Desa Wisata Kreatif. Kampung rajut ini adalah urat nadi masyarakat Desa Binong, Kecamatan Batununggal, Kota Bandung.

Selama beberapa dekade, orang-orang di Binong mencari nafkah dari merajut. Memproduksi pakaian, syal dan sebagainya. Para perajut menggunakan mesin konvensional. Panjangnya sekitar satu meter, ada yang besar.

Mesin rajut manual atau konvensional perlahan mulai ditinggalkan. Ya, perkembangan teknologi berperan. Beberapa pengusaha rajut menjual mesin konvensional mereka. Mereka menggantinya dengan komputer atau mesin rajut digital, mesin rajut yang lebih canggih. Cukup tekan tombol dan atur polanya. Berbeda dengan tradisional, tangan perlu digerakkan untuk menyusun rajutan.

Salah satu transformasi dari konvensional ke digital dilakukan oleh pabrik rajut Rizky Fashion. Toko rajut ini tersebar di dua lokasi.

“Mulai menggunakan mesin rajut komputer pada tahun 2020. Awalnya hanya ada dua. Saat itu masih lazim menggunakan mesin manual,” ujar Salsa, administrator Rizky Fashion, baru-baru ini kepada detikJabar.

Salsa mengatakan memproduksi dengan mesin rajut komputer memiliki keunggulan tersendiri. Salsa menilai kualitas rajutan lebih bersih dan lebih baik daripada menggunakan mesin manual. Pesanan juga meroket setelah menggunakan mesin. Akibatnya, pemilik toko menambahkan mesin baru untuk meningkatkan kapasitas produksi.

“Kami mulai menambah mesin rajut komputer dan akan lebih banyak lagi di tahun 2021. Sekarang total ada 24 unit,” kata Salsa.

Salsa mengatakan produksi dan penjualan produk rajutan, seperti pakaian, tergantung pesanan. “Rata-rata bisa 700 pis seminggu atau 100 pis sehari. Tergantung, kadang banyak,” kata Salsa.

Salsa mengatakan pandemi COVID-19 belum berdampak signifikan terhadap penjualan pakaian rajut. Penurunan produksi dan penjualan tidak terlalu besar. “Karena kami juga menjual secara online. Jadi ini sangat membantu. Mayoritas penjualan online juga dulu (pandemi) dan sampai hari ini,” kata Salsa.

Takut di tunda

Tidak jauh dari tempat kerja Salsa, Deni sedang mengerjakan mesin rajut tangan. Mesin yang telah digunakan Deni selama beberapa dekade. Deni saat itu menerima pesanan pakaian rajut. Dia juga memiliki tiga karyawan.

“Satu pesanan lagi. Dua minggu lalu tidak ada pesanan, jadi hari libur. Kalau ada pesanan tinggal bilang saja,” kata Deni.

Deni telah berkecimpung dalam bisnis rajutan selama beberapa dekade. Ia telah menggunakan mesin rajut tangan ini sejak tahun 1992. Awalnya, Deni memiliki 15 mesin rajut tangan. Kini Deni hanya memiliki sembilan mesin rajut tangan. Menyaksikan pasang surut Deni, mesin rajut berjuang untuk hidupnya.

Deni juga mengaku prihatin dengan perubahan besar-besaran penggunaan mesin rajut komputer. Meski begitu, Deni mengakui bahwa penggunaan teknologi digital merupakan kebutuhan di dunia saat ini.

“Bahkan jika Anda membelinya, harganya mahal. Itu sebabnya tidak semua pengusaha rajut bisa membelinya. Namun, ada beberapa perajut yang menjual mesin manual agar bisa membeli mesin komputer,” kata Deni.

Dengan adanya mesin rajut komputer, persaingan produksi semakin ketat. Dari segi harga dan lain-lain sangat jauh berbeda. Deni menyadari bahwa produksi rajut manual tidak bisa dibandingkan dengan komputer.

“Jika Anda khawatir, saya yakin staf juga akan khawatir. Ya mudah-mudahan ada solusi ke depan agar bisa terus berproduksi,” ujar Deni.

“Kita tinggal menunggu perintah. Jika ada pesanan 30 lusin ke atas, kami mudahkan. Kalau kurang dari 10 lusin susah karena biaya produksi tidak sesuai, ada pegawai yang juga membantu. ‘ kata Deni.

(tey/tey)

Source: news.google.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button