Rifda Widi - WisataHits
Jawa Barat

Rifda Widi

Dia seorang pengusaha. Dia anak lokal. Dia adalah wanita yang aktif. Ia melihat sendiri betapa besar potensi wisata di Widi.

Rifda baru tahu hebohnya lelang itu: 2 minggu lalu. Widi ternyata sudah dimiliki oleh PT Leadership Islands Indonesia. Masa kepengurusan PT LII juga sangat panjang. Ada yang bilang bisa diperpanjang sampai 99 tahun.

Rifda Ammrina lahir di Ternate. Dia masih di pulau itu sampai lulus SMA. Saya belum pernah ke Jawa. Ayahnya adalah alumni ITB. Kemudian menjadi kepala dinas pekerjaan umum di Ternate.

“Saya pergi ke Jawa untuk pertama kalinya setelah lulus SMA. Saya diterima di IPB tanpa ujian,” kata Rifda. Ia juga belajar ekonomi sosial.

Pekerjaan pertama Rifda setelah lulus dari IPB adalah di Indofood. Di bidang penelitian. Ia kemudian bekerja sebagai Public Relation Manager di Mustika Ratu Mooryati Soedibyo. Dia harus bekerja untuk mencari modal ventura.
Saat memulai usaha, Rifda tidak bertani. Ia menjadi pemasok elektronik kecil. Waktu yang tepat.

Dia mulai menghitung. Dia adalah salah satu dari 14 pengusaha yang mendapat pembinaan khusus dari Menteri Pertambangan dan Energi IB Sudjana saat itu. Tiga dari 14 orang itu sangat sukses di kemudian hari. Juga dalam politik. Ketiga orang itu menjadi menteri. Ada yang di era Presiden SBY dan ada yang di era Presiden Jokowi.

Setelah itu, Rifda memilih “Menghilang”. Dia hamil. Sangat sulit bagi Rifda untuk hamil. Ketika akhirnya hamil, dia membuat keputusan besar: meninggalkan dunia bisnis. Rifda sangat fokus pada kehamilannya.

Seorang putri lahir. Ini adalah anak satu-satunya. Dia membesarkan anak itu sendirian setelah suaminya meninggal. Dia sangat melatih anak itu. Hingga Universitas Boston, AS.

Kemudian Rifda kembali ke dunia bisnis. Kali ini dengan tekad baru: sebagai social enterprise. sociopreneur. Ia pun kembali ke habitat masa mudanya: dunia pertanian.

Saat itu Rifda sudah memiliki modal. Sebelum kehamilan, perusahaannya besar. Dia pernah membuat sejarah: Dia memenangkan tender internasional. Yakni dalam pembangunan sistem transmisi listrik tegangan tinggi di Freeport, Papua.

Freeport sedang membangun pembangkit listrik di dekat pantai Timika saat itu. Listrik harus dialirkan ke tambang emas di pedalaman Papua. Itu harus dipindahkan hingga 60 km dari Timika ke area penambangan.

Setelah proyek selesai dan Rifda hamil, dia menutup perusahaan tersebut. Dia meninggalkan reputasi yang baik di mata perusahaan asing seperti Freeport.

Sociopreneur pertama yang dia lakukan adalah: menyelenggarakan pameran hasil pertanian. Anda ingat nama kegiatannya: Agrinex Expo. Setiap tahun. Sangat besar.
Saya pernah ke sana. Yaitu ketika itu adalah sesuatu yang dulu. Saya pikir di Agrinex saya terakhir kali bertemu Rifda secara langsung.

Dari Agrinex Rifda pergi ke hulu. Ia bergabung dalam gerakan pengabdian kepada masyarakat bersama alumni Institut Pertanian Bogor (IPB). Mereka akan membangun proyek bersama: Kampung IPB. Desa ini dikatakan mencakup 175 hektar. Di daerah miskin Banten Selatan.

Dalam perjalanannya, Kampung IPB berpindah haluan. Ini versi Rifda. Ada program pemerintah berupa BLU Kehutanan. Ada dana BLU yang bisa digunakan untuk hutan produksi tanaman: Sengon, Jabon, dan sejenisnya.

Rifda tidak menginginkan itu. Jadi dia mufaraqah dari Kampung IPB. Dia ingin membangun kebun bertema sendiri mengikuti niat aslinya. dia pergi sendirian Ia pun berwisata ke Cikeusik. Di desa yang lebih dalam. Hatinya terbuka. “Kemiskinan di desa ini sangat tinggi,” kata Rifda.

Di sana Rifda Kampung membangun Agrinex. Sedikit demi sedikit dia membeli tanah. Akhirnya mencapai 25 hektar. Ia menanam berbagai pohon buah-buahan tropis. Sekarang sudah mulai berbuah. Dia membangun vila. Bisa lebih untuk 100 orang.

Ia menjadikan Kampung Agrinex sebagai desa agrowisata. Dia memperkuat orang-orang di desa miskin ini.

Ayahnya sudah beberapa kali ke Kampung Agrinex. Sang ayah bangga dengan putrinya. Di antara 8 bersaudara, Rifda adalah yang paling populer.
Ayahnya dulu suka berkebun di Ternate. Rifda selalu membantu berkebun. Dia mendapat bagian dari pemeliharaan taman.

Juga waktu liburan. Ketika saudara-saudaranya pergi berlibur ke Jawa. Rifda benar-benar pergi ke kebun. Hal inilah yang membuat Rifda tidak pernah pergi ke Jawa saat masih remaja.
Saya melihat dari awal berita lelang Widi hanya akan membuat media ramai. Kepulauan tidak bisa dilelang. Pulau bukanlah komoditas. Kepulauan adalah bagian dari tanah air suatu negara.

Setidaknya lelang Widi membawa manfaat besar: masyarakat mengetahui bahwa kepulauan Widi itu ada. Masuk Kabupaten Halmahera Selatan. Dekat Pulau Bacan. Keindahannya tak tertandingi.

Berita lelang Widi jadi pemicu. Siapa tahu Bandara Oesman Sadik di Bacan sedang diperluas. menjadi 2400 meter. Untuk mengizinkan pesawat terbang langsung ke Bacan dari Makassar atau Manado.

Saat ini landasan pacu Oesman Sadik hanya sepanjang 1.000 meter. Bahkan, Widi dari Bandara Bacan lebih dekat daripada dari Bandara Sorong ke kepulauan Raja Ampat.

Hanya saja, penduduk Pulau Bacan yang hanya 20.000 jiwa tidak mampu mendukung pembangunan bandara besar. Kecuali begitu banyak turis pergi ke sana.
Pembatalan lelang Widi tentu membuat orang seperti Rifda sangat senang. “Kudengar bukan hanya lelang yang dibatalkan. Izin akan dicabut oleh pemerintah daerah,” kata Rifda.
Apakah Rifda tertarik mengelola Widi? “Tentu,” katanya.

Selain itu, proyek Kampung Agrinex yang terletak di dalam Banten sudah terealisasi. Saya belum pernah ke desa Agrinex. Tentu saja saya ingin pergi ke sana. Apalagi ketika Anda bisa menjadi komentator yang mengamuk dengan Disway. Bersama masyarakat. Siapa sangka makan buah tropis Agrinex bisa menjinakkannya.artikel logo berita rmol

Source: news.google.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button