Pria ini punya cara jitu menaikkan level kopi Merapi - WisataHits
Yogyakarta

Pria ini punya cara jitu menaikkan level kopi Merapi

Harianjogja.com, SLEMAN — Indonesia memiliki banyak jenis kopi lokal. Salah satunya adalah Kopi Merapi, kopi yang ditanam di lereng Gunung Merapi. Salah satu tokoh yang membuat Kopi Merapi semakin populer adalah Sumijo.

Petung asli Kalurahan Kepuharjo, Kapanewon Cangkringan, Sleman, adalah ketua Koperasi Kebun Makmur, koperasi yang khusus mewadahi petani kopi di Kabupaten Sleman dan pengolahan kopinya.

Ia mendedikasikan hidupnya untuk mengembangkan potensi kopi di Lereng Merapi dan saat ini mengelola Merapi Coffee Shop, sebuah kedai kopi yang menawarkan sajian kopi dan pemandangan Gunung Merapi di Petung.

BACA JUGA: 7 Perguruan Tinggi DIY Sukses Pilkada, KPU: Kampus Jadi Bagian Ad-hoc

Dalam pertemuan di kantor koperasi di Jalan Kaliurang Km 20, Pakem, Sleman, Sumijo, didampingi staf koperasi, berbagi cerita tentang perkembangan Kopi Merapi. Menurutnya, kopi sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. “Sejarah Simbah dulu ada tanaman kopi di lereng Merapi sejak zaman Belanda. Padahal, ada kopi endemik di sana. Tapi karena ada letusan besar di tahun 1930 [Gunung Merapi]tanaman kopi terpengaruh,” Sumijo setuju Jogja setiap hariSelasa (9/8) lalu.

Sejak kecil, pria 47 tahun itu diajak kakek dan neneknya ke perkebunan kopi di Petung. Tumbuh dewasa, ia juga memiliki minat untuk berjuang sebagai petani kopi. “Kopi arabika sudah dikembangkan di sana sejak tahun 1992. Sekarang saya sudah terlibat mulai dari penyiapan lahan hingga penanaman,” ujarnya.

Ia bersama petani kopi di Sleman juga membentuk Gabungan Petani Kopi Kabupaten Sleman untuk menjaga harga jual kopi dari petani tetap tinggi. Setahun kemudian, mereka berkesempatan mengekspor kopi ke Amerika Serikat. Namun karena kuota ekspor tidak mencukupi, Petani Kopi Merapi bekerjasama dengan petani kopi di Deles, Boyolali dan Wonosobo.

Sayangnya, karena kurangnya sarana dan prasarana serta kualitas kopi yang tidak sama, ekspor akhirnya terhenti. Petani juga merugi hingga Rp 20 juta. Keadaan ini mengurangi semangat petani. Namun, Sumijo berusaha tetap membayar utang petani.

Caranya, ia meminjam Rp 180 juta dari Pemkab Sleman. Dia menggunakan Rp 20 juta untuk melunasi utang petani, sedangkan sisanya digunakan untuk membeli alat pengolah kopi dan bahan baku. “Saat itu kami sepakat bahwa kopi harus diproses, tidak terlalu berorientasi ekspor, kalau begitu kacang hijau atau masih mentah,” katanya.

Akhirnya, pada tahun 2004, mereka membentuk Kelompok Usaha Bersama (KUB) Kebun Makmur dengan Sumijo sebagai ketua. Dalam kelompok ini mereka mengolah kopi dan menjualnya dalam bentuk kopi bubuk.

strategi pemasaran

Berbagai dinamika yang dihadapi Sumijo dalam meluncurkan kopi Merapi menarik banyak orang. Namun, salah satu langkah paling efektif untuk mempopulerkan kopi ini adalah dengan memasarkannya langsung ke konsumen kopi.

Awalnya, kopi bubuk yang mereka hasilkan ditujukan untuk dijual di warung-warung. Namun karena kurang peminat, Sumijo pun mengalihkan pemasaran Kopi Merapi ke pengguna langsung. “Seperti toko, kafe, hotel, restoran dan konsumen langsung di tingkat rumah tangga. Mengapa demikian karena ada banyak kafe di Jogja. Dia mengatakan mungkin ada lebih dari 1.600 toko, mulai dari Angkringan hingga kafe besar, belum termasuk hotel dan toko suvenir. Jadi potensi di kancah lokal sangat tinggi,” ujarnya.

Sumijo menilai potensi kopi di tingkat lokal masih tinggi dan enggan mempertimbangkan untuk mengekspor lagi. Sebab, menurutnya, tidak bisa sepenuhnya dipenuhi hanya dengan mengikuti pasar lokal.

BACA JUGA: MSME Grebeg Series dan Jogja Fashion Week Dimulai

Pada tahun 2008, KUB ditingkatkan statusnya menjadi koperasi. Anggota aktifnya adalah 55 petani yang aktif menyetor hasil panen kopinya dan menjadi anggota. Selain itu, masih ada ratusan petani yang belum tergabung dalam koperasi dan hanya sebatas membuang hasil panennya.

“Produksi kopi petani di lereng Merapi masih sangat tinggi, tapi yang bisa ditampung dan dijual adalah bulanan. Sedangkan yang dari petani lebih banyak, bisa lima kali lipat, jadi ada yang langsung dijual ke pedagang,” ujarnya.

Kopi vulkanik yang lembut tapi terlalu kental memang laris di kalangan penikmat kopi di Jogja. Meski demikian, Sumijo mengaku hanya memasok 10% toko di Jogja. Ia berharap dapat lebih memperluas pemasaran Kopi Merapi di kancah lokal. “Potensi kopi di Sleman masih besar. Kami sedang mengembangkan wisata pertanianOleh karena itu, akan dibangun pusat edukasi dan wisata kopi di sebelah Merapi Coffee Shop,” kata Sumijo.

Ia percaya bahwa kopi tidak hanya memiliki fungsi ekonomi. Selain itu, kopi juga dapat digunakan untuk pengawetan. “Jika pemasaran kopi berjalan lancar, di suatu titik membutuhkan lahan perkebunan kopi yang luas. Dengan melestarikan kawasan perkebunan kopi, maka konservasi di kawasan itu juga akan lestari,” ujarnya.

Source: jogjapolitan.harianjogja.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button