Podcast Flora Carita: Singkong, makanan rakyat yang punya khasiat di masa kelam - WisataHits
Jawa Tengah

Podcast Flora Carita: Singkong, makanan rakyat yang punya khasiat di masa kelam

  • Pengarang, Hilman Handoni
  • Rolle, Podcast BBC Indonesia Flora Carita
  • 2 jam lalu

Flora Carita: singkong

Hak cipta gambarGetty Images

Singkong adalah simbol identitas. Dalam lagu-lagu pop tahun 1980-an, singkong melambangkan anak desa, tidak seperti keju, anak kota.

Di beberapa bagian Afrika, hanya butuh dua abad bagi singkong untuk menjadi makanan pokok. Di Asia, singkong juga menjadi andalan para petani karena tanaman ini toleran kekeringan dan bisa ditanam di lahan yang kurang subur sekalipun.

Di Brasil, singkong menjadi makanan pokok para budak dan majikan pada abad ke-16. Singkong melimpah di alam dan menjadi andalan para budak pelarian.

Karena itu, sejarawan mengkaitkan singkong dengan perlawanan terhadap penghapusan perbudakan di negeri itu.

Cerita selengkapnya tentang singkong dan bagaimana tanaman ini menandai kejayaan dan kejatuhan suatu zaman bisa Anda baca di Podcast Flora Carita melalui tautan ini.

Kamu juga bisa mendengarkan podcast Flora Carita di Spotify dan Apple Podcasts serta platform podcast lain pilihanmu.

Dengarkan juga episode lainnya yang membahas tentang tanaman yang berbeda.

Hak cipta gambarGetty Images

Singkong berakar luas

Singkong awalnya berasal dari Amerika Selatan dan telah dibudidayakan selama 5.000 tahun. Sebatang pohon singkong bisa menghasilkan akar yang tebal dan beratnya bisa mencapai 20 kilogram.

Karbohidrat yang dikandungnya terawetkan dengan sempurna di bawah tanah. Bebas dari predator dan serangga berkat cangkang tebal dengan racun sianida.

Hak cipta gambarGetty Images

keterangan,

Kelas pekerja di Brasil menyiapkan makanan mereka dengan singkong.

Untuk menetralkan racun, akarnya harus dikupas, direndam, dibakar, direbus, atau difermentasi sebelum dikonsumsi.

Singkong disajikan ketika seorang kepala suku di Karibia menyajikan makanan mewah kepada Christopher Columbus pada 26 Desember 1442.

Dan sisanya adalah sejarah. Orang Eropa membawa singkong ke koloni mereka di Afrika dan Asia bersama dengan cabai, kentang, tomat, dll.

Penyimpanan makanan bawah tanah

Di Indonesia, singkong mungkin sudah tiba bersamaan dengan hadirnya penjelajah Eropa. Namun tidak banyak sumber yang menyebutkan pembudidayaannya.

“Pada pertengahan abad ke-19 terjadi kelaparan di Demak. Itu adalah wabah yang luar biasa. Setelah itu, pada tahun 1850-an, semua penduduk Jawa dan Palembang berkumpul untuk mempelajari satu tanaman, yaitu singkong,” kata Haryono Rinardi, sejarawan Universitas Diponegoro, Semarang, penulis buku Politik Singkong Era Kolonial.

Sumber gambar, Hilman Handoni

keterangan,

Prapto dan singkong dari kebunnya. Prapto Wiyono adalah Ketua Gabungan Kelompok Tani Ngudi Laras di Desa Karangnongko, Boyolali, Jawa Tengah. Selain jagung dan pepaya, ubi kayu merupakan salah satu primadona palawija. Hampir 90 persen peternakan di sini menggunakan teknik biologis. Banyak pupuk berkat peternakan sapi yang mayoritas dimiliki oleh penduduk desa.

Singkong diperkenalkan sebagai jalan keluar dari krisis pangan. Bahkan, singkong justru lebih sukses sebagai komoditas.

Hindia Belanda menjadi produsen utama dunia. Tepung singkong diekspor untuk industri makanan, pakan ternak, lem dan tekstil.

“Di Prancis, singkong dijadikan minuman pengganti wine,” kata Haryono.

Singkong muncul di saat krisis.

“Ada lonjakan produksi singkong yang luar biasa saat kita menghadapi krisis. Krisis pertama adalah selama Perang Dunia Pertama. Kami terkena blokade Jerman,” lanjutnya.

Sumber gambar, Hilman Handoni

keterangan,

“Kita bisa belajar dari singkong bahwa apa yang tampak asing jika kita bisa menerimanya (apa yang asing) tidak dianggap asing. Bahkan diterima sebagai milik kami,” kata Haryono Rinardi, sejarawan Universitas Diponegoro

Periode kedua adalah selama Depresi.

“Pedesaan Jawa menanggung beban pekerja yang kembali ke pedesaan dari Sumatera Timur. Itu membutuhkan tanaman pangan yang tidak bisa tidak dimakan. Maka nilai produksi singkong tinggi.”

pinjam identitas

Hak cipta gambarGetty Images

keterangan,

diparut. Camilan singkong parut, dikukus dengan gula merah dan disajikan dengan parutan kelapa.

Di Jawa, singkong tidak hanya menjadi pangan alternatif pengganti nasi, tetapi juga sumber jajanan kreatif yang bertahan hingga saat ini dan menjadi ciri khas daerah – sebuah identitas.

Jika Anda mampir ke Kota Surakarta, ada kuliner khas bernama Lenjongan. Dan di Pasar Gede Solo ada penjual jajanan legendaris ini: “Lenchogan Yuk Sum”.

Berbagai bentuk, warna dan ukuran singkong diolah untuk memanjakan mata dan merangsang air liur.

“Itu jongkok. Cenil (juga) terbuat dari singkong. Tiwul terbuat dari singkong. Savut terbuat dari singkong. Gatot terbuat dari singkong. Getuk dari singkong,” kata Yuk Sum yang sudah berjualan di sana selama 13 tahun.

Sumber gambar, Hilman Handoni

keterangan,

Ayo Sum dibalik jualan jajanan di pasar singkong.

Di Salatiga ada produsen penganan singkong super empuk dan asli bernama Cassava Cheese D-9.

Hardadi, sang pemilik, memberikan “D-9” nomor sel penjara tempat dia berada dan merenungkan nama bisnisnya.

“Pada 2009 saya punya masalah narkoba. (Dipenjara) di Lapas Kelas I Surakarta. Setelah keluar, saya buka D-9 Cheese Cassava,” ujarnya.

Kredit gambar, HILMAN HANDONI

keterangan,

Pada awalnya, Handadi adalah pemasar gerilya untuk kreasi keju dan singkongnya. Dalam sehari ia hanya bisa mengolah 5-10 kg singkong. Kadang juga tidak berhenti.

Di akhir pekan, ribuan orang bisa mengunjungi toko yang juga merangkap sebagai tempat makan.

Puluhan menu jajanan berbahan dasar singkong dijajakan di sini. Di sepanjang jalan, dari ujung ke ujung, terdapat toko atau rumah makan yang menjual aneka jajanan singkong.

Lengkap juga dengan mural bertemakan singkong. Semuanya dimulai dengan Cassava Cheese D9 yang dibuat oleh Hardadi.

Saat ini dia bisa mengolah sekitar lima ton singkong dalam sehari.

Dalam kisah sukses ini, Hardadi juga tak segan-segan menyebut pinjam-meminjam inspirasi.

“Jadi ini dulunya Gethuk Ketek. Itu karena dia sebenarnya masternya,” katanya.

Sumber gambar, Hilman Handoni

keterangan,

D-9 Toko Singkong Keju Salatiga yang selalu dipadati pelanggan.

Dan kini berubah, D-9 Cheese Cassava juga menjadi modal usaha bagi orang lain yang ingin meniru.

“Saya sudah kasih tahu teman-teman D-9 kalau bisa bikin sendiri, kalau mau bikin singkong keju ya saya buat. Dan alhamdulillah sudah ada puluhan merek singkong dan keju di sepanjang Jalan Argo Wiyoto.”

Memuliakan singkong

Sumber gambar, Hilman Handoni

keterangan,

Kampung Adat Cirendeu.

Di kampung adat Cirendeu, tak jauh dari pusat Kota Cimahi, Jawa Barat, singkong bukan sekadar makanan dan kesehatan.

“Ketika kita menanam, memanen, bukan hanya menanam, bukan memanen. Sebelum panen, kami melakukan sanduk papalaku atau sembahyang dengan cara membuat sesajen di kebun singkong.

“Mintalah izin untuk memanen,” kata Kang Yana, salah seorang pemuda yang dititipkan tetua desa untuk menjadi semacam humas desa adat.

Sumber gambar, Hilman Handoni

keterangan,

Olahan singkong di desa Cirendeu dibuat menjadi sekitar tiga puluh menu.

“Di sini kami lebih dikenal sebagai Suku Aborigin Sunda Wiwitan. Kami dianggap unik oleh orang luar Cirendeu. Kalau kita sih sebenarnya biasa saja karena singkong kebetulan jadi makanan pokok,” kata Kang Yana.

Penduduk kampung adat Cirendeu pertama kali makan nasi. Namun penjajahan dan kelaparan memaksa para tetua untuk berinovasi menyelamatkan Adat.

“Jadi menurut Pupuhus, kejadian 1918 merupakan usaha baru untuk menukar angka (beras).”

Setelah enam tahun mencoba, mereka menemukan apa yang disebut rasi atau nasi singkong. Konstelasi kering ini bisa bertahan lebih dari setahun jika disimpan dengan benar.

Rasi kini telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh pemerintah.

Sumber gambar, Hilman Handoni

keterangan,

Kang Yana berdiskusi dengan para siswa. Kampung Cirendeu sering menjadi tujuan studi banding untuk belajar tentang toleransi dan koeksistensi dengan alam.

Singkong tidak boleh ditanam di sembarang tempat, apalagi menyerbu hutan terlarang, hal ini dipatuhi dengan ketat oleh warga Kampung Adat Cirendeu.

Ada filosofi Sunda, Tri Tangtu atau Tiga Sila, yang dipatuhi secara ketat. Sederhananya, aturan ini adalah pembatasan wilayah untuk menghormati alam dan membatasi keserakahan manusia.

“Yang pertama keramat yang tidak bisa diubah, apalagi ditanam singkong. Ini Leuweung Larangan. Kedua, Leuweung Baladahan, [ini wilayah] Batas antara yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan [dimanfaatkan].

“Yang bisa disebut kawasan Baladahan adalah tempat untuk bercocok tanam atau bercocok tanam,” kata Kang Yana lagi.

Pada tahun 1985 dibangun TPA di dekat desa ini.

“Jadi desa kami otomatis terisolir. Akhirnya (kami) menjadi bahan ejekan orang lain. Masyarakat melabeli kami sebagai Kampung Sampah. Ketika orang Cirendeu pergi ke kota, mereka pasti mencium bau sampah, meskipun mereka bukan pemulung, karena pakaian mereka juga sangat bau sampah.”

Pada tahun 2005, sampah yang terkumpul runtuh, longsor. Sebanyak 147 orang tewas. TPA itu kemudian ditutup.

Dan itu membuat Desa Cirendeu bernafas begitu lama. Perlahan desa adat ini kembali bersinar. Jadilah pilot dan jadilah subjek liputan.

Desa adat juga ramai menjadi tujuan wisata keluarga. Memanfaatkan kunjungan wisatawan atau warga yang berkunjung, ibu-ibu desa ini mengolah singkong menjadi makanan ringan yang enak.

Total ada lebih dari tiga puluh menu olahan. Diantaranya telur gulung kistik, cireng, lidah kucing, keripik bawang, opak bumbu, kismis goreng dan lain-lain.

Sumber gambar, Hilman Handoni

keterangan,

Di akhir pekan, Kampung Cirendeu ramai dikunjungi warga sekitar yang ingin berwisata.

Singkong juga merupakan bagian dari wisata edukasi. Terutama dirancang untuk membantu pengunjung memahami apa yang mereka makan.

“Saya suka lihat di restoran, kok (makanan) belum siap? sayang, ya dianggap dibeli. Dilihat selesai dengan ekonomi, dengan uang. Meskipun ada sesuatu yang spiritual.

“Kami menanam atau merawat tanaman ini dengan cinta, dengan doa, dengan energi,” pungkas Kang Yana.

Tahukah Anda bahwa di desa adat Cirendeu terdapat sebuah bukit yang hanya bisa didaki tanpa alas kaki? Salam Puncak, namanya. Bertelanjang kaki dianggap sebagai hubungan dengan Ibu Pertiwi dan tanda penghormatan terhadap alam.

Source: news.google.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button