Pertunjukan Sudamala Yayasan Titimangsa Bawa Tradisi Bali ke Gedung Arsip Nasional Jakarta - WisataHits
Jawa Barat

Pertunjukan Sudamala Yayasan Titimangsa Bawa Tradisi Bali ke Gedung Arsip Nasional Jakarta

TEMPO.CO, jakarta – Yayasan Titimangsa sukses menyelenggarakan pagelaran teatrikal berbasis tradisi Bali bertajuk Sudamala: Epilog Calonarang. Pameran berlangsung pada Sabtu dan Minggu, 10 dan 11 September 2022 di Gedung Arsip Nasional Jakarta. Pertunjukan tersebut cukup sukses karena tiket untuk dua hari itu terjual habis.

Malam itu, gedung Arsip Nasional di Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat, tampak menjelma menjadi bangunan mirip Bali. Penonton datang dengan mengenakan gaun putih-putih seolah-olah sedang merayakan kebaktian. Beberapa dari mereka memakai kebaya dan yang lain memakai sarung. Bangunan ini juga dihiasi dengan daun kelapa dan bau dupa, menambah nuansa Bali pada malam ini.

Nuansa Bali juga dipertegas dengan adanya pameran keris di ruang depan gedung Arsip Nasional. The 4 Made Pada Krisses dipajang di showroom. Ke 4 keris tersebut merupakan 4 rangkaian keris Tangguh Kamardikan buatannya.

Di area pertunjukan, penonton langsung disambut dengan iringan gamelan Bali yang terus ditabuh. Panggung artistik juga disuguhkan dengan nuansa pedesaan Bali yang masih asli dengan banyak pepohonan dan gubuk bambu. Di bagian depan, panggung berbentuk seperti gerbang kerajaan.

Pertunjukan dimulai dengan tarian Bali, lengkap dengan barong dan penari topeng untuk mengiringi mereka. Irama ritmis gamelan Bali yang dipadukan dengan tarian para penari menghibur penonton yang datang. Sampai Bondres muncul, badut kerajaan mengarahkan cerita.

Pertunjukan Sudamala di Gedung Arsip Nasional pada Sabtu, 10 September 2022. Foto: Yose Riandi.

Suddhamala terdiri dari dua kata yaitu Suddha dan Mala. Suddha berarti memurnikan, menghilangkan, atau memurnikan; dan mala berarti kotor. Oleh karena itu istilah Suddhamala dapat berarti pemurnian/penghapusan kekotoran batin; atau penyucian, yang sering disebut sebagai pemisuda.

Dalam tradisi Bali, Suddhamala sering ditampilkan dan direpresentasikan melalui seni pertunjukan, misalnya drama tari Calonarang. Calonarang adalah karya sastra yang berasal dari Jawa Timur dan dibawa ke Bali setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit.

Setibanya di Bali, karya sastra tersebut ditulis ulang dengan tetap mempertahankan model aslinya dan sebagian ditransformasikan menjadi karya sastra lain, sehingga menghasilkan karya sastra turunan dan adaptasi Calonarang.

Teks Calonarang ini dilestarikan dalam tradisi Bali karena mengandung nilai religi, magis, mitologis, dan estetis. Teks prosa calonarang memiliki fungsi religius magis karena teks digunakan sebagai pedoman upacara penyucian (ruwatan) sedangkan geguritan calonarang menjadi sastra dan drama yang estetis magis.

Transformasi karya sastra menjadi seni pertunjukan Bali telah menghasilkan seni pertunjukan yang mengandung makna penyucian (ruwatan) baik bhuwana alit (mikrokosmos) maupun bhuwana agung (makrokosmos).

Acara ini diproduseri oleh Happy Salma dan Nicholas Saputra. Acara ini dimulai dari Nico yang menghabiskan lebih dari separuh waktunya di Bali selama masa pandemi Covid-19. Saat itu, ia berkesempatan untuk menyaksikan berbagai acara dan bertemu dengan seniman Bali yang berbeda.

“Selama saya tinggal di Bali, Happy Salma, sahabat saya, memberikan pertunjukan di jantung Ubud yang berjudul Ubud Taksu melibatkan penari dan pemusik tradisional Bali, sebuah kolaborasi pertunjukan kontemporer dengan sentuhan tradisi yang kuat. Pada malam-malam tertentu saya berkesempatan melihat pertunjukan Calonarang di berbagai lokasi di Bali,” kata Nico, Sabtu 11 September 2022.

Nico menjelaskan bahwa ide panggung Sudamala: Dari Epilog Calonarang Hal ini terjadi melalui diskusi dengan Happy Salma dan didukung oleh Cokorda Gde Bayu Putra. Dari dialog tersebut, mereka ingin mengajak penonton untuk kembali mengunjungi Bali melalui sebuah pertunjukan. “Dari sudut pandang yang bebas Bali sebagai tujuan wisata, dari akar yang mendefinisikan Bali,” katanya.

Happy yang juga pendiri Yayasan Titimangsa menjelaskan, melibatkan lebih dari seratus orang dalam acara ini tidaklah mudah. Dia dan Nicholas Saputra sebagai produser harus keras kepala. Ini adalah kolaborasi pertunjukan pertama mereka.

“Tetapi saya perhatikan bahwa kami menyesuaikan diri dengan cukup cepat. Bagaimana menunjukkan sesuatu yang berakar pada tradisi atau ritual memiliki relevansi dengan masalah atau pandangan masyarakat secara umum? Itu tujuan kami,” kata Happy Salma.

Baca Juga: Adaptasi Sastra ke Seni Pertunjukan, Titimangsa Tampil Sudamala pada 10-11 September

Ikuti berita terbaru Tempo.co di Google News, klik di sini.

Source: seleb.tempo.co

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button