Peran Mbah Singobarong di Kampung Badut - WisataHits
Jawa Timur

Peran Mbah Singobarong di Kampung Badut

Sebelum dipadati warga sekitar, Kampung Badut yang terletak di Desa Karangbesuki Kecamatan Sukun ini sepi. Nurhayati, istri salah satu tokoh masyarakat setempat, mengenang peristiwa tahun 1972 saat ia masih kecil. “Saat pertama kali tinggal di sana (rumah di depan candi badut), masih ada hutan di sekitar rumah kami,” ujarnya. Dahulu kawasan itu disebut Dusun Badut.

Terletak di Desa Karangbesuki. Setelah wilayah tersebut secara administratif digabung dengan Kota Malang pada tahun 1987, istilah tersebut berubah. Menjadi desa Karangbesuk. Perubahan ini dilakukan pada tahun 2001. Istilah Dusun Badut diubah menjadi Desa Badut. Pemukiman tersebut terletak di RW 5, Desa Karangbesuki. Terdapat 13 RT di RW 5. Yang pertama membuka hutan adalah Mbah Saniman atau lebih dikenal dengan Mbah Singobarong. Konon ia banyak menemukan pohon badut, atau sekarang disebut pohon badut.

“Pohonnya tinggi, sekitar 10 meter. Diameter batangnya bisa satu meter. Bentuk daunnya seperti daun pohon nangka, tapi ukurannya seperti daun pohon waru,” kata Kamin, keturunan keenam Mbah Singobarong. Karena banyak terdapat pohon badut, maka kawasan disana dinamakan Dusun Badut. Cerita ini didukung oleh Suwardono, sejarawan kota Malang. Menurutnya, dulu masyarakat memberi nama kampung tanpa ada rapat atau kesepakatan. Apa yang dilihat juga digunakan sebagai nama. Oleh karena itu, tempat yang banyak terdapat pohon badut ini disebut Kampung Badut.

“Tenggara Kuil Badut adalah pohon. Yang tidak terlalu besar. Ini adalah tanaman saya. Sengaja saya tanam di situ supaya orang tahu nama badut itu berasal dari tumbuhan,” ujarnya. Dalam buku berjudul Malang Tempo Doeloe Jilid 2 karya Dukut Imam Widodo dan kawan-kawan disebutkan bahwa Candi Badut pertama kali disebutkan pada tahun 1921 oleh Maureen Brecher. Nama Kuil Badut masih menjadi misteri. Beberapa ahli berpendapat bahwa penyebutan candi umumnya bertepatan dengan nama desa tempat didirikannya. Dan candi itu ditemukan di Dusun Badut. Saat candi ditemukan, konon di sana juga banyak terdapat pohon badut. Pohon itu juga ditemukan di dekat piramida dr batu kasar di candi. Versi lain juga menyebutkan bahwa Dusun Badut dulunya memiliki warga yang humoris. Hal ini ditengahi oleh beberapa warga di sana. Versi ini mirip dengan buku Toponim Kota Malang karya Ismail Lutfi dan kawan-kawan. Buku itu menyatakan bahwa nama badut berarti pelawak dalam bahasa Jawa modern.

Sedangkan nama badut dalam bahasa Jawa kuno berarti lelucon. Menurut Suwardono, Prof. Purbacaraka mengaitkan nama badut itu dengan prasasti Dinoyo (760 M). Prasasti itu menyebutkan bahwa ada Raja Gajayana. Nama panggilannya adalah Liçwa, yang berasal dari bahasa Sansekerta. Artinya, anak komedi atau penari. “Orang Jawa menyebutnya badut,” ujarnya. Versi ini juga terdapat dalam buku berjudul Malang Tempo Doeloe Jilid 2 karya Dukut Imam Widodo dan kawan-kawan. Terlepas dari versi yang berbeda tersebut, warga Kampung Badut masih bersahabat hingga saat ini. Mereka rutin merayakan selamatan desa sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. “Biasanya kami membuat tumpeng lalu mengirimkan doa kepada leluhur kami,” kata Wahyudi, tokoh masyarakat setempat.

Lanjutnya, nenek moyang warga Kampung Badut ada di Makam Pakisaji dan Pura Badut. Makam Pakisaji saat ini digunakan sebagai tempat pemakaman terakhir Mbah Singobarong dan keturunannya. Warga muslim biasanya merayakan syukuran di Balai RW dengan membaca surat Yasin dan Istighotsah. Sementara itu, warga yang mengadakan acara di Candi Badut biasanya mengenakan pakaian adat Jawa. Acara rutin diberi nama berbeda. “Ada yang menyebutnya penyelamatan desa, penyelamatan dusun atau pembersihan dusun,” ujar mantan ketua RW 5 ini.

Biasanya kegiatan ini rutin dilakukan setiap 1 Suro dan mengundang pejabat di Kota Malang. Terakhir, acara berlangsung pada 31 Juli 2022 atau 1 Muharram 1444 Hijriah. Saat memasuki kawasan RW 5, terdapat tugu bambu yang terletak di seberang Makam Pakisaji. Tugu ini berbentuk empat batang bambu. Salah satu bambu tertinggi (sekitar empat meter) berdiri di belakang tengah, di mana bendera merah putih berkibar. Dua bambu lainnya lebih pendek (sekitar sepuluh kaki) dan mengapit bambu tertinggi. Dan bambu terpendek (sekitar dua meter) ada di depan. Keempat bambu tersebut didesain meruncing di ujungnya. Ada lampu di sekitar monumen yang menyala di malam hari. Arif Pribadi dan Usman Afandi, warga sekitar, menuturkan ada dua versi cerita terkait latar belakang berdirinya tugu tersebut. Pertama, mempertontonkan senjata orang Jawa melawan penjajah. Kedua, memperingati pertama kali listrik masuk ke Kampung Badut. (*/melalui)

Source: news.google.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button