Pelancong etis untuk pariwisata berkualitas
ANCAMAN Menurut laporan, Pasal 415 dan 416 KUHP tentang seks pranikah mempengaruhi kunjungan wisman ke Indonesia. Pasal lapor tersebut diduga menghambat aktivitas wisatawan. Masalah moralitas sebenarnya tergantung pada pernyataan penolakan di mana seolah-olah pariwisata gratis tidak berharga. Sebaliknya, dengan anggapan seperti itu, semua pelaku wisata dan konsumen amoral.
Karena dinamika tersebut, pesan moral di balik peraturan perundang-undangan tersebut perlu disikapi dengan bijak. Serta koreksi atas perilaku negatif yang tidak sesuai dengan norma dan moralitas. Hadirkan pariwisata berkualitas tidak hanya melalui tampilan fisik dan lahiriah, tetapi juga melalui penumbuhan karakter dan nilai-nilai positif yang universal. Pariwisata bertujuan untuk mendekatkan manusia kepada Tuhan Yang Maha Pencipta dengan rasa syukur dan sikap positif terhadap sesama dan lingkungan.
dr Terence H. Hull, Dr. Endang Sulistyaningsih dan Prof. Dr. Gavin W. Jones telah menulis buku berjudul Prostitution in Indonesia: History and Development. Menurutnya, tidak perlu munafik mengutuk karya pelacur. Itu karena mereka tidak pernah ada tanpa kegigihan pelanggan mereka, yang, sejujurnya, tumbuh dari hari ke hari karena alasan yang dapat dipahami secara rasional (non-moral). Misalnya, usia pernikahan yang menurun, angka perceraian yang tinggi, mobilitas penduduk yang meningkat, gaya hidup, pendapatan masyarakat dan tantangan yang mereka hadapi (James J. Spillane, 2002).
Namun, sejarah komersialisasi tubuh di dunia ini sepanjang peradaban manusia. Mungkin pernyataan ini bisa diterima jika kita merasa bahwa sumber prostitusi terletak pada kita masing-masing yang gagal mengendalikan diri, memilih yang baik, dan setia pada pasangan kita. Kedengarannya klise, tetapi di sini kita melihat bahwa ada dimensi yang sulit sekaligus rumit untuk menghilangkan tatanan sosial dari jerat lembah hitam.
Mengakhiri praktik mengkomersialkan tubuh dan wisata seks adalah seperti membersihkan diri kita masing-masing dari kebiasaan negatif yang meremehkan martabat seks yang mulia. Berurusan dengan korporasi hanya menambah dosa. Kita harus terus mempertajam model pariwisata sehat dan pariwisata berkualitas. Hal-hal yang dirujuk oleh Hermawan Kartajaya dapat menjadi acuan dalam pemetaan kebutuhan pariwisata sehat dan pariwisata berkualitas. Pertama, pariwisata yang mengasah intelligence quotient (IQ). Saat kita bepergian, inilah saat yang tepat untuk mengeksplorasi dan menemukan ide-ide baru yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Kedua, melatih kecerdasan emosional (EQ) dengan hidup bersama komunitas global (ekspatriat dan turis) dalam masyarakat majemuk. Ketiga, gunakan waktu perjalanan yang berharga untuk membangun inner spiritual quotient (SQ) kita. Bukan dalam arti spiritualitas agama, tetapi dalam kesadaran akan identitas kemanusiaan kita. Mari kembangkan model pariwisata yang sehat.
Ada pihak yang mengkaitkan pasal zina dalam KUHP dengan kinerja pariwisata Indonesia. Ada beberapa spekulasi, wisata seks juga menjadi bagian dari daya tarik orang asing ke Indonesia. Seberapa besar daya tarik wisata seks hingga orang rela ke Indonesia hanya untuk itu?
Logika yang sehat dan sederhana menyatakan bahwa kepuasan berwisata atau mengunjungi suatu daerah datang ketika pengorbanan yang dikeluarkan dalam mengunjungi suatu tempat wisata (biaya, waktu dan tenaga) sesuai dengan keindahan, pelayanan dan kesan keseluruhan yang terdapat di tempat tersebut. Artinya, formula kualitas keseluruhan dalam pariwisata membutuhkan kesan positif dari wisatawan yang terus datang kembali.
Kalimat sederhana ini membalikkan anggapan bahwa pasal zina dalam KUHP berdampak, dan berdampak sistemik, sehingga menurunkan perjalanan wisatawan ke Indonesia. Wisata seks hanya mengundang rasa penasaran wisatawan untuk melihat. Situasinya berbeda ketika orang mengunjungi Indonesia hanya untuk wisata seks dan kemudian kembali ke tempat asalnya. Motivasi mengunjungi kelompok ini bukan merupakan bagian dari strategi pengembangan sektor pariwisata daerah mana pun di Indonesia.
Untuk itu, dinamika KUHP yang sangat dinamis harus dimanfaatkan secara cermat sebagai peluang bagi pemangku kepentingan pariwisata di Indonesia untuk memperbesar dampak positif dari kebijakan tersebut. Tanpa mau melepaskan fakta bahwa prostitusi masih ada, alangkah baiknya jika pasal KUHP yang dianggap sebagai pariwisata yang “mengganggu” bisa dimaknai sebaliknya, membangun pariwisata yang berkualitas dengan meningkatkan daya tarik wisatawan keluarga. Paket keluarga harus dilihat sebagai peluang untuk dikembangkan di Indonesia. Selain itu, pasar wisata senior sesuai dengan lingkungan Indonesia pada umumnya dan Bali pada khususnya.
Sekarang sangat penting untuk mendukung pasar yang setia untuk pariwisata berkualitas. Tidak hanya manajemen etis yang dituntut oleh pengelola industri dan pelaku ekonomi. Namun juga konsumen yang lebih menyukai dan mencintai produk dalam negeri yang menjadi basis bisnis dalam negeri. Bertens (2000) menyatakan bahwa kebajikan dapat didefinisikan sebagai sifat karakter yang diperoleh seseorang yang memungkinkannya untuk berperilaku secara moral.
Kebajikan yang harus membedakan pengusaha individu termasuk kejujuran, keadilan, kepercayaan dan keuletan. Kebajikan tidak boleh terbatas pada tingkat pribadi, tetapi harus selalu ditempatkan dalam konteks komunitas. Oleh karena itu, manusia adalah manusia yang baik jika ia memiliki kebajikan, kehidupan yang baik adalah kehidupan yang bajik: kehidupan yang memiliki kebajikan.
Prioritas konsumen diperlukan di semua sektor bisnis di negara ini. Dari segi wisatawan yang bertanggung jawab, tidak melakukan tindakan kriminal dan aspek lainnya yang bertentangan dengan nilai dan norma masyarakat, yang pada akhirnya mencemarkan nama baik pariwisata nusantara. Disinilah letak penyelenggaraan pariwisata yang berkualitas, dimana kehadiran konsumen membawa manfaat positif bagi lingkungan, masyarakat dan pelaku ekonomi.
*) DEWA GDE SATRYA, Dosen Ekonomi Perhotelan dan Pariwisata Universitas Ciputra Surabaya
Source: news.google.com