Pelajaran Pencegahan KDRT Lesti Kejora - Solopos.com - WisataHits
Jawa Tengah

Pelajaran Pencegahan KDRT Lesti Kejora – Solopos.com

SOLOPOS.COM – Rohmah Ermawati (Solopos/Spesial)

Solopos.com, SOLO — Belakangan ini kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang menimpa pasangan artis Lesti Kejora dan Rizky Billar menjadi perbincangan dan perdebatan sengit di media sosial.

Kekerasan dalam rumah tangga mengakibatkan Lesti terluka. Keberanian penyanyi dalam melaporkan KDRT suaminya ke polisi mendapat dukungan dan simpati dari banyak pihak, terutama para penggemarnya.

Daihatsu Rocky Promotion, Harga Mobil Rp 200 Juta Jadi Hanya Rp 99.000

Banyak pengguna internet pengguna internet melampiaskan rasa frustrasi dan pelecehan mereka pada pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Polisi memproses laporan tersebut dan menangkap Rizky Billar. Kisah yang menyita perhatian publik, bahkan menjadi topik perbincangan para ibu dan ayah di dunia nyata, berakhir mengecewakan.

Lesti mencabut laporan polisi dan memaafkan suaminya. Bagaimana memukul? lelucon, publik bereaksi terhadap keputusan tersebut dengan berbagai komentar. Banyak yang menghujat Lesti, tapi tentu ada juga yang menghargai privasi artis untuk memutuskan hal-hal penting dalam kehidupan pribadinya.

Kekerasan dalam rumah tangga, seperti yang dialami Lesti Kejora, seperti fenomena gunung es di Indonesia. Menurut catatan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan, KDRT terjadi di ranah personal.

Pelaku adalah orang yang memiliki saudara sedarah, saudara, perkawinan atau hubungan intim (pacaran) dengan korban. Kekerasan di ranah pribadi lebih sering terjadi daripada kekerasan di ranah publik atau pemerintahan.

Catatan Tahunan Komnas Perempuan yang dirilis pada awal tahun 2022 menunjukkan bahwa kekerasan terhadap pasangan akan meningkat pada tahun 2021, jauh lebih banyak dibandingkan tahun 2020. Jumlahnya cenderung menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Meski jumlah kasus mengalami penurunan, namun kekerasan terhadap pasangan tetap yang tertinggi setiap tahunnya. Menurut Komnas Perempuan, kekerasan suami-istri merupakan mayoritas dari sekian banyak kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan tercatat, sebanyak 3.404 kasus.

Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Wanita Nasional (SPHPN) 2021 yang dipublikasikan di situs setkab.g.idkekerasan fisik dan/atau seksual terhadap perempuan berusia 15 hingga 64 tahun oleh pasangan dan bukan pasangan, prevalensinya menurun sebesar 7,3% selama periode lima tahun.

Dengan kondisi tersebut, prevalensi kekerasan seksual terus meningkat selama setahun terakhir, dari 4,7% pada tahun 2016 menjadi 5,2% pada tahun 2021. Kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah serius. Banyak faktor yang menyebabkan korban KDRT tidak mau berbagi pengalaman.

Pelaku KDRT bisa saja menipu orang lain dengan sikap yang “baik” dan berpenampilan rapi dan menarik. Hal ini menyebabkan orang tidak percaya bahwa dia melakukan kekerasan terhadap pasangannya, malah menyalahkan korban karena tidak mampu mengkompensasi kondisinya.

Ada alasan mengapa korban masih tergantung secara ekonomi. Jika pasangan tersebut akhirnya divonis dan dipenjarakan, ia mengkhawatirkan nasib keluarganya, terutama kelangsungan hidup anak-anaknya. Orang-orang yang berada dalam posisi ‘tergantung’ biasanya tidak berani mencari bantuan atau melaporkannya ke polisi kecuali mereka telah mengalami kekerasan yang sangat serius.

Alasan lainnya adalah pelaku kekerasan dalam rumah tangga masih mengharapkan perubahan dan masih merasa jatuh cinta. Ketika cinta hilang, korban kekerasan dalam rumah tangga cenderung enggan bercerai karena malu atau tekanan dari keluarga besarnya.

Ada juga korban KDRT yang tidak berani melaporkan karena diteror oleh pelaku. Kondisi yang lebih parah adalah korban KDRT merasa malu untuk melapor ke polisi karena tidak ingin orang lain mengetahui hal buruk yang terjadi dalam keluarganya.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa pengungkapan kasus KDRT sangat bergantung pada keberanian korban. Membicarakan dan menyelesaikan masalah KDRT memang tidak mudah. Dibutuhkan niat, keberanian, dan waktu untuk menyelesaikannya.

Cara berpikir baru

Anda tetap bisa membantu teman, saudara atau kenalan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Dukung korban tanpa menghakimi dan yakinkan mereka untuk mencari bantuan dan tetap sehat.

Dalam konteks kasus KDRT Lesti — meski KDRT kini lebih dianggap sebagai masalah publik ketimbang pribadi — wajar bagi penggemar untuk menerima keputusan artis tersebut.

Kehidupan pribadinya sepenuhnya menjadi urusannya. Semoga keputusan Lesti untuk memaafkan suaminya tidak disesali di kemudian hari. Tidak perlu melanjutkan kehebohan sampai penistaan ​​agama tidak berdampak positif bagi kehidupan.

Kita hanya perlu lebih menjaga lingkungan dan tidak menutup mata bahwa kasus kekerasan dalam rumah tangga bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Kasus KDRT bisa terjadi pada pasangan yang tampil sangat serasi dan mesra.

Gerakan memboikot Lesti dan suaminya -setelah dia mengadu ke polisi- yang muncul di media sosial juga harus dihormati sebagai bentuk kepedulian publik terhadap kasus kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga ini – yang bisa terjadi kapan saja, di mana saja – membutuhkan peran serta banyak elemen masyarakat untuk mencegah dan memberantasnya.

Seruan boikot oleh Lesti dan suaminya merupakan bentuk kepedulian publik terhadap kasus KDRT yang tidak bisa lagi dianggap sebagai masalah pribadi karena sifat kasusnya seperti gunung es. Beberapa muncul meskipun begitu banyak kasus.

Aparat penegak hukum harus menanggapi laporan kekerasan dalam rumah tangga. Jangan selalu berorientasi pada perdamaian karena Anda pikir itu masalah pribadi. Jangan salahkan korbannya.

Undang-undang Penghapusan KDRT No. 23 Tahun 2004 (UU PKDRT) mengusulkan cara berpikir baru karena mengangkat isu KDRT, yang selama ini dianggap sebagai masalah pribadi, ke mata publik.

Kekerasan dalam rumah tangga Bagi sebagian masyarakat kita, itu masih dipandang sebagai “tabu” dalam keluarga, tidak cocok untuk dilihat publik. Karena itu, UU PKDRT tidak berdaya. Semangat undang-undang ini dimaksudkan untuk menjadi alat untuk menghentikan budaya kekerasan di masyarakat dari akar agen perubahan budaya, yaitu keluarga.

Undang-undang ini mendorong perempuan, sebagai pendidik utama dalam keluarga, untuk mengembangkan nilai-nilai cinta, kesetaraan dan kesetaraan, untuk saling peduli sehingga mereka dapat melepaskan diri dari pola perilaku agresif anak-anak dan remaja.

Kekerasan, yang diwarisi dalam pola keluarga sebagai orang tua, bertentangan dengan hukum negara jika dilanggengkan.

(Esai ini dimuat di Harian Solopos edisi 18 Oktober 2022. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group.)

Source: news.google.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button