Observatorium Bosscha Juga 1 abad, pelancong berhenti?
jakarta –
Observatorium Bosscha genap satu abad tahun ini. Observatorium astronomi modern pertama di Asia Tenggara.
Bosscha merupakan landmark di bidang astronomi yang menjadi kebanggaan Indonesia. Observatorium di Jalan Peneropong Bintang, Desa Gudang Kahuripan, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat ini paling modern pada masanya.
Observatorium ini didirikan pada 1 Januari 1923 oleh Nederlandsch-Indische Sterrenständige Vereeniging (NISV) atau Asosiasi Bintang Hindia Belanda. Itu diprakarsai oleh seorang pengusaha kaya bernama KAR Bosscha, yang namanya kemudian diabadikan sebagai nama observatorium.
Observatorium Bosscha diresmikan pada 1 Januari 1923. Bangunan itu menjadi observatorium astronomi modern pertama di Asia Tenggara. Sejak tahun 1951, gedung Observatorium Bosscha menjadi bagian dari Institut Teknologi Bandung (ITB).
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang hadir dalam perayaan 100 tahun Observatorium Bosscha memuji peran tempat tersebut dalam mengamati benda langit bagi dunia dan sebagai tempat yang istimewa.
“Bosscha adalah tempat yang istimewa di dunia karena berada di garis khatulistiwa, di mana Anda bisa melihat bintang di belahan bumi utara dan di belahan bumi selatan,” kata Emil di observatorium Bosscha, Senin (30/1/2023).
Emil mengatakan pihaknya saat ini terus mendukung pelestarian Observatorium Bosscha sebagai bangunan budaya dan sejarah. Penunjukan observatorium sebagai bangunan cagar budaya akan memberikan dukungan keuangan dan peraturan.
“Kami terus berupaya untuk melestarikannya agar menjadi warisan budaya, agar kawasan ini nantinya dapat dilestarikan, sehingga tujuan utamanya adalah menjadikan kajian dan pengetahuan yang tidak terpengaruh oleh perkembangan ekonomi atau pembangunan yang tergerus kawasan ini, diganggu. “ucap emilia.
“Semoga (observatorium) Bosscha selalu lestari. Jabar juga selalu mendukung ITB dalam bentuk anggaran dan regulasi agar keilmuan di Jabar bisa menjadi luar biasa,” ujar Emil.
Emil mengatakan usulan status cagar budaya ini sebagai tanggapan atas keluhan para peneliti Observatorium Bosscha tentang polusi cahaya. Ini memiliki pengaruh yang lebih atau kurang pada pengamatan fenomena astronomi.
“Salah satu jawaban atas keluhan polusi cahaya dimulai dengan menetapkan cagar budaya. Kemudian kami memperbarui zonasi masterplan, RDTR dan RTRW. Intinya berimbang karena kita tidak bisa menghindari kebutuhan ekonomi kecuali saling meniadakan,” kata Emil.
Sementara itu, Rektor ITB Reini Djuhraeni Wirahadikusumah mengatakan 100 tahun Observatorium Bosscha juga menjadi momen bagi Indonesia untuk dilihat dunia sebagai bangsa yang peduli terhadap ilmu pengetahuan.
“Oleh karena itu, kami mengajak semua orang untuk menyadari tujuan keberadaan Bosscha untuk kebaikan dunia. Dari situ pula kami mengangkat nama Indonesia sebagai bangsa yang menghargai ilmunya,” ujar Reini.
***
Artikel ini pertama kali dimuat di detikJabar. Klik untuk lebih di sini.
Simak video “Situasi Sarana Wisata Nuansa Riung di Gunung Pangalengan Sejak PPKM”.
[Gambas:Video 20detik]
(perempuan/perempuan)
Source: news.google.com