Ngawonggo Petirtaan dan tradisi lokal melestarikan lokasi untuk keuntungan ekonomi - WisataHits
Jawa Timur

Ngawonggo Petirtaan dan tradisi lokal melestarikan lokasi untuk keuntungan ekonomi

Situs Ngawonggo Petirtaan terletak di Dusun Nanasan, Desa Ngawonggo, Kecamatan Tajinan, Kabupaten Malang. Tempat ini merupakan situs purbakala peninggalan kerajaan Medang Kamulan atau Mataram Kuno.

Bangunan ini diyakini telah berdiri pada masa keemasan Mpu Sindok. Berdasarkan literasi prasasti Wurandungan atau prasasti Kanuruhan-B dari tahun 943 M. Diketahui memiliki tempat keramat dengan nama Kaswangga.

“Bisa jadi tahun 943 M, nama Ngawonggo itu nama tempat kuno” Kaswanggakata sejarawan dan arkeolog Universitas Negeri Malang Dwi Cahyono Mongabay Indonesia.

Pendapat kedua, nama Desa Ngawonggo dianalogikan dengan desa yang terletak di atas awan atau jika dalam istilah Jawa disebut “awang-awang”. Oleh karena itu, istilah ini menjadi sebutan untuk Ngawonggo.

Ada pula pendapat ketiga yang meyakini bahwa pendiri Desa Ngawonggo berasal dari Ponorogo. Tokoh ini bernama Mbah Suroyudo yang bergelar Warok Ponorogo. Dia ditugaskan untuk menyebarkan agama Islam.

Mengungkap tabir peradaban masa lalu dari candi Budha terbesar di Jawa Timur

Dengan mengacu pada bintang jatuh (Lintang Kemukus), Mbah Suroyudo akhirnya menemukan target pada tahun 1480, yaitu Desa Ngawonggo. Karena julukannya, desa ini disebut Desa Ngawonggo.

Penduduk setempat sudah mengenal dan bahkan menyebut tempat itu sejak tahun 1970-an reka. Karena masih banyak yang tersisa reka (Gambar), tetapi lokasi petir tidak diketahui ada di lokasi ini.

Sebelumnya orang menggunakan pancuran di ujung barat jauh untuk mandi. Namun, setelah adanya sumur, pompa air dan akses ke Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Kamar mandi ditinggalkan dan karena itu ditutupi dengan semak-semak.

Laman ini ditemukan kembali setelah Muhammad Yasin dari Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) dan kawan-kawan mengunggah video dari sebuah tempat bersejarah di desanya melalui kanal Youtube pada April 2017.

Komunitas penggiat sejarah di Malang Raya kemudian melaporkan informasi tersebut ke Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur. Ahmad Hariri, yang saat itu menjabat sebagai ketua program zonasi BPCB Jatim, menjelaskan, saat tim turun ke lokasi, lokasi sudah tertutup rerumputan.

“Berair, ada lumpur. Rerumputan tumbuh subur di lokasi itu,” katanya

Pelestarian Situs

Pada Mei 2017, BPCB Jawa Timur melakukan zonasi selama sembilan hari termasuk kegiatan ekskavasi. Yasin dan beberapa warga setempat terlibat dalam proses tersebut, termasuk penggalian situs petir bersejarah ini.

Ada empat cluster di situs Ngawonggo Petirtaan. Gugus pertama 1A merupakan relief penggambaran dewa-dewa yang terdapat dalam 7 relief dari 9 panel. Sedangkan 1B memiliki kolam dan ukiran atau relief berkelok-kelok.

Cluster kedua, 2A dan 2B, memiliki dua kolam yang dilapisi dengan relief dan liku-liku pusat bumi. Gugus ketiga berisi tebing-tebing dengan relief berliku-liku. Gugus keempat memiliki relief yang menggambarkan makhluk Gana (penyangga alam semesta).

BCPB Jatim juga menentukan zona inti dan zona kedua atau penyangga di lokasi ini. Dari sisi timur disebut sebagai zona inti, dimulai dari jembatan buatan Belanda dan berakhir di ujung kolam.

Area ini hanya diperbolehkan untuk keperluan dokumentasi atau ritual kepercayaan. Sedangkan zona kedua berhimpitan dengan kawasan pemukiman dimana keberadaan tapak dapat dimanfaatkan untuk pembangunan ekonomi.

Pusat Penelitian Arkenas berupaya untuk mempublikasikan hasil penelitian arkeologi dalam bacaan populer

Karena dapat bermanfaat bagi kemaslahatan masyarakat, Yasin dan 40 anggota Pokdarwis Situs Petirtaan Ngawonggo bahu-membahu menjaga, melindungi dan merawat sisa-sisa peninggalan.

Mereka biasanya melakukan satu atau dua bulan pengabdian masyarakat. Rombongan mahasiswa juga sering mampir untuk melakukan program pengabdian terkait pemeliharaan situs bersejarah ini.

“Rentan terhadap pelapukan dan kehancuran, terutama saat terjadi bencana. Itu harus dijaga bersama,” kata Yasin.

Sebagian besar kondisi lega terlihat usang. Meski masih bisa dilihat dan dibaca, rambu-rambu itu memudahkan interpretasi visual. Di Site Cluster 1A, tali dibentangkan agar pengunjung tidak langsung memegang relief yang terpahat pada 9 panel tersebut.

Upaya pencegahan telah dilakukan karena struktur Ngawonggo Petirtaan terdiri dari batuan yang mudah lapuk dan hancur. Dikatakannya, pembersihan lokasi dilakukan dengan cara mekanis tanpa air, dan alatnya berupa sikat ijuk yang lembut.

“Pelan-pelan dan hati-hati menjaga situs agar tidak kolaps,” jelas pria yang juga pengelola situs ini.

Menjadi ekowisata

Dwi mengatakan sisi timur situs dulunya merupakan area persawahan berair, tempat yang cocok untuk lahan pertanian. Sementara itu, situs tersebut terletak di dua sungai, yaitu DAS Kali Manten dan Sungai Dawuhan.

Sumber ini berasal dari timur ke selatan dan mengalir ke cekungan petir. Menurut Dwi, Petirtaan Ngawonggo bisa digunakan sebagai alat pengajaran pengelolaan air di masa lalu.

Dwi menjelaskan situs petir ini berisi instalasi air buatan atau artificial. Untuk itu tidak hanya ada mata air atau mata air (kolam yang diisi air), tetapi juga weluran, talang, petir, mungkin juga pintu air dan bambu.

Pria asal Pematangsiantar ini dikenal sebagai pelacak nenek moyang manusia di Nusantara

Ia meyakini, sebelum pembangunan bendungan yang dikenal dengan nama Sungai Dawuhan, bendungan ala peninggalan nenek moyang itu dibangun. Weluran merupakan saluran air terbuka. Di atas situs adalah saluran air yang dibuat dengan memotong tebing yang kokoh.

“Keluar air mendesah dialirkan ke selokan di sisi selatan Sungai Kali Manten. Kanal yang menyuplai air ini mengisi flash di bawah,” jelasnya.

Parit ini, jelas Dwi, merupakan bagian dari administrasi situs petrifikasi Ngawonggo yang konon sudah menggunakan teknologi canggih saat itu. Namun, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mencapai kesimpulan ini.

“Talang ini lebih muda, dari zaman Singosari atau Majapahit? Sisa-sisa yang sekarang ada di situs itu bukan dari satu zaman,” katanya.

Baginya, budaya masa lalu bisa memberikan pelajaran, kearifan lokal akan mampu menciptakan pengelolaan air untuk kepentingan masyarakat, mulai dari mengairi sawah hingga ritual keagamaan. Warga juga bisa memanfaatkannya untuk tujuan wisata.

Source: www.goodnewsfromindonesia.id

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button