Masyarakat Lokal Terlantar dalam Pengembangan Pariwisata, Kasus Danau Toba - WisataHits
Jawa Barat

Masyarakat Lokal Terlantar dalam Pengembangan Pariwisata, Kasus Danau Toba

INDONESIA akan menjadi tuan rumah pertemuan G20 pada 2022. Salah satu isu penting yang diangkat pada pertemuan G20 adalah investasi hijau. Indonesia dan para pemimpin dunia yang tergabung dalam G20 bertekad untuk mengurangi emisi demi menyelamatkan planet ini. Komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan dibahas.

Bagaimana praktik di bidang ini terkait dengan pembangunan berkelanjutan, khususnya dalam aspek sosial budaya masyarakat kita? Misalnya, sejauh mana negara melindungi budaya penduduk lokal dalam pembangunan seperti kawasan wisata prioritas di Indonesia? Pemerintahan Presiden Jokowi telah mengidentifikasi lima destinasi wisata prioritas, yakni Danau Toba (Sumatera Utara), Borobudur (Jawa Tengah), Mandalika (Nusa Barat-Tenggara), Labuan Bajo (Nusa-Tenggara Timur) dan Likupang (Sulawesi Utara). Bagaimana posisi masyarakat lokal di lima wilayah tersebut? Apakah pemerintah pusat dan daerah menyiapkan masyarakat lokal? Perlindungan apa yang ditawarkan pemerintah kepada masyarakat lokal?

Baca juga: Di KTT Pembangunan Dunia, Jokowi Minta Indonesia Terbuka untuk Investasi Hijau

Dari sisi sosial, dipastikan akan terjadi perubahan budaya dengan menjadikan lima daerah tersebut sebagai destinasi wisata prioritas. Perubahan budaya terjadi akibat dampak perubahan ekonomi dan adaptasi masyarakat lokal terhadap perubahan status dari kawasan pertanian menjadi kawasan wisata. Perubahan budaya pedesaan menjadi budaya sadar wisata.

Fakta di lapangan menunjukkan adanya ketidakpastian, bahkan ada resistensi dari masyarakat karena tidak ada kejelasan tentang masa depan mereka.

Jatuh dari Danau Toba

Misalnya di Desa Sigapiton dan Motung, Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba, Sumatera Utara, kehadiran pemerintah pusat yang diwakili oleh Badan Otorita Danau Toba (BODT), ditolak masyarakat setempat karena BODT menempati lahan seluas menjadi sekitar 500 hektar. Pemerintah pusat mengklaim negara itu adalah hutan lindung.

Penduduk setempat kini telah menganggap tanah tersebut sebagai tanah leluhur mereka secara turun-temurun, diperkirakan hal tersebut sudah berlangsung selama 350 tahun. Indonesia belum merdeka, nenek moyang mereka sudah tinggal di Sigapiton dan Motung. Kesaksian otentik berupa makam, rumah, parit dan berbagai benda budaya yang telah turun temurun di daerah tersebut.

Namun di lapangan, pemerintah dengan mudah mengatakan bahwa tanah tersebut adalah tanah negara karena merupakan hutan lindung. Karena status hutan lindung, negara yang diwakili oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), memberikan tanah kepada BODT untuk membangun hotel, lapangan golf dan berbagai tujuan wisata.

Masyarakat Desa Sigapiton dan Motung, serta para pemerhati lingkungan dan sosial bertanya-tanya mengapa masyarakat Sigapiton dilaporkan ke polisi oleh dinas kehutanan setiap saat mereka mengambil kayu untuk kebutuhan sehari-hari? Bukankah nenek moyangmu selalu bebas mendapatkan kayu dari hutan? Sebelum BODT tiba, warga Sigapiton mendapat pernyataan dari Dinas Kehutanan Toba bahwa mereka dilarang memanen kayu dari hutan karena hutan menyediakan sumber air bagi mereka. Warga kemudian menjaga hutan bersama Dinas Kehutanan Toba.

Masyarakat kini bertanya-tanya kapan pemerintah pusat tiba-tiba ingin mengeksploitasi lahan hutan melalui BODT karena akan diberikan kepada investor. Mengapa hutan lindung ini dibiarkan dimanfaatkan oleh investor, tetapi tidak oleh masyarakat biasa, bahkan hanya untuk mendapatkan kayu bakar?

Apakah itu yang disebut investor hijau? Bagaimana investor hijau? Jika kita menggunakan akal sehat, cara-cara ini tidak akan pernah diterima oleh masyarakat lokal dan orang-orang waras.

Baca Juga: Labuan Bajo Jadi Destinasi Wisata Prioritas Utama, Sayur dan Buah di Hotel Masih Bersumber dari Luar Daerah

Source: travel.kompas.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button