Masalah perumahan perkotaan di kota Malang - WisataHits
Jawa Timur

Masalah perumahan perkotaan di kota Malang

Bayu Karunia Putra, mahasiswa semester 6, jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Malang

Lanterns24.com – Pemenuhan kebutuhan perumahan warga semakin sulit karena keterbatasan lahan dan tingginya nilai jual lahan. Hal ini terlihat dari persepsi warga terhadap perkembangan sektor seperti hotel dan apartemen di Kota Malang yang dapat digunakan untuk menilai terjadinya permasalahan keterbatasan lahan, harga lahan dan minimnya aksesibilitas warga untuk memenuhi perumahan. Selain itu, pembangunan hotel dan apartemen ditengarai memicu lonjakan harga tanah dan menghambat pemenuhan rumah layak huni sebagai bagian dari batas ha kota yang dilestarikan warga. Selain itu, pembangunan hotel dan apartemen untuk memfasilitasi sektor pariwisata diyakini menimbulkan masalah ketersediaan lahan dan tingginya harga real estate di Kota Malang.

Faktor utama di balik kenaikan harga perumahan perkotaan yang stabil di Malang adalah bahwa kota ini merupakan tujuan wisata utama di Indonesia. Di sisi lain, sektor pariwisata telah mendorong pertumbuhan ekonomi di Malang dan turut mendongkrak harga rumah di kota karena permintaan akan perumahan akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan sektor pariwisata dan bisnis.

Selain itu, industri real estate di Kota Malang sendiri terus berkembang untuk menampung wisatawan yang datang. Hal ini menyebabkan harga rumah perkotaan di kota Malang terus meningkat setiap triwulannya. Selain itu, isu aksesibilitas perumahan bagi penduduk kota memicu pemenuhan hak dasar kota, yaitu hak untuk hidup yang didukung oleh perumahan. Namun semua permasalahan terkait keterbatasan lahan di Malang masih menjadi permasalahan serius dalam mengembangkan proyek perumahan mereka.

Di sisi lain, masalah lingkungan belum sepenuhnya terselesaikan dan masih menjadi perbincangan hingga saat ini. Oleh karena itu, perlu dikaji isu-isu terkait penciptaan pendapatan yang layak bagi warga kota Malang untuk memastikan kehidupan warga terpenuhi dan terjamin dengan baik. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan tiga variabel untuk menilai permasalahan perumahan di Kota Malang, yaitu persepsi warga terhadap ketersediaan lahan dan persepsi Earga terhadap kebijakan perumahan pemerintah. Selain itu, ketersediaan lahan terkait warga terkait dengan ruang yang tersedia untuk upaya penyediaan perumahan bagi warga Kota Malang.

Terakhir, kebijakan perumahan mengacu pada persepsi Earga tentang upaya penyediaan perumahan perkotaan yang saat ini sedang dilakukan oleh Pemerintah Kota Malang. Oleh karena itu, Hak Kota digunakan untuk mendukung proses penilaian penyediaan perumahan bagi warga kota Malang dengan terlebih dahulu mempertimbangkan aspek kontrol, akses dan partisipasi dalam politik kota.

Dalam hal kebijakan pemerintah yang terkait langsung dengan ‘hak milik’, masalah terkait dengan hak milik pribadi dan penyediaan perumahan di daerah perkotaan. Salah satu yang dilakukan BPN pada tahun 2007 adalah kebijakan “sertifikat tanah” yang bertajuk Program Reformasi Pertanian Nasional. Pada dasarnya, meskipun kata “reformasi pertanian” digunakan, kebijakan ini lebih mengacu pada pengakuan hak milik bersama di beberapa tanah yang sebelumnya tidak memiliki status. Oleh karena itu, perlu disediakan perumahan bagi semua golongan masyarakat, terutama bagi masyarakat yang masih sulit dijangkau.

Terkait dengan Kota Malang yang memiliki kecenderungan mengembangkan permukiman perkotaan secara cluster di pusat dan wilayah. Karena Kota Malang dijadikan sebagai pusat kegiatan dan pelayanan yang memiliki daya tarik tersendiri bagi warganya. Hal ini mengakibatkan perkembangan permukiman dan konsekuensinya terhadap kemungkinan terjadinya perubahan kualitas lingkungan di kawasan permukiman. Sebagai contoh, dalam pembangunan perumahan dan permukiman di Indonesia, khususnya di Kota Malang, masih menghadapi tiga permasalahan utama, yaitu terbatasnya ketersediaan rumah layak huni, peningkatan jumlah rumah tangga yang menempati rumah tidak layak huni (RTLH) dan permukiman kumuh yang semakin meluas.

Fenomena di Kota Malang telah menunjukkan bahwa kualitas kehidupan perkotaan telah menjadi komoditas di mana pariwisata, budaya dan pengetahuan berbasis industri menjadi aspek utama ekonomi politik kota. Hal ini menyebabkan fakta bahwa berbagai serangan berulang kali menyebabkan “kehancuran kreatif” melalui restrukturisasi kota yang hampir berdimensi kelas. Mereka yang miskin, kurang beruntung dan terpinggirkan dari kekuasaan politik adalah kelompok yang menderita akibat restrukturisasi perkotaan. Oleh karena itu, segala bentuk kebijakan perumahan perkotaan diperkirakan tidak akan berhasil jika tidak diselaraskan dengan kebijakan di sektor lain seperti kebijakan kependudukan, pengendalian urbanisasi dan pembangunan pedesaan/diversifikasi ekonomi/perencanaan tapak untuk memperjelas pembangunan/pertumbuhan perkotaan, sehingga lebih efisien terkendali. Oleh karena itu, ada beberapa pertimbangan yang dapat mengakomodir kebijakan perumahan di perkotaan.

Pertama, pengelolaan pembangunan dengan terlebih dahulu merumuskan kebijakan perumahan yang komprehensif dan terpadu yang memperhatikan aspek lingkungan fungsional, potensi, sarana/daya, peningkatan ekonomi/tata ruang, dan tata guna lahan.

Kedua, pendekatan etis dalam pembangunan dengan mempertimbangkan keterjangkauan, diferensiasi subsidi, diferensiasi program sehingga dapat mencakup berbagai permasalahan di semua kalangan masyarakat, dan prinsip distribusi perumahan yang adil.

Ketiga, pendekatan teknis dan pembangunan perumahan secara bertahap atau berkesinambungan melalui pemanfaatan teknologi tepat guna dan tepat sasaran.

Keempat, pendekatan sosiologis, dengan melihat aspek-aspek masyarakat yang memiliki budaya (budaya) yang harus diperhatikan dalam perencanaan tapak.

Penulis menyatakan cukup sulit untuk memenuhi kebutuhan akses perumahan warga Kota Malang karena lahan yang terbatas dan nilai jual lahan yang semakin mahal. Karena itu bisa dilihat dari meningkatnya kebutuhan perumahan di Kota Malang yang tidak berbanding lurus dengan terbatasnya ketersediaan lahan.

Pembangunan hotel dan apartemen yang masif untuk memenuhi kebutuhan pariwisata mengakibatkan keterbatasan lahan dan tingginya harga apartemen di kota Malang. Selain itu, tingginya harga tanah terkait dengan perluasan kompleks hotel dan kepadatan penduduk akibat masuknya pendatang dapat memicu investasi di Kota Malang.

Dari sisi penataan kota, jumlah rumah tangga yang menempati rumah tidak layak huni (RTLH) belum didukung oleh fasilitas umum yang memadai dan permukiman kumuh terus meningkat. Penyediaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah harus memerlukan peningkatan kuantifikasi dan penilaian penargetan penerima manfaat dalam pendataan yang dilakukan.

Lebih lanjut, kebijakan perumahan yang diterapkan selama ini di Kota Malang masih terkesan partisan dalam arti kebijakan yang ada di sektor lain belum diperhitungkan. Oleh karena itu, perlu adanya menghidupkan kembali rumah-rumah yang tidak layak huni di Kota Malang yang berguna untuk menjamin permukiman yang sehat, nyaman dan harmonis. Hal ini penting karena aspek sosial masyarakat perlu dipelajari agar kebijakan perumahan dapat bermanfaat bagi penduduk kota.

Di sisi lain, kebijakan “hak milik” di Kota Malang pada akhirnya dapat menimbulkan masalah baru berupa masalah lingkungan, kemiskinan struktural dan kenaikan harga tanah, yang mempersulit kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan perumahan Pemkot belum dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat Kota Malang.***

Source: www.lentera24.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button