Lima anak yang akan menjadi korban dibawa ke panti asuhan - WisataHits
Jawa Timur

Lima anak yang akan menjadi korban dibawa ke panti asuhan

OLAHRAGA Pernikahan siri mendapat perhatian dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Malang. Di sana. Mereka mengatakan praktik itu tidak hanya berdampak negatif pada wanita. Tapi juga anak-anak.

Mereka menarik kesimpulan ini dari sejumlah kasus yang ditangani. Menurut Kepala LPA Kota Malang Djoko Nunang, pihaknya telah membantu tiga perempuan korban nikah siri dalam beberapa tahun terakhir.

Satu kasus ditutup. “Sementara itu kami usahakan menemani yang lain sampai siap. Karena persoalannya sudah lama, maka perlu penanganan yang intensif,” ujarnya. Djoko mengatakan, ada seorang korban yang berasal dari luar Malang. Dari Medan tepatnya. Wanita itu datang melapor ke kantornya bahwa dia hamil dan membawa empat anak.

Ia sebelumnya menikah di luar nikah dengan warga kota Malang. “Kami bahkan membantu menikahinya. Saat menikah, laki-laki itu menghilang,” kata Djoko. Kasus kedua adalah seorang perempuan asal Malang yang sudah memiliki lima orang anak. Suaminya dikenal tidak bertanggung jawab. Dia tidak menghidupi istri dan anak-anaknya.

“Sekarang anak itu pergi ke panti asuhan. Kemudian dikabarkan wanita itu juga punya pasangan baru,” tambah Djoko. Dalam dua contoh ini, jelaslah anak-anak yang menjadi korban perkawinan tidak tercatat.

Selain itu, pihaknya rutin berkoordinasi dengan panti asuhan, dinas sosial, dispendukcapil, dan lembaga pendidikan. Selain LPA Kota Malang, Yayasan Komunitas Perlindungan Perempuan dan Anak Indonesia (KOPPATARA) juga telah menerima laporan kasus nikah siri tersebut. Seperti yang diungkapkan Ketua KOPPATARA Zuhro Rosyidah. “Selama tahun 2022, seingat saya, ada satu orang (yang memberi tahu kami merah),” dia berkata.

Wanita itu datang ke KOPPATARA karena takut tidak mendapat rezeki dari Tuhannya. “Kalau ini terjadi, biasanya kami minta bantuan penasehat hukum. Karena kasus seperti ini sulit diadvokasi karena tidak ada legalitasnya,” imbuhnya.

Salah satu penasihat hukum sekarang bersama Pusat Krisis Perempuan (WCC) Dian Mutiara Umu Hilmy mengaku banyak menjumpai pernikahan tak tercatat para pensiunan pegawai negeri sipil (ASN). “Hal itu dilakukan agar uang pensiun tetap bisa ditarik,” jelasnya.

Korban nikah siri yang dilakukan oleh orang non-ASN masih perempuan dan anak-anak. Baik wanita yang berstatus istri sah maupun istri Siri. Karena perempuan tidak dapat mewarisi hak. Jika diperoleh, harus diketahui dengan izin orang-orang di sekitar Siri suami atau ahli waris. “Kalaupun menggugat ke Pengadilan Agama, harus punya buku nikah. Tapi kalau istri sahnya masih ada, pasti akan ada masalah. Jadi menurut saya, orang tidak boleh menikah tanpa izin,” kata Dian.

Selain itu, ada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam undang-undang ini ada ketentuan tentang perkawinan yang diberi izin oleh istri yang sah. Selain persetujuan istri yang sah, perkawinan baru yang tidak dicatatkan dapat diadakan jika istri yang sah sakit untuk waktu yang lama. Dia tidak bisa melayani suaminya dengan itu.

Namun, istri sah belum memberikan izin melalui permohonan di pengadilan. Mantan dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) itu menambahkan, ada juga kasus terkait nikah siri dua tahun lalu. “Jadi ada klien yang merupakan istri sah Pak X. Dia memperdebatkan harta warisan suaminya yang menikah di luar nikah,” jelasnya.

Almarhum suaminya diketahui tidak pernah menceraikannya. Singkat cerita, istri Siri suaminya juga telah meninggal. Keduanya meninggalkan seorang anak. Anak itulah yang kemudian berkelahi dengannya untuk mendapatkan warisan. “Akhirnya mereka mendatangi kami untuk meminta perdamaian. Daripada ke pengadilan mahal, akhirnya kami berdamai dan harta warisan dibagi dua,” jelas Dian.

Mengenai motif nikah siri, Intan Rahmawati, guru besar madya Psikologi Jurusan Psikologi UB, menilai nikah siri sebagai persoalan yang kompleks. Menurutnya, ada berbagai faktor yang melatarbelakanginya.

Mulai dari faktor agama, ekonomi, sosial budaya dan psikologis. Adapun faktor agama, latar belakang pasangan memilih nikah siri biasanya karena ingin berpoligami dan menghindari zina.

“Kemudian faktor ekonomi. Di beberapa daerah seperti Bogor, dulu ada daerah yang menawarkan wisata seks halal mendunia. Di sana laki-laki mencari perempuan untuk kawin kontrak,” jelasnya. Yang terpenting, lanjut Intan, adalah faktor psikologis. Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya nilai-nilai yang memotivasi individu untuk mengambil atau mengambil keputusan nikah siri.

“Ditambah lagi, pernikahan yang tidak tercatat ini sepertinya sangat mudah. Karena meski syaratnya tidak terlalu religius, bisa menjadi berbahaya karena akan menimpa kesehatan mental pasangan di kemudian hari,” imbuhnya. Untuk itu, pendidikan diperlukan pada setiap tahap perkembangan psikologis. Apalagi saat memasuki tahap remaja akhir menuju dewasa. (mel/dari)

Source: news.google.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button