Lawan Stigma, Penderita Kusta di Desa Sumber Telu, Jepara Hidup Mandiri - Solopos.com - WisataHits
Jawa Tengah

Lawan Stigma, Penderita Kusta di Desa Sumber Telu, Jepara Hidup Mandiri – Solopos.com

Lawan Stigma, Penderita Kusta di Desa Sumber Telu, Jepara Hidup Mandiri – Solopos.com

SOLOPOS.COM – Seorang penyintas kusta yang tinggal di Desa Sumbertelu, Banyumanis, Donorojo, Jepara, beberapa waktu lalu sedang menggembalakan ternaknya. (Solopos.com – Adhik Kurniawan)

Solopos.com, JEPARA – Penderita kusta kerap mendapat stigma yang memprihatinkan dari masyarakat sekitar, mulai dari penyakit bawaan hingga kutukan hingga tak tersembuhkan. Namun stigma tersebut tidak membuat penderita kusta di Desa Sumbertelu, Banyumanis, Donorojo, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah (Jawa Tengah) menyerah. Anda tetap mandiri untuk meraih masa depan yang lebih baik.

Desa Sumbertelu di Jepaara dihuni oleh sekitar 286 orang, beberapa di antaranya adalah penyintas atau mantan penderita kusta. Desa yang berjarak sekitar 45 menit dari kota Jepara ini sering dikaitkan dengan penderita kusta di Rumah Sakit Kusta Donorjo. Pasalnya, banyak penderita kusta yang sudah sembuh dan dirawat di rumah sakit enggan kembali ke tempat asalnya dan menetap di Kampung Sumbertelu, Jepara.

Special Offers Penawaran spesial yang menarik, menginap di Loa Living Solo New Bisa nonton Netflix sepuasnya!

Stigma dan penolakan di masyarakat tempat mereka berasal membuat mereka hidup mandiri di Desa Sumbertelu. Mereka pun hidup seperti kebanyakan orang, baik sebagai petani, peternak, pedagang grosir maupun pengusaha mebel. Kemandirian ini bahkan telah memungkinkan mereka untuk menafkahi keluarga dan membeli rumah bagi anak cucu mereka untuk tinggal di luar desa Sumbertelu yang sering disebut sebagai desa penderita kusta.

Abdul Karim, 56, warga Kampung Sumbertelu yang juga penyintas kusta, kini berprofesi sebagai peternak telur. Ia bahkan memiliki sekitar 100 ekor ayam petelur yang mampu menghasilkan 5 kg telur dalam sehari.

Pos tunggal EMagz

“Saya tidak ingin mengharapkan bantuan sepanjang waktu. Karena namanya alat, pasti dibatasi. Itu sebabnya saya memutuskan untuk menetap di sini sejak awal [Kampung Sumber Telu] bingung. Dia kemudian memberikan dukungan dan pelatihan untuk ternak dari rumah sakit. Lalu saya memberanikan diri modal untuk membeli lima ayam petelur untuk memulai usaha tersebut,” kata Abdul yang sudah berprofesi sebagai peternak petelur sejak 2018 saat dilansir Solopos.com, Kamis (26/01/2023).

Abdul yang tinggal di Desa Sumbertelu sejak 2006 ini mengaku telur yang dihasilkan peternakannya dijual ke tetangga dan warung sekitar. Harga telurnya Rp 27.000 per kg.

“Ada juga yang sudah menjadi pelanggan tetap di pasar. Untung rata-rata Rp 200.000 per 10 hari,” terang pria asal Jawa Timur (Jawa Timur) ini.

Sargi, 64 tahun, asal Kabupaten Pati, yang sudah 25 tahun tinggal di Desa Sumber Telu, juga melakukan hal yang sama. Ia hidup mandiri dengan menjadi pengusaha mebel agar bisa membeli rumah di luar kampung kusta untuk kedua anaknya.

Tidak diterima oleh keluarga

“Toko furnitur di sini. Buat kursi, meja, pintu, bahkan terkadang ayunan. Lalu ada dua pekerja, yaitu [pekerja] dari luar desa ini [bukan penyintas atau penderita kusta]. Ya menghitung pembagian mata pencaharian bukan berarti harus pilih-pilih meski dikucilkan,” ujarnya.

Solopos interaktif

Pekerja sosial RS Kusta Donorojo Rismanto Arie menjelaskan, banyak pasien yang tidak diterima oleh keluarga dan masyarakat karena menderita kusta akhirnya tinggal di Desa Persiapan Pemerintah Sumbertelu di Jepara. Lambat laun, penduduk desa berhasil hidup mandiri hingga dianggap mampu secara ekonomi.

“Mereka takut dan trauma dengan stigma masyarakat terhadap penderita kusta. Makanya, meski sudah sembuh, mental mereka belum siap untuk tinggal di luar desa,” ujarnya.

Rismanto juga berharap masyarakat mulai menghilangkan stigma seputar penyakit kusta. Penyakit kusta memang menular, tapi jangan pernah memberi label buruk pada yang terkena, apalagi yang sudah sembuh.

“Ketika saya datang ke sini, saya tidak tahu tentang kusta. Saya juga berpikir itu adalah penyakit yang menyebar dengan mudah. Kemudian saya melihat teman-teman kesehatan lain yang telah puluhan tahun tidak mengalami kusta. Sejak itu saya berani mencium penderita kusta dan sadar saya salah,” jelasnya.

iklan

Source: news.google.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button