Konsistensi Karnaval Busana Jember | newsjatim.com - WisataHits
Jawa Timur

Konsistensi Karnaval Busana Jember | newsjatim.com

Konsistensi Karnaval Busana Jember |  newsjatim.com

“Di mana kostumku?” Hendy Siswanto bertanya kepada seorang perempuan bercadar yang baru saja masuk ke Pendapa Wahyawibawagraha, Kabupaten Jember, Jawa Timur, Minggu pagi (8/7/2022).

“Masih di Bondowoso, Pak,” kata wanita itu.

Henry tersenyum. Itu bukan kostum biasa. Kostum ini didesain khusus untuk dikenakan bersama sang istri, Kasih Fajarini pada pagelaran Jember Fashion Carnaval malam itu. Dia tidak memberi tahu siapa pun tentang kostum itu. “Rahasia,” dia tertawa.

Ini kali pertama dalam beberapa tahun penyelenggaraan JFC, Regional Director Jember menjadi salah satu talent atau model yang berjalan di catwalk jalanan. Biasanya bupati duduk di tempat kehormatan bersama para undangan lainnya.

Tapi kali ini berbeda. Minggu malam ini, Hendy menyerahkan gaun ala Kerajaan Majapahit kepada Menteri Pariwisata dan Industri Kreatif Sandiaga Uno dan Gubernur Khofifah Indar Parawansa. Ia menyusuri Jalan Sudarman bersama Kasih Fajarini, disusul mobil Maung dari PT Pindad yang dikemudikan Try Sandi Apriana, anggota DPRD Jember yang juga menantu Hendy, ditemani Nadif Ramadhan, menantu lainnya.

Kehadiran Hendy sebagai salah satu talenta menandai perjalanan JFC yang telah berlangsung selama dua dekade. Sebuah usia yang relatif panjang untuk sebuah acara karnaval yang berlangsung pada bulan Agustus setiap tahunnya. Diprakarsai oleh Dynand Fariz pada tahun 2002, karnaval ini dikonsep secara berbeda dari karnaval umum di Indonesia sejak awal.

Seperti kebiasaan Karnaval, JFC digelar dengan model lintasan sepanjang 3,6 kilometer mulai dari alun-alun. “Orang-orang berpikir bahwa fashion selalu tentang model, hotel berbintang, lighting, catwalk. Tapi JFC melanggar norma fesyennya sendiri,” kata Dynand, seperti dimuat Beritajatim.com pada 8 Juli 2012.

Dynand membuka pintu bagi masyarakat awam untuk berpose sebagai model dengan kreasi mereka sendiri. Anda tidak perlu memiliki pengalaman sebagai model atau desainer di dunia fashion. “Sebenarnya fashion sudah dikenal orang sejak lahir. Ketika anak kita lahir, kita sudah berpikir dalam pakaian apa dia akan bagus. Ini mode. Tapi masyarakat tidak menyadarinya,” katanya.

Kuncinya adalah imajinasi. Setiap tema tahunan yang dihadirkan dalam JFC didasarkan pada penelitian untuk memastikan keakuratan item yang akan ditampilkan. “Penelitian kami tidak hanya tematik, tetapi juga koreografi dan efeknya pada media. Bukan hanya Mardi Gras yang datang ke toko persewaan gaun. Ini adalah karnaval karakter yang muncul penuh dengan pesan. Setiap model yang muncul menampilkan seribu pesan,” kata Dyand.

Awalnya diterapkan pada tahun 2003, tidak ada yang peduli. Publik cenderung menatap dengan curiga. Fashion selalu identik dengan glamour dan glamour di Jember selalu dirasakan berbenturan dengan nilai-nilai tradisional yang dulu identik dengan citra kota Pesantren.

Komite E DPRD Jember mengundang Dynand untuk menyampaikan gagasannya. Sejak awal dia memastikan bahwa tidak akan ada alat kelamin yang terbuka. “Standar itu penuh dengan kreativitas, nilai komunikasi, nilai jual, nilai berkelanjutan, tren dan nilai aktual. Referensi di sini adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan karnaval kelas dunia. Spektakuler. Unik. Fantastis. Besar.”

Karnaval pertama berlangsung pada 1 Januari 2003 tanpa tema utama. Hanya ada tiga ngarai yaitu Cowboy, Punk dan Gypsy. Pertunjukan kedua diadakan pada tanggal 30 Agustus di tahun yang sama dan menampilkan lima gaun bertema parade dalam bahasa Arab, Maroko, India, Cina, dan Jepang.

Tema utama digunakan pada JFC 4 pada tahun 2005. Dynand mengadopsi tema Discover The World yang besar, yang berisi delapan file. Ia berhasil membangun karakter yang membedakan JFC dengan karnaval lain di Indonesia. Masyarakat mulai memperhitungkan kehadiran karnaval ini, dan media nasional dan internasional juga mulai mengarahkan lensa kameranya ke Jember.

Setahun kemudian, JFC menjadi “brand” Kabupaten Jember. Kota ini menempati urutan ke-7 dari 38 kota/pemerintah di Jawa Timur yang mencatatkan kunjungan wisatawan cukup tinggi pada tahun 2011. Setidaknya 250.000 turis lokal dan asing datang ke Jember untuk melihat JFC setiap tahun.

Kehadiran JFC seperti anomali. Kreasi fesyen kontemporer tidak tercipta di kota-kota besar seperti Bandung, Surabaya, dan Jakarta, melainkan di kota yang identik dengan tradisi keagamaan. Tantangannya bukan hanya terletak pada mereka yang menganggap JFC membuat orang mengabaikan waktu sholat karena diadakan dari siang hingga matahari terbenam, tetapi juga pada budaya masyarakat yang tidak terbiasa menyaksikan tontonan karnaval dengan cara yang tertib untuk menikmati.

Puluhan ribu orang selalu memadati jalan protokol mulai dari alun-alun, Jalan Sultan Agung, Jalan Gajah Mada hingga GOR PKPSO. Tanaman di jalur hijau selalu diinjak-injak. Sampah dibuang sembarangan. Para model tidak bisa bergerak dengan nyaman di jalan karena kedekatannya dengan penonton.

Kehadiran JFC menginspirasi kota-kota lain di Indonesia untuk menirunya, disesuaikan dengan kondisi daerahnya masing-masing. Salah satunya Pemerintah Kabupaten Banyuwangi yang menjadi tuan rumah Banyuwangi Ethno Carnival (BEC) tahun 2011. Ada kontribusi Dynand, yang memberikan ide terutama untuk konsep kostum.

Dynand menyebut BEC sebagai penemuan baru dengan inspirasi etnik. “Konfigurasi dan kombinasi warna keseluruhan hadir di BEC,” ujarnya, seperti dilansir Beritajatim.com pada 23 Oktober 2011.

Dari 2014 hingga 2018, JFC meraih sejumlah kesuksesan internasional, termasuk kostum untuk upacara pembukaan dan penutupan Asian Games di Jakarta. Kehadiran JFC juga melahirkan WACI (World Artchipelago Carnival Indonesia), sebuah asosiasi yang menyelenggarakan pertunjukan karnaval, yang terdiri dari sejumlah daerah di Indonesia. Dynand menjadi ketua umum pertama organisasi tersebut.

Konsistensi adalah kekuatan JFC yang melampaui kreativitas. Tes keteguhan datang pada Kamis 17 April 2019. Dynand Fariz meninggal dunia. Dia pergi empat bulan sebelum JFC 18 digelar.Tema Tribal Grandeur pada saat itu seharusnya menjadi penghormatan yang tak terlupakan atau penghormatan terakhir kepada inisiator.

Namun, JFC 18 tidak akan dikenang sebagai karnaval untuk menghormati Dynand, melainkan sebagai momen paling kontroversial dalam sejarahnya. Dipicu oleh kostum yang menampilkan paha mulus artis Cinta Laura yang merupakan brand ambassador JFC.

Parlemen bersorak. Beberapa perwakilan masyarakat mendesak agar penerapan JFC ditinjau ulang. Demonstrasi yang dilakukan sekelompok orang mengatasnamakan santri menuntut JFC dihentikan. Ini adalah krisis terbesar yang dihadapi JFC. Chief Executive Officer JFC Suyanto meminta maaf tetapi menolak untuk menyerah. “Kami mengharapkan kritik. Selama kita bisa, kita akan melakukannya,” katanya saat itu.

Ujian besar berikutnya adalah pandemi Covid 19 di tahun 2020. Meningkatnya jumlah penderita Covid 19 membuat JFC batal. Tahun berikutnya, JFC tidak diadakan di Autobahn, melainkan di ballroom Edelweiss Hotel Cempaka. Penonton yang hadir di lokasi juga terbatas, karena acara digelar dalam bentuk hybrid.

Tahun ini JFC kembali turun ke jalan dengan sejumlah perubahan. Kini seni tradisional musik Hadrah ditampung untuk tampil dalam karnaval yang modis. Karnaval utama (big carnival) tidak lagi berlangsung pada siang hari, melainkan pada malam hari.

Tentu saja, perubahan seperti itu, terutama selama periode karnaval, memerlukan penyesuaian yang tidak terlalu sederhana. Kuncinya adalah ada iluminasi yang kuat, dan itu belum terjadi. Badrus Yudhoseno, salah satu fotografer, menemukan bahwa pencahayaan yang digunakan tidak cukup kuat untuk memaksimalkan kualitas gambar yang diambil. “Lampu jalan umum digunakan untuk ini. Seharusnya penerangan stadion sepak bola,” katanya.

Namun di tengah kesulitan selalu ada kabar baik. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno berjanji akan memperjuangkan JFC menjadi kegiatan di kalender internasional tahun depan. “Semoga ini bisa menciptakan peluang usaha dan lapangan kerja, yang tentunya kita harapkan menjadi bagian dari revitalisasi ekonomi Indonesia,” ujarnya.

“JFC tidak kalah dibandingkan Mardi Grass di New Orleans dan Rio Carnaval. Antusiasme masyarakat luar biasa menyambut karnaval ini setelah dua tahun absen karena Covid. Tahun depan, catwalk JFC akan tercatat sebagai catwalk terpanjang di dunia. Hal tersebut tentunya menambah semangat acara ini. Kami akan menjadikan ini sebagai ikon pariwisata Indonesia,” katanya.

Sandiaga berjanji akan bekerja sama dengan semua orang yang terlibat untuk memastikan prosesnya berjalan lancar. “Dan kita juga akan bisa mengundang bottleneck dari negara lain, baik dari ASEAN maupun dari seluruh kawasan dunia, untuk mengisinya. Acara ini bisa diperpanjang hingga 2-3 hari, sehingga semangat festivalnya bisa dirasakan di seluruh Jawa Timur dan wilayah Indonesia lainnya,” ujarnya.

Sementara itu, Bupati Hendy Siswanto akan menyediakan anggaran untuk pembangunan Jember Fashion City Museum, dengan Jember Fashion Carnival sebagai bagian penting di dalamnya. Dia ingin JFC menarik lebih banyak wisatawan dan investor ke Jember untuk menggerakkan perekonomian.

Suyanto berharap Jember bisa menjadi kota mode dunia. “Dalam fashion, semuanya bisa diinovasi dan diperbarui sesuai perkembangan zaman di masing-masing daerah dan diterima oleh banyak orang. Tujuan akhir kami adalah menjadi trendsetter dan membangun industri kreatif di bidang fashion,” ujarnya. [wir/but]

Source: beritajatim.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button