Kisah Watu Tugu Semarang Warisan Majapahit & Padjajaran - Solopos.com - WisataHits
Jawa Tengah

Kisah Watu Tugu Semarang Warisan Majapahit & Padjajaran – Solopos.com

SOLOPOS.COM – Foto Masa Lalu Cagar Budaya Kawasan Watu Tugu Semarang – Jalan Kendal, Desa Tugurejo, Kota Semarang. (Solopos.com/Adhik Kurniawan).

Solopos.com, SEMARANG – Cagar budaya di kawasan Watu Tugu yang berada di ruas jalan Semarang-Kendal Desa Tugurejo telah ditetapkan sebagai destinasi wisata baru di Kota Semarang. Beberapa waktu lalu, Walikota Semarang Hendrar Prihari membuka penandatanganan Nota Kesepahaman antara Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang dengan PT Tanah Mas Panggung untuk mengembangkan destinasi wisata ini. Lantas bagaimana sebenarnya sejarah Watu Tugu?

Pengasuh sekaligus sesepuh di Desa Tugurejo, Semarang, Sumarto, 58, mengatakan Watu Tugu merupakan peninggalan kerajaan Majapahit dan Padjajaran. Di masa lalu diklaim bahwa daerah itu adalah lautan yang diyakini sebagai tempat berlabuh kapal.

Daihatsu Rocky Promotion, Harga Mobil Rp 200 Juta Jadi Hanya Rp 99.000

“Maka didirikanlah sebuah tugu bernama Watu Tugu. Bangunan ini merupakan peninggalan sejarah antara masa penjajahan Majapahit dan Padjajaran,” kata Sumarto beberapa waktu lalu.

Pria yang berprofesi sebagai juru kunci sejak tahun 2000-an itu menjelaskan, di kawasan tugu Watu Tugu terdapat sebuah makam yang menjaga kawasan tersebut. Yaitu makam Kyai Tugu yang dipercaya sebagai salah satu tokoh penyebar agama di kawasan Tugurejo.

“Di sekitar tugu terdapat makam penyebar agama Islam, yaitu Kyai Tugu. Dulu, di sebelah makam ada kamboja yang sangat besar dan berbentuk seperti naga, tapi sayang pohon kamboja itu dirusak oleh orang yang tidak bertanggung jawab,” jelasnya.

Baca Juga: Kumpulan Bahasa Gaul di Solo Yang Wajib Kamu Tahu

Selain Kyai Tugu, lanjut Sumarto, dua penjaga lainnya menjaga kawasan itu. Yaitu Nyai Bulan dan Dewi Rarastiti.

“Jadi ada tiga wali di Watu Tugu, yaitu Kyai Tugu sebagai penyebar agama Islam, kemudian Nyai Rembulan, seorang wanita cantik, dan Dewi Rarastiti, yang selalu membawa lentera. Sebenarnya ada dua lagi tapi saya tidak tahu persis namanya, yaitu pak tua dan macan putih,” sambungnya.

Dalam upaya untuk terus menjaga atau melestarikan sejarah kawasan tersebut, Sumarto dan warga sekitar yang tergabung dalam Forum Nuporo Candi Tugu (FNCT) selalu melakukan kegiatan tahlilan dan membersihkan kawasan monumen. Kegiatan ini dilakukan setiap Kamis malam sekitar pukul 10 malam WIB.

“Kami melakukan Tahlilan bukan untuk mencari apa-apa, niat kami hanya untuk mengintip. Karena membuatnya mudah tapi perawatannya sulit. Lalu kami selalu membersihkan area monumen juga, tapi tidak pasti, biasanya sebulan sekali. Tugu juga runtuh tapi tidak diketahui apa penyebabnya dan akhirnya dilakukan pemugaran pada tahun 1983,” pungkasnya.

Source: news.google.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button