Kepuhsari, Wonogiri: Asal Usul Wayang di Tangan Dalang dan Souvenir Terkenal Asian Games - WisataHits
Jawa Tengah

Kepuhsari, Wonogiri: Asal Usul Wayang di Tangan Dalang dan Souvenir Terkenal Asian Games

Dari kiri: Abdillah Nugroho, Giyoto dan Amar Nuruddin memahat boneka di Kepuhsari, Wonogiri (14/7).

Boneka buatan pengrajin Kepuhsari ini terkenal dengan kehalusan sisipan dan ketebalan kulitnya. Dimulai pada abad ke-17, ia telah berlatih seni menyanyi marquetry secara turun-temurun.

Saya punya Rahmat Rifadin, Wonogiri

DI Di belakang rumahnya, di ruangan berukuran 4 x 10 meter berdinding besar (bambu) dan berlantai dasar, tangan Suparno yang sibuk memutar-mutar Nyungging Alias ​​​​berjam-jam setiap hari untuk mewarnai sosok boneka. Dia telah melakukan ini selama 28 tahun.

Sore itu, Kamis (7/7), tangan pria 42 tahun itu memegang peniti kodok saat Jawa Pos berkunjung ke rumahnya di Desa Kepuhsari, Kabupaten Wonogiri. Tinta hitam di bagian dalam membuat garis-garis lurus kecil sebagai motif ornamen untuk pakaian tokoh boneka Werkudoro atau Bima.

Begog, demikian Suparno biasa disapa, bekerja dengan ditemani lampu pijar kuning gantung rendah. Kertas sobek dari kalender tahun lalu disematkan di sekelilingnya agar tidak bersinar.

“Monggo Mas, lakukan saja,” kata Riani, istri Begog, sambil menyajikan tiga cangkir teh hangat sementara koran menyaksikan suaminya bekerja.

Sejak abad ke-17, Kepuhsari telah dikenal sebagai Kampung Wayang di kabupaten Jawa Tengah yang berbatasan dengan Jawa Timur. Seni sungging hias untuk membuat wayang kulit berakar kuat di sana.

Begog juga menjadi salah satu redaktur terbaik di desa di kabupaten Manyaran. Boneka-boneka dalam gambar halus, rapi, polanya kecil dan padat. Keahlian ini diperolehnya setelah bertahun-tahun trekking untuk belajar seni lukis wayang kulit dari seniman Tatah Sunging di berbagai daerah. Seperti Tulungagung, Blitar dan Nganjuk di Jawa Timur serta Sukoharjo dan Klaten di Jawa Tengah.

“Luka saya harus rapi setelah Sukoharjo. Saya belajar langsung dari Pak Mur (Murdiyanto) yang sudah meninggal dunia,” kata Begog sambil menghentikan aktivitasnya dan berbincang dengan Jawa Pos.

Sekitar 100 meter dari rumah Begog, Abdillah Nugroho, 27, dan Amar Nuruddin, 20, juga bekerja di luar rumah. Dengan tatah (tongkat besi) dan ganden (palu) di tangan, keduanya bermotif bunga-bunga kecil berukir halus dan garis-garis lurus di kulit kerbau yang digambar oleh tokoh-tokoh wayang dan dibentangkan di atas meja.

Abdillah menyelesaikan Krishna. Sementara itu, Amar telah menyelesaikan karakter Citrakso. Mengukir detail-detail kecil pada kulit kerbau sebagai motif boneka bukanlah tugas yang mudah. Jangan terlalu keras karena dapat merusak kulit. Namun, jika pukulannya terlalu lemah, hasilnya juga tidak akan bagus.

“Butuh waktu tiga tahun sebelum saya bisa melepaskan mereka sendiri. Saya mengajar mereka dari kelas lima SD,” jelas ayah Abdillah dan Amar, Giyoto, saat mendampingi Jawa Pos dan melihat mereka memotong.

Kegiatan Begog, Abdillah dan Amar sore itu juga menjadi rutinitas sebagian besar warga Kepuhsari lainnya. Kepala Desa Sularjo mengatakan, berdasarkan data terakhir yang dimilikinya, ada 114 perajin wayang di wilayah yang ia kelola.

Hal ini tidak berlaku bagi perajin wayang di desa tetangga yang merupakan bagian dari kabupaten Manyaran. “Kalau di seluruh manyaran bisa sampai 500,” katanya.

Giyoto menambahkan, 114 perajin nyanyian di Kepuhsari dibagi menjadi tiga kelompok. Ada pemahat seperti dia dan anak-anaknya, redaktur seperti Suparno alias Begog, ada juga yang khusus membuat gagang boneka yang disebut juga dengan garan atau gapit.

“Dalang juga ada. Kalau dipikir-pikir, hampir 80 persen masyarakat di sini berprofesi sebagai seniman atau pembuat wayang. Sisanya hanya bertani dan menjadi karyawan,” kata pria berusia 45 tahun yang juga aktivis budaya dan ketua RW di Kepuhsari ini.

Konon seni tatahan nyanyian di Kepuhsari dibawakan oleh seorang dalang bernama Ki Kondobuono. Setelah kematiannya, kerajinan itu diwariskan dan dilestarikan oleh keturunannya. Sekaligus menular ke tetangga dan masyarakat sekitar.

Sehingga Desa Kepuhsari dikenal sebagai Desa Boneka hingga saat ini. “Sebagian besar dari kita berani serius menyanyi, bahkan untuk kebutuhan ekonomi,” kata Giyoto.

Orang tua yang tidak mampu melanjutkan pendidikan kemudian meminta anak-anaknya untuk menekuni seni tatah menyanyi sebagai asuransi jiwa. “Terbukti kami bisa mencari nafkah dari kesenian ini sampai sekarang,” kata Giyoto.

Boneka buatan Kepuhsari terkenal dengan kehalusan sisipan dan ketebalan kulitnya. Banyak dalang terkenal yang menggunakan wayang dari desa ini. Termasuk Anom Suroto dan Manteb Sudarsono dan Seno Nugroho (keduanya sudah meninggal).

Panitia Asian Games Jakarta-Palembang juga memesan boneka kepuhsari sebagai oleh-oleh untuk para tamu acara tahun 2018. “Ada juga yang berpendapat kalau mau jadi pemimpin pemikiran yang hebat harus datang ke Kepuhsari dulu,” kata Wijono, sekretaris desa Kepuhsari, saat ditemui di kantornya.

Sebagai pengrajin yang berkualitas, Giyoto memiliki berbagai pengalaman saat menerima pesanan. Dia pernah diminta untuk menyelesaikan tatahan karakter wayang dalam semalam. Tepatnya pada malam 1 surah. Padahal, mengukir karakter wayang baru umumnya bisa diselesaikan dalam waktu tiga hari.

Ada juga pelanggan yang memintanya berpuasa sambil mengasinkan karakter boneka tertentu. “Sebagai pengrajin, saya hanya menurut saja. Pokoknya bayarannya masuk akal,” jelasnya, lalu tersenyum.

Kini Kepuhsari telah berkembang menjadi desa wisata desa wayang. Wisatawan lokal maupun mancanegara yang ingin merasakan langsung melihat dan membuat wayang kulit bisa datang ke sana.

Kepuhsari juga menawarkan paket pertunjukan wayang jika wisatawan ingin melihat pertunjukan wayang secara langsung. Semua paket wisata dikelola oleh Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis), sebuah perkumpulan perajin wayang di desa Kepuhsari.

“Wisatawan dari 25 negara telah mengunjungi desa ini. Sebelum Covid sibuk tapi setelah pandemi selesai sepi. Sekarang saya mulai menggeliat lagi,” kata Wijono.

Untuk melestarikan budaya ini, generasi muda setempat terus diajarkan seni menyanyi tatah. Salah satunya adalah dengan menjadikan seni tatah menyanyi sebagai pelajaran lokal di sekolah-sekolah umum setempat.

Sosok bayangan sebagai karya seni sering dipamerkan di tempat-tempat mewah atau rumah-rumah kota besar. Sementara para seniman yang menciptakannya seperti Begog, Giyoto, Abdullah, dan Amar akan tetap menjalani rutinitasnya yang sederhana.

Memotong dan menikam Kresna, Werkudoro, Citrakso dan tokoh Wayang lainnya dari desa-desa terpencil di balik Tembok Gedek ditemani secangkir teh hangat. Seperti sore ini. Saat Jawa Pos berkunjung ke Kepuhsari. (*/c18/ttg)

Source: news.batampos.co.id

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button