Kemana industri pariwisata Indonesia harus dibawa? - WisataHits
Yogyakarta

Kemana industri pariwisata Indonesia harus dibawa?

Kemana industri pariwisata Indonesia harus dibawa?

Saya dapat mengatakan bahwa situasi pariwisata Indonesia sangat menyedihkan hingga saat ini. Bagaimana tidak, potensi berupa cita-cita yang sangat banyak seperti pecahan langit di bumi, belum dimanfaatkan secara maksimal.

Indikator riil yang menjadi tolak ukur adalah kedatangan wisman. Mengutip data Badan Pusat Statistik tahun 2019 atau sebelum pandemi Covid-19, kunjungan wisman Indonesia (16 juta orang) tertinggal jauh dibandingkan Thailand (40 juta orang), Malaysia (26 juta orang), dan Singapura (19 April). ). ) dan Vietnam (19 juta orang).

Lalu apa yang salah dengan pariwisata Indonesia? Padahal, seperti yang sudah saya jelaskan di bawah ini, masih banyak destinasi wisata yang tidak ada tandingannya di negeri ini.

Bahkan, saat ini kami lebih fokus mengembangkan lima destinasi pariwisata prioritas (DPSP). Jumlah ini telah direvisi dari 10 DPSP sebelumnya.

Bahkan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Jenderal TNI (Purn.) Luhut Binsar Pandjaitan dengan gamblang menunjukkan kelemahan DPSP Indonesia. Ia menyinggung beberapa kelemahan destinasi pariwisata di Indonesia.

Pertama, aksesibilitas ke destinasi wisata. Di luar lima besar destinasi wisata tersebut, banyak wisatawan mancanegara yang justru menikmati wisata bahari dan ekosistemnya, seperti Pulau Togean, Sulawesi Tengah, Pulau Moyo, Nusa Tenggara Barat, Pulau Sikuai, Sumatera Barat dan destinasi lainnya.

Namun, berdasarkan pengalaman pribadi saya, pulau-pulau tersebut sulit diakses karena masalah aksesibilitas. Misalnya ke Pulau Togean dimana dari Jakarta kita harus terbang ke Gorontalo dengan pesawat, kemudian dilanjutkan dengan 4WD ke sebuah desa dan kemudian menyeberang ke Pulau Togean dengan perahu. Sangat melelahkan.

Masalah kedua yang disebutkan oleh Menko Kemaritiman adalah pariwisata Indonesia kurang memiliki faktor atraksi dan budaya. Meskipun saya ragu tentang keramahtamahan budaya, menteri itu terkejut.

Tapi tentunya kalau saya mengartikannya, keramahan ini hanya terkonsentrasi pada destinasi-destinasi terkenal, misalnya di Borobudur di Jawa Tengah atau di Kuta Bali. Situasi yang berbeda dapat diamati di Lembah Harau Sumatera Barat, di mana pedagang asongan yang menjual cenderamata lengket seperti perangko biasa ditemukan. Tentu saja, baik turis lokal maupun mancanegara merasa tidak nyaman bahkan tertekan untuk membeli barang.

Sayang sekali pariwisata Indonesia tidak bisa menghadapi hal-hal sepele seperti itu. Untungnya, dengan media sosial, kini wisatawan bisa mengadu langsung dengan bukti otentik berupa rekaman video ponsel.

Sebagai contoh kejadian yang terjadi beberapa waktu lalu di Malioboro, Daerah Istimewa Yogyakarta. Saat itu, budaya Jogja yang sangat berharga dicemari oleh pedagang kuliner dan petugas parkir bus yang mematok harga semena-mena.

Namun, berkat laporan Wisnus yang viral di media sosial, masalah itu untuk sementara bisa teratasi. Tapi bagaimana dengan masa depan? Saya terkejut menemukan fakta-fakta ini.

Kelemahan lain yang disebutkan Menko Kemaritiman adalah fasilitas pariwisata. Misalnya toilet di tempat wisata dan air bersih untuk kantin.

Turis asing yang melihat piring dicuci di ember selalu merasa jijik. Sekalipun masyarakat kita menganggap ini sebagai hal yang lumrah.

Untuk itu, dinas pariwisata dan pengelola gedung di daerah tujuan wisata harus bisa membangun pipa atau saluran air hingga dapur kantin. Air di toilet mengalir merata, jadi tidak ada bau pesing.

Sederhana saja, tapi para pemangku kepentingan pariwisata kita jarang memikirkannya. Mari kita mulai membangun pariwisata kita dengan hal-hal sederhana seperti: B. Perbaikan air toilet dan air ledeng untuk kantin yang dijual di daerah tujuan wisata.

masalah anggaran
Salah satu titik lemah awal kemajuan pariwisata Indonesia yang memiliki 17.000 pulau untuk dikelola adalah anggaran pariwisata kita membutuhkan alokasi yang besar. Karena tuntutan pemerintah terhadap dunia pariwisata Indonesia juga bukan main-main.

Kalau saya mengikuti dari berbagai sumber, untuk pemulihan pariwisata di masa pandemi Covid-19, pemerintah memberikan semacam bantuan baru dari dana pemulihan 2022 sebesar Rp 13,5 triliun. Untuk tahun 2022 yang diputuskan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Oktober 2022 dalam Rakornas Kemenparekraf, maka menjadi Rp 9,3 triliun.

Pertanyaannya, apakah anggaran tersebut mencukupi? Jika melihat geografi pariwisata Indonesia yang luas, banyak hotel yang di-PHK, banyak hotel di Bali dan renovasi rumah dijual online, sehingga butuh dana segar untuk rekreasi.

Saya yakin dananya tidak cukup. Tapi itulah quo vadis dari pariwisata kita. Pemerintah sangat membutuhkan uang, tujuan wisata kita nomor 1 terindah di dunia, tapi kita tidak berkembang dari dulu, seperti poco-poco alias mandeg.

Kontribusi lalu lintas pariwisata dari maskapai penerbangan
Masalah lain yang tidak kalah penting adalah tarif penerbangan. Harga minyak dunia saat ini 79 dolar AS per barel. Tahun lalu harga minyak mencapai 120 dolar AS per barel. Padahal biaya avtur bisa mencapai 40% dari total biaya.

Jika maskapai mau mengkompensasi kerugian selama dua tahun akibat pandemi Covid 19, sama saja dengan melaporkan dunia pariwisata hanya penuh saat musim liburan. Jadi waktu tempuhnya tidak sebulan penuh, ada low season pertama Januari sampai April dan low season kedua Agustus sampai September.

Benarkah maskapai masih ngotot dengan harga tiket yang tinggi? Faktor penyebab mahalnya harga tiket memang rumit, karena armada pesawat Indonesia juga menyusut hingga 50% karena beberapa pesawat telah dikembalikan ke lessor. Perlu duduk bersama Kementerian Perhubungan, Kementerian Pariwisata dan Industri Kreatif dan INACA untuk menemukan formula harga tiket yang masuk akal, jika tidak maka tidak bisa murah lagi.

Ya, tujuannya adalah untuk menarik wisatawan lokal untuk berwisata. Pikirkan perjalanan keluarga minimal empat orang. Jika kenaikan minimal Rp 600.000 sekali jalan, maka Rp 1,2 juta pulang pergi. Dikalikan empat orang tambah lagi Rp 4,8 juta.

Orang pasti tidak tertarik naik pesawat. Untuk itu perlu dicarikan solusi yang holistik dan komprehensif bagi semua pihak yang terlibat.

Tujuannya agar dunia penerbangan dan pariwisata dapat hidup berkelanjutan dan membawa manfaat bagi seluruh karyawan kami.

(meter persegi/meter persegi)

Source: news.google.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button