Jawa Tengah

Kantong sampah olahan masuk pasar ekspor, ciptakan ekonomi biru di pantura Jawa Tengah: Okezone Nasional

SEMARANG – Ibu-ibu berjalan lincah sambil membawa karung, menyusuri garis pantai Tirang, kota Semarang, Jawa Tengah. Jejak langkah mereka segera menghilang saat angin menerbangkan butiran pasir yang membentuk telapak kaki mereka.

Ke-12 orang itu pun tak segan-segan melintas di antara ratusan turis yang menikmati pemandangan alam dan suara deburan ombak. Botol dan sedotan plastik bekas yang sebagian tertimbun pasir langsung dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam karung.

Langkahnya tetap menyusuri pantai, meski tak ada lagi rumah-rumah kecil tempat bersantai turis. Pada titik ini masih ditemukan sampah. Beberapa tersapu oleh ombak sebelum menabrak pasir.

Ibu-ibu ini bukanlah pemulung melainkan aktivis lingkungan yang tergabung dalam Komunitas Solidaritas Hijau Indonesia. Setiap minggu mereka turun ke pantai yang menjadi andalan pariwisata Kota Semarang untuk mengumpulkan sampah.

“Kami sangat menikmati suasana pantai di sini, dan ini satu-satunya pantai di Kota Semarang. Oleh karena itu, kami memiliki keinginan untuk membantu melindungi dan memperbaiki kondisinya,” kata aktivis lingkungan Theresia Tarigan, Kamis (12/8/2022).

“Kami melihat perilaku pengunjung saat membuang sampah masih belum disiplin. Jadi sama-sama kita 12 orang, kita bawa tas (karung) khusus untuk bersih-bersih Pantai Tirang,” ujarnya sambil memungut sedotan bekas.

Menjelang langit kuning di ufuk barat mereka masih mencari sampah. Sesekali berhentilah untuk melihat pesawat yang lepas landas atau mendarat di Bandara Ahmad Yani. Sekaligus meregangkan punggung, karena berjalan terlalu lama membungkuk.

“Masing-masing dari kita telah menemukan sampah yang melebihi harapan kita. Di sebelah sampah sandal ternyata ada kaos. Sebagian besar terutama sampah kemasan makanan, sedotan, lalu kemasan minuman atau mie instan,” jelasnya.

Menurutnya, sampah laut sangat berbahaya. Sampah tidak hanya tertelan saat anak-anak bermain di air, tapi juga bisa berubah menjadi mikroplastik dan dimakan ikan. Padahal, jika dimakan manusia, ikan berdampak negatif bagi kesehatan.

“Kami sangat mengharapkan adanya kesadaran dan keinginan untuk melakukan sesuatu dengan lebih disiplin, sehingga saat makan di hari raya tidak merusak lingkungan dengan membuang sampah sembarangan,” harapnya.

Selain mengumpulkan sampah, mereka juga menanam mangrove di sepanjang pantai untuk menghindari abrasi dan kerusakan lingkungan. Tanaman mangrove merupakan tumbuhan polong-polongan, selain karena bijinya mudah didapat, cara penanamannya juga cukup dengan ditancapkan.

“Kami datang ke sini secara rutin setiap minggu. Jadi pantai ini memang dekat, mudah diakses dan untungnya (tiket) tidak mahal untuk masuk ke sini. Kita bisa menikmati deburan ombak dan view yang luas, bagus banget, jadi kita harus jaga itu,” kata Theresia.

Baca juga: Lifebuoy x MNC Peduli mengajak masyarakat berbagi kebaikan dengan donasi rambut, Save the Date!

Ekspor Tas Rajut Kresek

Generasi milenial di Ambarawa, Kabupaten Semarang juga berperan menjaga lingkungan dengan mengolah sampah plastik yang terkumpul. Kantong plastik bekas yang dulunya menjadi masalah di seluruh dunia, ternyata bisa diubah menjadi tas rajutan cantik dengan nilai komersial yang tinggi.

“Sebelumnya saya memiliki hobi yaitu kerajinan tangan, merajut dan kerajinan tangan lainnya. Padahal, berawal dari sampah yang menumpuk di kos-kosan saat itu, dan saat itulah saya mulai membuat sesuatu,” ujar pendiri perusahaan rajut kantong plastik Kreskros, Deasy Esterina.

“Saya juga melihat ada kepedulian, ini bukan hanya nasional, bukan hanya di daerah kita sendiri, tapi sudah menjadi kepedulian internasional, terbukti sekarang semakin banyak negara yang meningkatkan fokusnya untuk menangani sampah plastik. Perubahan iklim salah satunya akibat sampah plastik,” jelasnya.

Meski dibuat secara manual, kantong plastik rajut dari Kreskros ini memiliki kualitas premium. Tak heran, berbagai jenis tas yang diproduksi tak hanya diminati konsumen lokal, tapi juga merambah pasar ekspor ke Singapura, Australia, dan Kanada.

“Kok kita sebagai generasi muda, termasuk saya, Generasi Y, bisa melakukan sesuatu mulai dari yang kita suka? Karena saya juga belajar desain di sekolah, saya mencoba membuat desain dan produk yang bisa digunakan,” kata pria 32 tahun itu.

“Meskipun (kantong plastik rajutan) ini dari sampah, tapi kita daur ulang dari sampah. Kami sedang mengerjakan ulang, tetapi kami tidak harus melihat sampah jika itu sampah. Saya membangun kembali nilai fungsi dan estetikanya agar kita benar-benar dapat mengubah kebiasaan ini untuk penggunaan sehari-hari,” lanjutnya dengan semangat.

Untuk melayani pesanan konsumen, Deasy bekerja sama dengan tetangga dan teman. Mereka terbiasa merapikan sampah plastik yang terkumpul kemudian dipotong memanjang seperti benang.

Keterampilan merajutnya mulai diturunkan kepada karyawan. Kantong plastik bekas kebanyakan berwarna hitam, dipadukan dengan benang rajut merah, coklat, atau biru, tergantung selera konsumen. Kemudian rajutan daun kresek dijahit sesuai pola tas.

“Karena tingkat antusiasme yang tinggi ini, kami juga semakin berkembang. Dan kami menciptakan lebih banyak barang premium dengan kualitas pilihan. Dari awal kita buat sendiri tahun 2014, sejak tahun 2017 kita sudah bisa ekspor dan masih bisa sampai sekarang,” ujarnya.

“Banyak perusahaan yang semakin belajar untuk menjaga lingkungan. Jadi sekarang kami juga membuat banyak souvenir dimana souvenir tersebut memiliki nilai. Kami menawarkan suvenir yang tidak hanya memiliki nilai eceran, tetapi juga memiliki profil yang lebih tinggi. Jadi ketika kami memberikan produk ini kepada orang lain, kami berharap mereka akan terinspirasi dan saling menularkan semangat ini (menjaga lingkungan),” imbuhnya.

Menurutnya, pasar domestik yang paling potensial untuk produknya adalah Jakarta dan Bali. Meski harganya cukup tinggi, mulai dari Rp 150.000 hingga Rp 2,4 juta per buah, pesanan tetap mengalir.

“Untuk penjualan di Indonesia paling tinggi di Jakarta dan Bali. Saat ini banyak dibutuhkan perusahaan, hotel, bank dan souvenir lainnya. Produk termasuk kotak dan kartu. Jadi kami memberikan kartu yang memberi tahu masyarakat bahwa produk ini memberdayakan para ibu agar lebih kuat dan terbuat dari sampah plastik yang bertanggung jawab,” ujarnya.

Penghasil sampah terbesar

Banyaknya sampah plastik di laut memprihatinkan. Pakar lingkungan Universitas Diponegoro Semarang (Undip) Prof DR Denny Nugroho Sugianto mengatakan, Indonesia menduduki peringkat kedua negara terbesar di dunia penghasil sampah.

“Produksi sampah yang selama ini kita kenal kurang lebih 0,27 juta hingga 0,5 juta ton per tahun. Ini produk limbah yang sangat besar,” kata Denny.

Guru besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Undip itu juga mengapresiasi program Ekonomi Biru yang diluncurkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Salah satu dari 5 program tersebut adalah pembuangan sampah laut.

“Dalam program ini kami melihat ada program yang cukup unik yaitu Bulan Cinta Laut. Dimana dalam 1 tahun, selama sebulan, nelayan diminta tidak menangkap ikan. Jika dilihat dari segi akademik, ini cukup menarik dan terobosan. Masyarakat diminta memungut sampah di laut selama satu bulan ini dan dihadiahi harga ikan terendah atau rata-rata harga ikan pada saat tangkapan,” jelasnya.

“Jadi sepertinya kita sembuh di sini. Manusia membutuhkan penyembuhan, sehingga saat ini sedang populer. Artinya terkadang kita berharap masyarakat melakukan kegiatan yang berkaitan dengan pembuangan limbah di laut,” lanjutnya.

Oleh karena itu, diperlukan gerakan bersama dari semua kelas sosial untuk mengurangi sampah laut. Termasuk juga pengolahan sampah laut yang memperhatikan prinsip ekonomi sirkular.

“Pemanfaatan sampah laut pasti akan kembali jika kita menerapkan prinsip ekonomi sirkular. Oleh karena itu, daur ulang limbah laut harus menjadi nol limbah. Misalnya kita mengolah plastik menjadi barang yang bermanfaat bagi masyarakat dan menciptakan nilai produktivitas atau nilai ekonomi,” jelasnya.

“Jadi ekonomi biru secara intrinsik terkait dengan peran masyarakat yang menjadi aktornya. Ekonomi sirkular ini merupakan salah satu ekonomi yang muncul dari kombinasi ekonomi hijau dan ekonomi biru. Oleh karena itu, memanfaatkan sumber daya laut yang berkelanjutan dan menggunakan energi baru terbarukan merupakan salah satu hal terpenting untuk masa depan,” ujarnya.

Ia menegaskan, masa depan Indonesia sebagai bangsa pelaut bergantung pada laut. Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya mulai dari darat hingga pantai hingga laut harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan.

“Ada juga program atau langkah yang sudah dilakukan pemerintah saat ini, seperti B. ICZR (Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu). Ini merupakan program atau bentuk kepedulian bahwa pelaksanaan pembangunan berkelanjutan juga merupakan bagian dari pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu,” jelasnya.

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono juga mensosialisasikan lima program Ekonomi Biru saat berkunjung ke Undip Semarang. Kelima program tersebut meliputi perluasan kawasan lindung, penerapan kebijakan perikanan terukur berbasis kuota, pengembangan budidaya perikanan ramah lingkungan, pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan, serta pengelolaan sampah plastik laut.

“Satu gerakan pesan yang kami kirimkan ke dunia adalah apa yang kami sebut Bulan Cinta Laut. Saat semua negara mengeluhkan sampah plastik di laut. Ini adalah limbah yang sangat berbahaya karena dapat berubah menjadi mikroplastik yang dimakan oleh ikan dan berbahaya untuk dikonsumsi manusia. Kalaupun plastik bukan hanya dari Indonesia tapi dari seluruh dunia, bisa jadi salah satunya terakumulasi di Indonesia karena arus (laut) di sana,” kata Trenggono.

“Jadi inisiasi (Bulan Cinta Laut) juga disosialisasikan oleh Dekan Fakultas Perikanan dan Kelautan se-Indonesia, bagus. Kita bersama dan akan kita sampaikan kepada dunia bahwa Indonesia serius dalam pengelolaan sampah di laut,” ujar pria kelahiran Semarang ini.

“Presiden berjanji akan mengurangi sampah laut hingga 70% pada tahun 2025. Ini adalah kegiatan konkrit yang bisa dilakukan. Harapannya, seluruh dunia akan mengikuti dan mencegah pembuangan sampah dari darat ke laut, setidaknya sejak awal,” pungkasnya.

Source: news.google.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button