Yogyakarta

Kampung Coklat Blitar – Kampung unik yang menggerakkan perekonomian kampung Plosorejo

Pernahkah Anda mendengar tentang coklat Kampung? Nah, Kampung Cokelat menjadi salah satu destinasi paling populer bagi wisatawan yang datang ke Blitar bersama dengan Makam Bung Karno.

Kampung coklat ini terletak di desa Plosorejo, Kec. Kademangan, Kab.Blitar. Setiap akhir pekan selalu dipenuhi oleh banyak wisatawan dari berbagai daerah, karena apa yang ditawarkan Chocolate Village tidak dapat ditemukan di daerah lain.

Di sini kita bisa melihat semua jenis kakao. Mulai dari produk nabati hingga produk olahan.

Penasaran dengan keseruan dan cerita di balik lahirnya Kampung Cokelat?, simak ulasannya di bawah ini.

cerita Kampung Coklat Blitar

Sejarah Kampung Cokelat bisa dirunut kembali ke 18 tahun lalu, tepatnya tahun 2004. Ide ini bermula ketika bisnis seorang peternak ayam bernama Kholid Mustofa bangkrut akibat wabah flu burung.

Merebaknya flu burung membuat Kholid fokus pada budidaya kakao. Saat itu, Kholid kebetulan memiliki luas 720 meter persegi.

Sebenarnya, kebunnya sudah ditanami 120 kakao sejak tahun 2000. Karena fokus bisnis Kholid saat itu adalah beternak ayam, jadi kebunnya tidak terlalu terawat.

Bahkan ketika kakaonya sudah panen, ia langsung menjualnya dengan harga murah sekitar Rp 7.000/kg.

Pada tahun 2005 ia memutuskan untuk belajar kakao di PTPN XII Blitar dan di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao di Jember.

Pertengahan tahun 2005, Kholid mengajak para petani untuk membentuk sebuah perkumpulan petani (gapoktan) bernama Guyub Santoso. Saat itu, 21 petani bergabung.

Kholid dan para petani yang tergabung dalam kelompok ini sedang mencari informasi tentang harga biji kakao kering di Surabaya. Ternyata cukup mahal. Di Surabaya, harga biji kakao kering diperkirakan Rp 16.000 per kilogram.

Saat Kholid menerima informasi ini, dia semakin antusias dengan pengembangan kakao. Di Gapoktan ini hasil panen petani dikumpulkan untuk kemudian dikeringkan.

Pada tahun 2007, kelompok ini mendapat pesanan untuk memasok biji kakao ke pabrik pengolahan biji kakao sebesar 3,2 ton per bulan.

Kholid sempat belajar cara penanganan kakao di pabrik cokelat Monggo Yogyakarta dan Silver Queen.

Pada tahun 2013, Kholid mulai membuat cokelat sendiri bekerja sama dengan Cokelat Anggi Blitar. Kakao bubuk dipasarkan di sejumlah daerah seperti Solo dan Surabaya.

Pada tahun 2014 ia akhirnya memutuskan untuk melakukan perjalanan edukasi cokelat. Ia juga membangun sebuah kawasan bernama Desa Cokelat.

Fasilitas dan tiket masuk Kampung Coklat

Di area ini, semua lonceng dan peluit yang berkaitan dengan cokelat dapat dipelajari. Mulai dari penanaman hingga pengolahan. Pengunjung bisa menemukan berbagai jenis cokelat dengan membeli tiket seharga Rp 5.000 per orang di hari biasa dan Rp 10.000 per orang di akhir pekan.

Mulai dari original chocolate, crunchy chocolate, orange chocolate, apple chocolate, cocoa powder, whole milk chocolate, hingga varian dark chocolate yang berbeda tersedia di sini.

Kakao yang dipanen di Kampung Coklat Blitar tidak hanya diolah menjadi coklat siap saji, tetapi juga menjadi berbagai jenis makanan seperti brownies coklat, dodol coklat dan lain sebagainya.

Tidak hanya tentang coklat, di desa coklat Kholid ini juga dibangun semua fasilitas untuk permainan, hiburan dan restoran. Produk olahan juga dipamerkan di area tersebut.

Kehadiran kampung coklat ini memberikan dampak yang besar. Para pekerja di desa terserap. Tak kurang dari 400 warga desa bekerja di kampung cokelat ini. Perekonomian desa bergerak. Kini Desa Plosorejo identik dengan Kampung Cokelat.

Sebagai? Sudah tertarik datang ke Kampung Coklat?

Source: news.google.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button