Kadin Jatim mendukung penguatan masyarakat desa dan perlindungan anak - WisataHits
Jawa Timur

Kadin Jatim mendukung penguatan masyarakat desa dan perlindungan anak

Kamar Dagang dan Industri Provinsi Jawa Timur (Kadin) Jatim memberikan dukungan penuh terhadap Program Desa Agrowisata Ramah Anak dan Wisata Budaya atau Dewa Dewi Rama Daya Alit Indonesia yang menitikberatkan pada pemberdayaan masyarakat desa dan perlindungan anak.

“Salah satunya memberikan pelatihan penunjang UMKM dan kurasi produk kepada tim Alit. Sekaligus kami memberikan jaringan pasar dan membantu pendistribusian dan penjualan produk-produk hasil karya masyarakat pedesaan termasuk pariwisata,” kata Adik Dwi Putranto, Ketua Kadin Jatim di Surabaya, Selasa (20/9/2022).

Saat ini, desa merupakan salah satu kantong kemiskinan yang masih tinggi di Jawa Timur. Untuk itu perlu dilakukan upaya nyata untuk menggali potensi desa, baik di sektor pariwisata maupun produk-produk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di desa, serta dalam pengembangan potensi desa. sumber daya alam desa (SDA). pengolahan berbasis.

“Melalui program ini, kami membangun kemandirian masyarakat desa, kami meneliti dan membantu mengembangkannya agar produk yang mereka tanam memiliki nilai tambah yang lebih besar bagi masyarakat desa, sehingga kesejahteraan mereka akhirnya dapat meningkat. Tidak hanya itu, perlindungan dapat diciptakan untuk anak karena Alit fokus pada perlindungan anak dengan mendorong setiap desa memiliki peraturan desa ramah anak,” tambah pria lulusan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya itu.

Dalam implementasinya, Adik berharap tahun ini bisa menjadi tuan rumah pelatihan pendamping UMKM dan kurasi produk.

Yuliati Umrah, Direktur Eksekutif Yayasan Arek Lintang (Alit) Indonesia, mengumumkan bahwa program Dewa Dewi Rama Daya merupakan program Alit Indonesia bersama Kementerian Desa Kurang Mampu (PDTT) dan Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Saat ini ada 12 desa di 9 kabupaten di Jawa Timur, Bali dan Flores yang menjadi pilot project.

“Di Jawa Timur ada kota Pasuruan, Sumenep, Jember, Banyuwangi dan Surabaya sebagai pusat perdagangan, Kota Batu dan Kabupaten Malang. Di Bali ada di kabupaten Gianyar dan di Flores di kabupaten Sika,” jelas Yuli.

Ke-12 desa tersebut didorong dan diintervensi agar kelompok anak-anak dikuatkan secara ekonomi melalui “Permak Kultur Permanen Pertanian”. Ini adalah pendekatan pertanian berbasis biologis dan antar budaya, di mana tanaman endemik dari desa diperbanyak secara organik oleh orang tua dan anak-anak menggunakan metode tumpang sari.

Sedangkan anak mendapat intervensi melalui kelas belajar mandiri yang terdiri dari 5 materi utama. Pertama tentang kecakapan hidup yang ditentukan secara budaya, misalnya kegiatan keterampilan dasar, literasi digital dan non-digital. Kedua, pengetahuan sejarah, budaya, sains sederhana. Keempat, pengembangan olahraga seperti olahraga tradisional dan olahraga akar rumput seperti pencak silat.

“Juga kegiatan budaya di mana kegiatan budaya dan pertunjukan lokal terus didorong untuk diperkenalkan kepada anak-anak peserta belajar mandiri. Selain itu, anak-anak belajar tentang perlindungan anak di kelas belajar mandiri, di mana semua tujuan wisata terancam oleh eksploitasi dan kekerasan terhadap anak. Mereka belajar melindungi diri ketika orang dewasa mencoba menyerang atau mengeksploitasi anak-anak,” kata Yuli.

Sedangkan di kelas budaya, pemuda desa diikutsertakan sebagai duta Dewa Dewi di masing-masing desa. Setiap desa memiliki 20 duta besar yang akan mengeksplorasi unsur-unsur budaya.

Unsur budaya yang dimaksud meliputi unsur wareg yaitu pengelolaan sumber daya pangan, pengelolaan pangan lokal, dan teknologi berbasis budaya. Semua hal ini menjadi tantangan zaman modern.

“Dulu, misalnya, orang tua memanen singkong dan langsung menjualnya, sekarang anak-anaknya mengolahnya menjadi mocaf bebas gluten yang memiliki harga eceran tinggi dan kompetitif,” katanya.

Selain itu, pemanfaatan tanaman liar yang tidak tumbuh menjadi tanaman yang memiliki fungsi ekonomi tinggi, seperti ilalang yang biasa ditemukan di lereng gunung, dipadukan dengan teknologi pemuda yang dikembangkan di kampus.

“Banyak sekali produk-produk dari tanaman induk yang sudah dimodernisasi oleh anak muda,” ujarnya.

Kendala utama dalam pelaksanaan program tersebut justru terletak pada cara berpikir anak-anak desa yang mulai terjangkit budaya asing. Juga, sangat sulit untuk berbicara tentang budaya dengan anak muda karena berbicara tentang budaya selalu dianggap kuno.

“Awalnya sangat sulit, dan banyak anak muda yang menolak aktif di desa, memilih tinggal dan bekerja di kota, begitu banyak lahan pertanian yang terbengkalai dan pindah ke pemukiman penduduk, pabrik, hotel dialihfungsikan, itulah yang kami lakukan. sedang melihat. Dengan program ini, anak-anak muda perlahan-lahan menemukan aspek-aspek bagus dari tanah mereka yang bisa digarap dan menghasilkan produk pertanian dengan nilai ekonomi yang sangat tinggi,” ujarnya. (dfn/ipg)

Source: www.suarasurabaya.net

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button