Jaga Harmonisasi Pariwisata dan Konservasi di Pulau Komodo – ANTARA News Yogyakarta
YOGYAKARTA (ANTARA) – Polemik tarif masuk Pulau Komodo mencuat beberapa hari terakhir setelah Presiden Joko Widodo mengunjungi Labuan Bajo di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur pada 21-22 Juli 2022.
Asalnya, rencana pemerintah menerapkan tarif baru masuk ke Pulau Komodo dan Pulau Padar senilai Rp3,75 juta mulai 1 Agustus 2022. Tiket tersebut berlaku selama satu tahun. Sejauh ini harga tiket masuk Taman Nasional Komodo berkisar Rp 200.000.
Alasan utama tarif baru ini adalah untuk mengkompensasi pelestarian alam. Kenaikan tarif masuk ke Pulau Komodo bertujuan untuk membatasi jumlah wisatawan yang berkunjung ke Taman Nasional Komodo menjadi 200.000 per tahun.
Menurut perhitungan, jumlah wisatawan yang “menonton” komodo akan meledak. Balai Taman Nasional Komodo memproyeksikan bisa menjangkau hampir 300.000 orang pada 2030 dan 480.000 orang pada 2045. Oleh karena itu, selama belum berakhir, tindakan pembatasan harus segera dilakukan, karena studi yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Komodo merekomendasikan jumlah ideal pengunjung Taman Nasional Komodo hingga 219.000 per tahun, atau maksimal 292.000 per tahun.
Padahal, angka ideal itu tidak pernah terwujud. Berdasarkan data kunjungan, masih di bawah 100.000 pada tahun 2014 dan meningkat menjadi 200.000 pada tahun 2019. Pada tahun 2020, turun menjadi kurang dari 50.000 karena pandemi COVID-19. Namun, jika pandemi mereda, jumlah pengunjung harus meningkat tajam lagi.
Baca juga: Tiga Destinasi Alam yang Wajib Dikunjungi di Asia Tenggara
Berdasarkan kegiatan pemantauan intensif oleh penjaga Taman Nasional Komodo dan peneliti dari Yayasan Komodo Survival Program, diketahui bahwa populasi komodo lebih dari 2.897 pada 2018, 3.022 pada 2019, dan 3.163 pada 2020 dan lebih dari 3.303 pada 2021. .
Rencana kenaikan harga tiket Taman Nasional Komodo mendapat sambutan negatif dari pengusaha pariwisata. Usulan itu dianggap mematikan pariwisata di wilayah tersebut. Sedangkan masyarakat Labuan Bajo bergantung pada pendapatan sebagai pelaku usaha pariwisata.
13 asosiasi pariwisata juga memberikan suara bulat menentang kenaikan tarif. Mereka menyatakan ketidaksetujuan mereka. Hingga 13 organisasi pariwisata termasuk Asosiasi Perusahaan Perjalanan Indonesia (ASITA), Asosiasi Perahu Wisata (Askawi), Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI). Ada pula Himpunan Pemandu Wisata Indonesia (HPI), Asosiasi Transportasi Wisata Darat (Awstar), Forum Komunitas Penyelamat Pariwisata (Formapp), Astindo, Tenaga Pariwisata Indonesia (IPI), Komunitas Operator Selam Komodo (DOCK), Jaringan Perahu Rekreasi (Anchors) , Persatuan Pengusaha Labuan Bajo (BPLB) dan Persatuan Kelompok Usaha Unitas (Akun).
Pasalnya, tarif Rp 3,75 juta hanya akan terjangkau oleh kalangan menengah ke atas, sehingga kenaikan harga tiket akan mempengaruhi jumlah kunjungan wisatawan. Setidaknya semakin berkurang. Dampak lainnya adalah pembatalan pemesanan oleh calon pelanggan biro perjalanan di wilayah tersebut.
Jawaban ini dapat dimengerti. Mereka memakai kacamata mereka sendiri. Penting bagi mereka untuk membawa turis sebanyak mungkin. Semakin banyak, semakin menguntungkan pelaku pariwisata.
Namun yang dilupakan, aktivitas manusia di berbagai daerah, termasuk beberapa kawasan wisata, menjadi salah satu penyebab kerusakan lingkungan. Kondisi ini lebih dipahami oleh para aktivis lingkungan dan pelestari lingkungan. Tidak sepenuhnya didukung oleh negara atau Pembiayaan.
Dana dari kegiatan pariwisata juga dapat digunakan untuk membiayai konservasi alam. Dari sini terlihat bahwa pengembangan pariwisata sangat penting karena dana yang dihasilkan juga dapat memenuhi kebutuhan dana untuk pelestarian alam. Di banyak daerah, pariwisata berperan penting dalam menggalang dana untuk konservasi, artinya pariwisata dan konversi berjalan beriringan, tidak terpisah.
Keputusan Presiden
Berdasarkan pariwisata yang dipadukan dengan pelestarian alam, Presiden Joko Widodo mengambil keputusan tegas. Pada prinsipnya, Presiden Joko Widodo mendukung kebijakan menaikkan tarif masuk Taman Nasional Komodo menjadi Rp 3,75 juta yang berlaku mulai 1 Agustus mendatang.
Alasan kenaikan harga tiket adalah upaya pemerintah untuk melestarikan suaka dan menumbuhkan ekonomi dengan kedatangan wisatawan.
Solusi lain? Di Labuan Bajo, kata Presiden, layang-layang ini tersebar di beberapa pulau, yakni Pulau Komodo, Pulau Padar, dan Pulau Rinca. Setelah berdiskusi, diputuskan bahwa suaka margasatwa akan berada di Pulau Komodo dan Pulau Padar.
“Jadi kalau mau lihat komodo silahkan ke Pulau Rinca, disini ada komodo. Berapa banyak yang Anda bayar masih sama. Komodonya juga sama,” saran Presiden.
Pernyataan Presiden Jokowi jelas menunjukkan bahwa pariwisata dan pelestarian alam harus berjalan beriringan. Taman Nasional Komodo mungkin tertutup bagi wisatawan jika Anda lebih peduli dengan konservasi. Taman ini hanya terbuka untuk penelitian atau kegiatan ilmiah lainnya.
Belajar dari kasus Pulau Komodo, kawasan wisata lain harus memiliki standar untuk menyeimbangkan pariwisata dan konservasi. Misalnya, wisata gunung yang saat ini sedang tren di beberapa kota untuk menikmati panorama kota dari ketinggian. Masalahnya, dengan semakin banyaknya bukit yang dijadikan tujuan wisata, dikhawatirkan konservasi akan terabaikan.
Meski belum terlambat, ada baiknya menerapkan beberapa standarisasi pada bisnis wisata gunung ini. Esensinya sama, yaitu tidak mengorbankan alam demi pariwisata. Keduanya harus berjalan beriringan.
Baca Juga: Hotel Indonesia Group Perkenalkan Meruorah Komodo Labuan Bajo
Baca Juga: Presiden Bangga dengan Komodo
Berita ini disiarkan di Antaranews.com dengan judul: Menjaga harmonisasi pariwisata dan konservasi di Pulau Komodo
Source: jogja.antaranews.com