Dibalik keindahan Solo Safari terletak nasib malang para pedagang yang terlantar – Solopos.com
SOLOPOS.COM – Deretan pedagang kaki lima atau PKL di kawasan wisata TSTJ Solo menjelang revitalisasi dimulai pada Juni 2022. (Solopos/Nicolous Irawan)
Solopos.com, SOLO —Proyek revitalisasi destinasi wisata Solo Safari rupanya belum menggembirakan semua pihak. Tempat yang dulunya bernama Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ) ini telah puluhan tahun menjadi tempat mengadu para pedagang. Proyek revitalisasi menghancurkan lapak para pedagang di sana.
Sejumlah pedagang yang menjajakan kaos, aksesoris atau pernak pernik, jajanan, dan cinderamata khas TSTJ di sana dengan gigih menentang penggusuran pemerintah.
Special Offers Penawaran spesial yang menarik, menginap di Loa Living Solo New Bisa nonton Netflix sepuasnya!
Penolakan penggusuran telah diserukan, namun pemerintah masih memberikan solusi untuk meninggalkan lokasi tersebut. Para pedagang menyayangkan keputusan Pemkot yang memberikan kemudahan jalan bagi para pedagang untuk bepergian dari TSTJ ke Shelter Manahan atau ke tempat lain.
“Negara ini [TSTJ] milik negara, tapi rakyat juga tanggung jawab negara,” kata Ketua Perkumpulan TSTJ, Sarjuni, dalam rapat di kediamannya, Senin (30/1/2023).
Pedagang pun mengaku tak terima disebut PKL. Ini karena mereka merasa memiliki kios, bukan kereta belanja. Meski hanya penyewa, para pengecer juga tetap kooperatif membayar tarif sewa kios saat renovasi beberapa tahun lalu.
Belum lagi soal retribusi yang ditetapkan oleh pemerintah kota. Anda selalu mematuhi perintah dan aturan yang berlaku.
“Selama lebih dari 30 tahun Anda telah mematuhi apa yang diperintahkan,” katanya.
Sarjuni mengatakan sebagian besar pedagang tidak menerima tawaran relokasi ke penampungan Manahan, Pucangsawit atau lainnya. Ketika Sarjuni membagikan formulir pendaftaran kosong, hampir tidak ada yang mengambilnya.
“Bagi yang ingin mengembangkan usaha silahkan ambil, kemarin saya ambil satu saja, tapi tidak berhasil juga,” terangnya.
Sarjuni mengatakan anggota DPRD telah berupaya, namun sejauh ini belum ada hasil. Tidak ada tindak lanjut lebih lanjut tentang bagaimana para pedagang memenuhi harapan mereka, memungkinkan mereka untuk kembali ke TSTJ.
“Saya menyayangkan kelas Solo Safari mengabaikan orang-orang yang sudah lama berbisnis di sana,” ujarnya.
Sarjuni berpendapat, pembangunan Solo Safari yang mengusir pedagang lokal tidak mencerminkan pemenuhan hak asasi manusia. Pembangunan yang melibatkan investor tidak menjadi masalah selama rakyat kecil tidak terusir dari kampung halamannya.
“Para pengusaha besar dipersilakan jika ingin membangun bisnis besar, tapi jangan bunuh yang kecil yo gen urip, membuangnya seperti itu adalah pelanggaran HAM,” ujarnya.
Tak kurang dari 183 pedagang yang puluhan tahun berjualan di lokasi ini kini hanya bisa meratapi dan pasrah dengan kehadiran destinasi wisata Solo Safari.
Source: news.google.com