Dewanti mengerutkan kening saat mendengarkan lakon tentang kota wisata beton - WisataHits
Jawa Timur

Dewanti mengerutkan kening saat mendengarkan lakon tentang kota wisata beton

Pengunjung Batu Town Square berfoto dengan tembok bertuliskan Kota Wisata Batu (KWB). (MG1/Suara Malang)

SUARA WARNA – Kota Batu berkembang sangat pesat dalam waktu yang relatif singkat. Industri pariwisata menjadi penggerak utama Kota Batu hingga akhirnya melejit.

Pada saat yang sama, judul baru ditambahkan, yaitu Kota Batu Wisata (KWB).

Lambat laun, akronim KWB diperkenalkan ke Kota Wisata Beton. Terminologi yang terdengar menyindir ini bereaksi terhadap perkembangan pesat yang cenderung memperburuk kelestarian lingkungan.


Idul Adha 1433H

Pernyataan itu membuat Wali Kota Batu Dewanti Rumpoko mengerutkan kening. Dia tidak setuju karena menurutnya, luas terbangun di Kota Batu hanya 20 persen dari luas sekitar 20.000 hektar. 55 persen dari total wilayah adalah kawasan hutan di bawah administrasi Perhutani.

“Mungkin yang bilang KWB, kota wisata beton, karena orang belum paham. Kalaupun hanya 20 persen dari luas total,” kata Dewanti.

Menurutnya, arah pembangunan Kota Batu tetap memperhatikan aspek kelestarian lingkungan. Selain itu, Kota Batu merupakan hulu Sungai Brantas yang mengalir melalui 14 kabupaten/kota di Jawa Timur.

“Ada ratusan sumber air. Dan hulu Sungai Brantas ada di sini,” tambahnya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Batu yang diperoleh dari Badan Pertanahan Kota Batu, realisasi penggunaan lahan di Kota Batu pada sektor industri terus meningkat. Pada tahun 2018, penggunaan lahan untuk kawasan industri adalah 91 hektar. Ekspansi menjadi 95 hektar pada 2019.

Pada 2020 hingga 2021, ruang lingkup kawasan industri akan bertambah 126 hektar. Begitu juga untuk kawasan pemukiman yang tercatat pada 2018 dengan luas 1.907 hektar. Pada 2021 kemudian akan bertambah menjadi 2.909 hektar.

Laju permintaan ruang ini tak lepas dari wajah kota Batu yang kini menjelma menjadi destinasi wisata. Perkembangan ini juga menarik minat sejumlah orang untuk berinvestasi, mis. B. di perumahan atau kedai kopi. Padahal, bangunan tersebut dibangun di atas lahan hijau, yang tentu saja menyalahi aturan zonasi.

Seperti di Desa Sumber Brantas yang berada di depan Sungai Brantas. Sebagai daerah aliran sungai, sebenarnya terjadi alih fungsi lahan dengan berdirinya kafe-kafe yang sebenarnya berstruktur beton. Perubahan daerah hulu juga tercatat di daerah resapan udara pasca banjir bandang yang diselenggarakan oleh Perum Jasa Tirta.

Direktur Utama Perum Jasa Tirta I Raymond Valiant Ruritan mengatakan, PJT I memotret tiga kawasan, yakni kawasan Pusung Lading, Alas Bengking dan Sumbergondo.

Akibatnya, kawasan Hutan Pusung Lading tidak lagi ditumbuhi pepohonan. Oh Bengking, ada tata guna lahan di kanan dan kiri dasar sungai alami. Menurunnya daya dukung lingkungan di hulu juga diperparah dengan dibukanya kawasan wisata dan keberadaan kafe melalui pembangunan gedung permanen.

Pengelolaan kamar tidak hanya di tangan negara. Masalah ini akan sulit diatasi ketika berhadapan dengan pemilik modal dan kotamadya karena orientasi ekonomi mereka.

Penataan ruang tersebut secara bertahap akan mengurangi aspek ekologi, sehingga menimbulkan bencana hidrometeorologi. Sinyal tersebut terlihat saat banjir bandang melanda Desa Bulukerto pada 4 November 2021.

“Waktu itu saya sampaikan ke Wali Kota Batu kalau penataan ruang tidak dijaga, kekayaan Kota Batu bisa habis,” ujarnya. (itu)

Source: malangvoice.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button