Destinasi yang melimpah, properti ini terkenal dengan status Yogyakarta sebagai provinsi termiskin - WisataHits
Yogyakarta

Destinasi yang melimpah, properti ini terkenal dengan status Yogyakarta sebagai provinsi termiskin

Destinasi yang melimpah, properti ini terkenal dengan status Yogyakarta sebagai provinsi termiskin

TEMPO.CO, Yogyakarta – Melimpahnya destinasi wisata yang mendatangkan jutaan wisatawan setiap tahunnya ke Yogyakarta tampaknya berbanding terbalik dengan statusnya yang belakangan ini disorot sebagai provinsi termiskin di Pulau Jawa. Penetapan Yogyakarta sebagai provinsi termiskin di Pulau Jawa per September 2022 dilaporkan oleh Badan Pusat Statistik atau BPS pada awal tahun 2023.

“BPS tidak salah, hanya saja kalau mau dilihat secara objektif, kemiskinan itu harus multidimensional,” kata Sekretaris DIY Kadarmanta Baskara Aji, Selasa, 24 Januari 2024.

Aji menjelaskan, jika indikator yang digunakan BPS masih fokus pada tingkat pengeluaran masyarakat untuk konsumsi pangan, Yogyakarta menjadi provinsi termiskin. Dengan kata lain, kami tidak menghitung pendapatan per kapita masyarakat, hanya pengeluaran per kapita mereka.

Meski indikator belanja per kapita ini belum cukup menggambarkan realitas masyarakat Yogya yang sebenarnya, kata Aji. Terutama mereka yang tinggal di pedesaan memiliki kebiasaan tertentu dalam kesehariannya.

“Warga khususnya di pedesaan Yogya memiliki ciri khas tersendiri, lebih memilih untuk menabung dan berinvestasi pada aset seperti hewan ternak, sedangkan perhitungan GPS tidak memperhitungkan aset yang dimiliki,” kata Aji.

Aji mencontohkan, pemerintah daerah DIY turun tangan mencoba menaikkan belanja atau belanja masyarakat di perdesaan untuk mengetahui apakah belanja mereka meningkat. Intervensi dilakukan melalui bantuan sosial berupa uang tunai.

Namun, saat disurvei kembali, Aji mengatakan masyarakat rata-rata menggunakan uang tersebut untuk menabung atau menambah aset seperti membeli hewan ternak. Uang tidak dihabiskan untuk konsumsi.

“Kami pernah melakukan intervensi (meningkatkan belanja masyarakat) dengan memberikan uang tunai Rp 1 juta, tapi uang ini tidak dibelanjakan (untuk makan) tapi untuk membeli kambing. Aset tambahan seperti ini tidak masuk perhitungan BPS,” kata Aji.

Karena itu, menurut Aji, tidak menutup kemungkinan warga yang disurvei yang masuk dalam kategori miskin ternyata memiliki sejumlah ternak dari hasil simpanannya setelah ditelusuri lebih lanjut. “Jadi warga lebih memilih menabung dan berinvestasi, meski rumahnya seperti tidak berlantai, dia punya kambing etawa,” ujarnya.

“Ada juga yang pekerjaannya bukan pegawai PNS dan tergolong miskin namun memiliki 3 ekor sapi dan 5 ekor kambing di rumahnya,” Aji menceritakan pengalamannya saat mengunjungi salah satu pegawainya.

Berkaca dari pengalaman tersebut untuk menentukan apakah seorang warga tergolong miskin atau tidak harus bersifat multidimensi, menurut Aji. “Ini tidak didasarkan pada berapa banyak yang mereka habiskan setiap bulan untuk membeli bahan makanan, tetapi apa yang mereka makan dan berapa nilainya,” katanya.

Karena ketika warga mengkonsumsi makanan dari sawah atau kebun sendiri, latar belakangnya seringkali tidak terungkap. Misalnya, berapa banyak yang secara historis dihabiskan untuk membeli benih, tenaga kerja, dan biaya operasional untuk menumbuhkan tanaman hingga dapat dipanen dan dimakan sendiri. “Warga (di pedesaan pada umumnya) mengkonsumsi hasil panen sendiri, meski jelas ada biaya untuk bisa panen, tapi tidak diungkapkan,” kata Aji.

Baca juga: Kunjungan wisatawan tinggi, mengapa Yogyakarta menjadi provinsi termiskin di Pulau Jawa?

Selalu update informasi terbaru. Tonton breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di channel Telegram “http://tempo.co/”. klik https://t.me/tempodotcoupdate bergabung. Anda harus menginstal aplikasi Telegram terlebih dahulu.

Source: news.google.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button