Apa yang sebenarnya terjadi di SMA Good Morning Indonesia, Kota Batu, Malang, selain kasus kekerasan seksual? - WisataHits
Jawa Timur

Apa yang sebenarnya terjadi di SMA Good Morning Indonesia, Kota Batu, Malang, selain kasus kekerasan seksual?

JAKARTA – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyambut baik putusan Pengadilan Negeri Kota Malang yang memvonis Julianto Eka Putra pada 7 September 2022 dengan hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp 300 juta hingga 3 bulan penjara. Pagi Indonesia (SPI) yang didirikannya di Kota Batu, Malang sejak 1 Juni 2007.

Hakim juga memerintahkan pria tersebut, yang dikenal sebagai pengusaha dan motivator, untuk membayar korban Rs 44.744.623 sebagai kompensasi. Terdakwa Julianto telah terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana berdasarkan Pasal 81(2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak.

KPAI juga mendorong polisi mengusut laporan dugaan eksploitasi ekonomi anak dan kekerasan fisik yang dialami sejumlah anak di sekolah yang didirikan Julianto.

KPAI telah menyelidiki dugaan temuan tersebut bersama dengan Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Mulai dari meminta informasi kepada korban binaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) hingga kunjungan ke sekolah Julianto di Kota Batu, Malang.

Pendiri SMA Good Morning Indonesia Julianto Eka Putra setibanya di Lapas Lowokwaru Malang untuk menjalani hukumannya. (Dok. Kejaksaan Agung Jawa Timur)

Berdasarkan pengakuan korban, Komisioner KPAI Retno Listyarti mengatakan mereka jarang mendapat pengajaran di dalam kelas. Karena setiap hari mereka sering ditugaskan untuk menggarap bisnis tempat wisata dan hotel Julianto. Antara lain Kampung Kids dan Transformers. Termasuk hari Sabtu, Minggu atau hari libur nasional.

“Mereka bisa bekerja lebih dari 12 jam sehari. Bahkan, bisa memakan waktu hampir 20 jam saat ramai pengunjung. Kondisi ini berlangsung selama bertahun-tahun,” kata Retno dalam siaran pers yang diperoleh suara pada 11 September 2022.

Manajemen sekolah Julianto ditengarai menempatkan anak-anak pada pekerjaan lembur yang berbahaya, sehingga pertumbuhan dan perkembangan anak tidak optimal karena kurang istirahat.

Pekerja hanya di sektor formal yang diisi orang dewasa hanya bekerja 8 jam sehari, sedangkan anak-anak ini mengaku bekerja lebih dari 8 jam sehari.

“Padahal mereka masih anak-anak yang membutuhkan istirahat yang cukup (minimal 7 jam/hari) dan makan teratur untuk tumbuh kembangnya. Mereka sering tidak punya waktu untuk makan, juga karena terlalu lelah, mereka lebih memilih tidur daripada makan, sehingga banyak anak yang mengalami gangguan pencernaan,” kata Retno meyakinkan.

Berbagai jenis pekerjaan

Pekerjaan siswa bervariasi, masing-masing dengan tugas yang berbeda. Rincian pekerjaan tersebut dapat dilihat pada piket plan yang ditemukan Retno terpampang di dinding salah satu ruangan saat KPAI dan Irjen Kemendikbud dan Ristek berkunjung ke sekolah Julianto.

“Ketika kami tiba, kami menemukan kelas sangat tidak cocok untuk belajar. Laboratorium juga hanya rambu-rambu tanpa konten. Kami juga menemukan rencana piket yang diduga sebagai skema pembagian tugas untuk siswa tetapi tidak ada hubungannya dengan pembelajaran IPA. Mungkin siswa jarang atau tidak pernah berlatih biologi, kimia atau fisika,” kata Retno.

Misalnya, Senin hingga Sabtu, mengosongkan kolam lele, membersihkan kandang ayam, bebek, kambing, puyuh, dan kelinci. Bahkan, menurut pengakuan korban, ada siswa yang bertugas mencari rumput untuk dimakan kambing dan kelinci.

“Hewan dipelihara karena Kampung Kids sebagai salah satu bisnis wisata edukasi Julianto,” kata Retno.

Semua pekerjaan di tempat wisata dan hotel dilakukan oleh siswa dari kelas X hingga XII. Mulai dari memasak, menghidangkan piring, mencuci peralatan masak dan makanan/minuman, mengurus jual beli souvenir, membersihkan hotel, mencuci sprei/handuk dan masih banyak lagi.

Hal ini dilakukan dengan dalih proses atau praktik pembelajaran kewirausahaan. Padahal, kata Retno, mereka adalah siswa SMA, bukan siswa SMK. Kalaupun belajarnya tidak memakan banyak waktu, mereka harus tetap mendapatkan 6-8 jam belajar di sekolah menengah.

“Saat ditanya apakah korban menerima upah saat bekerja, mereka menjawab bahwa anak Kelas X tidak menerima uang sepeser pun, anak Kelas XI hanya Rp 100.000 per bulan dan anak Kelas XII Rp 150.000 per bulan,” kata Retno.

Komisioner KPAI Retno Listyarti menduga adanya eksploitasi ekonomi dan kekerasan fisik di SMA Selamat Pagi Indonesia di Kota Batu, Malang. (kpai.go.id)

Lebih menyedihkan lagi, dari kesaksian para Saksi yang kini sudah menjadi alumni, mereka tidak hanya dieksploitasi secara ekonomi. Sejumlah anak juga mengalami kekerasan fisik dan psikis seperti dibentak, dipukul, bahkan ditendang di bagian dada karena melakukan kesalahan atau cedera.

“Ada cerita sedih yang disampaikan ke KPAI, yaitu cerita seorang siswa yang tertidur saat bekerja karena sangat lelah, kemudian anak yang tertidur itu dimandikan dengan kotoran (feses) oleh pihak administrasi sekolah,” kata Retno.

Pemeriksaan KPAI bersama Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Retno menambahkan, dilakukan pada 26-30 Juli 2022. KPAI menyimpulkan sekolah Julianto diduga melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan, yaitu:

  • Pelanggaran Pasal 31 UUD 1945 bahwa setiap orang berhak atas pendidikan.
  • Pelanggaran Pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak.
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 13(1) tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa perlakuan eksploitatif adalah perbuatan atau perbuatan yang memanfaatkan, memanfaatkan, atau memeras anak untuk keuntungan pribadi, keluarga, atau kelompok.

    Eksploitasi ekonomi anak adalah penyalahgunaan pekerja anak dalam bentuk eksploitasi fisik untuk kepentingan pihak yang mengeksploitasinya. Pekerjaan ini menyebabkan anak kehilangan haknya, misalnya karena dipaksa bekerja, anak tidak berhak atas pendidikan atau pembelajaran.

  • Pelanggaran Pasal 54 (anak harus dilindungi dari berbagai bentuk kekerasan oleh pendidik, guru, dan teman sebaya di lingkungan pendidikan). Juga Pasal 76C (mengizinkan, melakukan, ikut melakukan dan memerintahkan kekerasan terhadap anak) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak.

Atas dasar ini, KPAI memberikan rekomendasi:

  1. Mendorong kepolisian (Polres Jawa Timur) untuk mengkaji undang-undang dan mengusut kembali dugaan kekerasan fisik yang dilaporkan ke polisi oleh korban lulusan SMA SPI.
  2. Membantu Polda Jatim mengusut dugaan eksploitasi ekonomi anak di SMA SPI. Hal ini juga didukung oleh hasil pantauan KPAI dan Inspektorat Jenderal Kemendikbud yang juga menduga kuat hal ini sudah terjadi di SMA SPI Kota Batu selama beberapa tahun (kelas 2 sd kelas 12). . Ada beberapa mantan korban yang bersedia diwawancarai;
  3. Mendukung Kemendikbud dalam memberikan rekomendasi kepada Pemprov Jatim untuk mengambil langkah tegas, termasuk penutupan satuan pendidikan jika terjadi tindak kekerasan berulang.

    Hal ini diatur dalam Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Satuan Pendidikan, pasal tentang penjatuhan sanksi kepada satuan pendidikan bila tindak kekerasan berulang dan banyak memakan korban.

    “Apalagi kekerasan seksual telah dibuktikan di pengadilan, sedangkan eksploitasi ekonomi anak dan kekerasan fisik yang dialami sejumlah anak di tangan pengelola sekolah menunjukkan bahwa kekerasan tersebut bersifat sistemik dan tidak kejam. Jadi menutup sekolah adalah pilihan terbaik untuk mencegah jatuhnya korban lagi,” jelas Retno.

  4. Mendorong Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur untuk mempertimbangkan sanksi berupa penutupan SMA SPI Batu, Malang, Jawa Timur jika ditemukan bukti pelanggaran hak anak dan berbagai pelanggaran peraturan perundang-undangan Indonesia.

    Jika terjadi penutupan, pemerintah provinsi harus memetakan 143 siswa di sekolah Julianto yang saat ini masih duduk di bangku kelas X hingga XII.

  5. Mendorong Kick Andy untuk mencabut penghargaan Kick Andy Heroes Julianto Eka Putra setelah Pengadilan Negeri Batu memutuskan bahwa terdakwa secara sah dan persuasif terbukti bersalah melakukan kekerasan seksual dan pencabulan terhadap siswa di sekolah SPI. Lebih baik tidak menunggu putusan Dalam kekuatan.

“Semua tindakan kekerasan terhadap anak harus diselidiki dan diberi sanksi sesuai peraturan perundang-undangan,” kata Retno.

Sanggahan sekolah SPI

Kepala Sekolah Selamat Pagi Indonesia Risna Amalia membantah pernyataan tersebut. Menurut Risna, ia memimpin proses pembelajaran di lembaga pendidikan tersebut pada rute.

“Kami berada di bawah arahan dewan pendidikan provinsi dan di bawah pengawasan kementerian pendidikan. Selama ini izin operasional selalu dikeluarkan secara berkala,” kata Risna saat ditanya suara melalui WhatsApp, Rabu (14/9).

Kegiatan di Kampung Kids, bagian dari Good Morning Indonesia High School di Kota Batu, Malang. (Antara/Ficki Febrianto)

Ia juga membantah ada mahasiswanya yang diperiksa KPAI.

“Apalagi harus diakui ada kasus seperti itu. Ini jelas tidak benar dan tidak memfitnah, dia Anda bisa lihat sendiri di SPI. Jangan hanya mengatakan Ya, benar-benar Tuan. Sama-sama bijaksana untuk mempertaruhkan ratusan siswa kami Kamu tahu itu,” katanya.

Source: voi.id

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button