Angkot-SILK - WisataHits
Jawa Barat

Angkot-SILK

Kami dulu berkantor di Palmerah, di perbatasan Jakarta Selatan dan Jakarta Barat. Ejaan awal harus paal merah (dipisahkan antara pal dan merah). Paal berarti tiang, perbatasan atau semacamnya dalam bahasa Belanda.

Kantor kami berada di tengah-tengah pasar yang hampir tanpa henti, sepanjang hari. Ada banyak angkot di jalan tepat di depan kantor kami dengan rute Tanah Abang – Kebayoran Lama dan Tanah Abang – Kebun Jeruk. Bisa sampai 5-10 angkot antre dan hampir selalu dipenuhi penumpang.

Ada banyak, banyak penumpang sepanjang hari (juga di luar jam kerja, sekitar pukul 06:00-8:00 dan 17:00-21:00) karena rute tersebut sebenarnya merupakan daerah kemacetan dan Tanah Abang adalah salah satu pasar paling terkenal, terbesar dan terlengkap di Indonesia. , Jakarta.

Suatu malam seorang rekan yang rupanya pulang lewat tengah malam karena ada ‘tenggat waktu’ bertanya (karena dia tahu betul bahwa rute ini adalah rute saya pergi dan pulang kerja): “Sampai kapan angkot ditutup Kebayoran Lama pergi – Tanah? Saudara ?” / “Tunggu, kataku. Angkot di jalur ini, bukan 24 jam, … tapi 25 jam sehari”.

Bogor pernah disebut sebagai “Kota Sejuta Angkot”. Nama panggilan bisa positif atau negatif. Keuntungannya adalah: Bagi masyarakat yang menggunakan angkutan umum untuk aktivitas sehari-hari, berarti angkutan umum selalu tersedia. Kekurangannya adalah: area sekitar pasar Baranang Siang (karena kalau malam, dingin), kebun raya dan sekitarnya macet berantakan, kalau jelek pun bisa tutup, macet, pindah Tidak!

Di Lampung (dan kabarnya kota-kota lain di Indonesia bagian timur juga), angkot bersaing untuk “berpakaian”. Semakin bagus, bersih, dan berkilau tentunya semakin disukai penumpang. Bukan hanya tampilan luarnya saja, tapi juga interiornya.

Saya pernah naik angkot di Lampung. Terlihat elegan, begitu masuk ke dalam, suara musik dari speaker yang “memakan” ruang bahkan untuk satu penumpang terdengar memekakkan telinga. Rasanya seperti menegur pengemudi untuk lagu yang dia pilih, atau setidaknya mengecilkan volumenya. Namun niat itu saya urungkan karena sepertinya penumpang lain sedang “menikmati” boomingnya. Lagi pula, saya adalah penumpang asing dan jarak tempuh saya dekat.

Beberapa waktu yang lalu saya mengunjungi anak bungsu saya yang berada di sebuah kost di Canggu – Bali. Seminggu disana saya tidak menemukan angkot. Teman anak saya, yang juga tinggal di wisma dekat Canggu, mengatakan bahwa setelah tinggal di daerah itu selama hampir satu tahun, dia juga tidak melihat angkot. Untuk mendukung aktivitasnya di sana, ia menggunakan ojol online, yang juga dikenal sebagai ojek (atau ojeg?). Ia kemudian berinisiatif untuk mengendarai sepeda motor sendiri karena pengeluarannya yang sedikit tinggi jika menggunakan jasa ojek. Agak nekat karena dia belum pernah naik motor sebelumnya. Tapi untuk memangkas biaya dan berbekal “bisa naik sepeda”, akhirnya dia belajar. Dalam pekerjaan sehari-hari yang ‘cukup putus asa’ dengan sepeda motor.

Seorang teman FB, seorang pelukis di Bali yang aktivitasnya mungkin terletak antara Jimbaran-Ubud-Karang Asem… mengeluhkan angkutan umum yang semakin langka bagi orang-orang yang bekerja di daerah tersebut. Ia bahkan bercerita kemarin sambil menunggu 2-3 jam angkot yang ditunggunya tak kunjung datang. Ya, tentu saja dia akhirnya menggunakan ojek. Baik ojek basic maupun online.

Pelukis ingin melukis atau setidaknya membuat sketsa. Pulau Bali mungkin agak “meninggalkan” aktivitas dan mobilitas warganya. Satu-satunya hal yang perlu dipikirkan adalah kebutuhan pariwisata. Apa boleh buat, Bali selalu dikenal sebagai salah satu destinasi wisata dunia. Ketika 2-3 tahun dunia pariwisata sepi akibat pandemi, kini Bali mulai menggeliat, bahkan kembali ramai dikunjungi wisatawan. Namun bukan berarti kebutuhan aktivitas warganya diabaikan, bukan?

Di Prabumulih-Sumsel, angkot tentu saja “tersesat” di jalan-jalan utamanya. Sudah lama sejak mereka digantikan oleh ojek. Baik ojek sederhana maupun ojek inline.

Itulah yang terjadi di kota-kota (mungkin tidak semua) besar dan kecil di seluruh negeri ini.

Angkot tentunya tanpa dihipnotis, tanpa disosialisasikan, tanpa semboyan pemerintah yang berbunyi “Gunakan Angkutan Umum” (sementara kendaraan pribadi tetap diimpor), tanpa didorong atau dipaksa, … digantikan oleh taksi online dan online -ojek . Taksi online lebih murah daripada taksi tradisional.

Belakangan, friksi sedikit mereda, berakhir dengan bentrokan antara pengemudi taksi konvensional dengan pengemudi taksi online, dan antara Ojol dan Basis-Ojek. Untungnya, sekali lagi, gesekan itu perlahan mereda. Perusahaan taksi tradisional mungkin “bias” atau menyesuaikan tarif sewa mereka dengan taksi online. Para pengemudi ojek dasar telah berdamai dengan para pengemudi ojek online. Bahkan saya pernah pesan ojol abang ojol yang saya kenal ternyata tukang ojek feld tidak jauh dari rumah saya.

Tidak ada angkutan umum di luar Indonesia. Maksud saya bukan tidak ada angkutan umum ya, tapi angkot, seperti angkot yang kita kenal di sini. Ini adalah jenis minibus yang dapat mengangkut 7-8 penumpang. Di Thailand ada angkot yang mirip dengan angkot di sini. Bangkok bahkan menyimpan tuk-tuk. Kendaraan mirip Bajaj. Selain transportasi, juga melayani (terutama) pariwisata. Seperti Filipina yang masih menjamu jeepney. Sebuah jip tentara Amerika yang dihias sedemikian rupa untuk pariwisata.

Kamboja dan Laos bahkan memiliki angkot yang luar biasa unik. Saya tidak tahu apa namanya. Penduduk kota-kota kecil di Kamboja dan Laos menggunakan rel kereta api yang tidak terpakai. Mereka membuat “kendaraan” yang bisa mengangkut 7-8 orang plus barang. “Kendaraan” terdiri dari papan yang kakinya balok kayu dengan roda ekor. Kendaraan dapat menggerakkan rel dengan mengisi daya.

Kendaraan umum darat di negara maju adalah: kereta api dan bus, yang terintegrasi dengan baik. Jarak pendek, seperti dari stasiun kereta api ke stasiun bus atau ke stasiun feri, dapat ditempuh dengan berjalan kaki.

Relatif murah dan terjangkau, simpel, praktis, diantar ke depan pintu Anda, ditambah lagi dengan karakter masyarakat di kota-kota besar Indonesia yang agak malas berjalan kaki untuk jarak tertentu (di bawah ini menurut survey).

Jadi tentu saja Angkot diganti dengan Ojol…

Ilustrasi: “Whip Happiness”…(cat air di atas kertas, 50x30cm). Pada masa awal berkantor di Jalan Panjang-Kebun Jeruk, di sudut Jalan Cileduk Raya dan Jalan Swadaya, sekitar pertengahan 1990-an, moda transportasi jadul ini pasti sering Anda jumpai. Saya sering berpikir… bagaimana kuda itu menderita. Mereka dipaksa lari, menghirup asap knalpot kendaraan bermotor, kepanasan, kehujanan, kadang dicambuk… yah, Anda bahkan tidak dibayar! …

Jubah Aries

radio

Source: seide.id

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button