Ajak Warga Jadi Aktor untuk Rutin Produksi Film Pendek | Berita Malang hari ini | Malang Posco Media - WisataHits
Yogyakarta

Ajak Warga Jadi Aktor untuk Rutin Produksi Film Pendek | Berita Malang hari ini | Malang Posco Media

Malang Posco Media – Mencintai dunia film, belajar dan bekerja keras. Berhasil mengerahkan pemuda dan warga kampung halamannya Glanggang, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang untuk memproduksi film. Kini kampung tersebut menjadi Kampung Film Sewek Kawung.

Kamera… Putar.. Aksi! teriak barisan pemuda, kamera dan naskah di tangan. Dalam cuaca cerah, matahari cenderung membutakan kelopak mata, para pemuda merekam dan memainkan beberapa peran.

Mereka tidak berasal dari rumah produksi film terkenal atau berada di studio. Melainkan warga Desa Glanggang, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang.

Hosting awan Indonesia

Ini adalah inisiatif dari gerakan Desa Film. Namanya Sewek Kawung. Mereka sepertinya selalu berusaha untuk menghayati peran masing-masing, meski mereka mengulanginya beberapa kali karena dianggap ceroboh. Pemeran dipandu oleh orang-orang yang berpengalaman. Yaitu Sudjane Kenken. Dia telah menerima banyak pendidikan film dan penyutradaraan untuk mendapatkan pengalaman bekerja di film-film terkenal.

Pria berusia 40 tahun ini diketahui bernama Kenken. Sekarang menghabiskan banyak waktu untuk kembali ke desanya Glanggang. Di desanya, ia menularkan ilmu dan pengalamannya di dunia perfilman kepada warga desa. Dia telah berjuang selama tiga tahun dan telah menghasilkan film pendek dengan penduduk setempat.

Kenken masih mengenakan blangkon dan tie-dye dan ikut serta dalam adegan syuting. Sosok yang tegas namun ramah itu menyapa dan bercerita. Bagaimana Kenken membangun karir melalui kerja keras dan proses yang panjang dan kemudian dengan rela mendorong orang untuk membuat film. Tentu bukan perjalanan yang mudah.

Awal kecintaan Kenken pada film dimulai dari kecintaannya pada akting. Memutuskan untuk kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta adalah salah satu keputusan terbesar dalam hidupnya.

“Ketertarikan saya dimulai ketika saya masih kuliah, jadi saya selalu masuk ke akting dan akting, spesialisasi saya adalah akting,” katanya. “Mengetahui ada fakultas fonogram, tesnya selalu membuat film, jika Anda membutuhkan aktor, teman teater Anda sering bekerja dengan saya,” kata Kenken.

Lompatan itu datang ketika dia memutuskan untuk beralih jurusan dan mengarahkan. Tepatnya di semester tujuh. Beruntung baginya ketika mendapat bantuan dari salah satu dosen. Hingga akhirnya ia belajar banyak tentang penyutradaraan film.

Kenken muda menyadari bahwa dia tidak berasal dari keluarga kaya. Keputusannya untuk kuliah di perguruan tinggi seni ditentang oleh teman, keluarga, dan kerabatnya. Pasalnya, mereka tidak percaya Kenken bisa mencari nafkah dari dunia film. Juga sukses sebagai sutradara. Tapi itu bukan halangan bagi Kenken.

Meski masih ragu, ia tak mau membicarakan pendidikannya saat pulang menemui teman-temannya.

“Saya akhirnya berpikir tentang bagaimana bertahan hidup. Di Jogja saya tidak bisa mengandalkan orang tua saya untuk situasi saya. Saya tidak ingin menagih sepeser pun. Karena pantomim adalah fondasi saya, saya akhirnya bernyanyi demi hidup,” kenangnya.

Pada tahun 2001, musik jalanan adalah cara hidup. Kemampuannya untuk meniru akhirnya menyelamatkan hidupnya. Ia mengumpulkan peti-peti uang rupiah. Kegiatan dilakukan pada malam hari sekitar pukul 19.00 WIB. Dari sebuah apartemen kontrakan sederhana yang ia bagikan dengan seorang teman kuliah dari Kediri, Kenken berjalan-jalan dan bernyanyi di berbagai tempat di Jogja.

“Kurang lebih jarak rutenya sekitar 12 kilometer. Kalau nyanyi tujuannya angkringan yang ramai, tugu jogja pusat keramaian, dan malioboro,” ujarnya.

Di tengah kehidupan bernyanyi dan perjuangan pendidikannya, pendidikan seni, terutama pantomim dan role-playing, ditambahkan. Ia memaklumi, meski merupakan kota seni dan pendidikan, banyak yang tidak mengetahui dan tidak mengenal berbagai seni.

“Konsep menyanyi saya bukan ‘nadong’ atau bertanya langsung. Saya sediakan kotak khusus, saya sajikan sampai siap. Prinsipnya tolong saat memberi. Meski terkadang saya tidak suka disebut badut,” candanya.

Dia masih ingat perjuangannya untuk menjadi seperti sekarang ini. Dari rumah kontrakan kecil seharga 500.000 rupee setahun, lalu berjalan menyusuri jalan, belajar dan belajar. Dia juga lulus dengan nilai bagus, meskipun dia harus bergoyang cukup lama untuk mengenakan toga di kepalanya. Itu sangat berterima kasih.

“Kadang-kadang kita dapat Rp 60.000 sehari untuk menyanyi, atau saat acara rutin setiap Minggu malam mereka tampil di Malioboro, kadang bisa sampai Rp 120.000 semalam. Untuk memanfaatkan passion saya terhadap film,” ujar pria kelahiran 1982 itu.

Kenken memulai karirnya setelah menyelesaikan studinya dan berlatih di beberapa rumah produksi film. Production House (PH) asal Jakarta memulai debutnya pada tahun 2009, tepatnya di Film Kramat.

Sedikit demi sedikit dia akhirnya semakin menunjukkan kemampuannya. Menerima undangan untuk belajar dengan sutradara Monty Tiwa.

Kenken memilih untuk tidak terlibat dengan label sambil bisa belajar dari setiap sutradara yang ditemuinya. Garin Nugroho adalah salah satu kiblat yang akhirnya mengajaknya menjadi asisten dalam film Kucumbu Tubuh Cantikku.

Hingga akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya. Kenken melihat banyak potensi seperti lokasi film yang indah di desanya. Kenken kemudian mempertimbangkan untuk mengundang para penghuninya. Dia mengalami kesulitan merayu orang untuk menjadi aktor. Singkat cerita, pada tahun 2019 ia akhirnya mendirikan Sewek Kawung bersama beberapa rekannya di desanya Glanggang.

Ia mengajak para pemuda desa untuk menjadi aktor dan aktris dalam film pendek yang dibuatnya. Hasilnya kemudian ditampilkan melalui layar plug-in di desa. Tak disangka, antusiasme masyarakat menyambutnya. Keberhasilan mobilisasi pemuda dan penduduk desa membuatnya semakin bersemangat. Akhirnya, film-film yang dihasilkan diunggah ke saluran YouTube Sewek Kawung. Tujuannya agar bisa dinikmati kapan saja dan dari kalangan manapun.

“Kalau soal desa ikonik, itu biasa dengan desa wisata. Tapi kami membuat desa film yang benar-benar melibatkan orang-orang, terutama kaum muda. Temanya banyak tentang kehidupan dan budaya masyarakat sehari-hari,” jelasnya.

Dia mendapatkan sebagian besar inspirasinya dari mengamati penduduk setempat. Carilah fenomena unik dan menarik untuk diilustrasikan agar dekat dengan masyarakat. Film-filmnya juga menampilkan adegan-adegan berbahasa Malangan-Jawa khas masyarakat setempat. Meski begitu, tidak mengurangi kualitas bahkan menambah karakter tersendiri.

“Prosesnya dimulai dengan serius membaca dan mendalami karakter agar bisa berperan penuh,” kata Kenken. Alhasil, banyak tema film pendek yang unik tercipta. Dia tidak menyangka bahwa adegan yang dimainkan oleh penduduk desa juga bisa menghasilkan film berkualitas tinggi. Mereka juga sempat mengikuti beberapa festival, meski baru saja masuk nominasi. Ini membuktikan bahwa karya Sewek Kawung bisa berkembang.

“Banyak orang bilang mengajar penduduk desa itu tidak sulit? Akhirnya, saya serius berpikir, seiring waktu, saya mengerti dan memahami karakter satu per satu. Saya orang lokal di sini, ingin kembali ke desa,” jelasnya.

Baginya juga, dukungan penuh dari pemerintah desa membuatnya bebas. Kampung film yang beroperasi mungkin merupakan inisiatif serupa seperti di Banjarnegara, Jawa Tengah. Kenken mengatakan hanya ada dua desa film di Indonesia. Yakni di kecamatan Banjarnegara dan Glanggang Pakisaji, Malang.

Seiring waktu, banyak yang tertarik untuk belajar di arena. Mulai dari mahasiswa kampus ternama di Malang hingga komunitas film yang ikut belajar. Kenken berharap kedepannya film desa Sewek Kawung

Glanggang tidak seperti sekarang. Namun menjadi semacam studio pelatihan film yang bisa menyediakan fasilitas film. Sehingga dunia akting di Malang semakin semarak.

Soal mimpi, Kenken mengatakan desa yang mendapat pendidikan ini bisa berguna di masa depan. Berkontribusi pada ekonomi dengan dibayar untuk menonton film. Mengarahkan dan mengundang magang ke Jakarta jika Anda serius ingin menjadi aktor. Itulah yang diinginkan Kenken. Pemutaran film juga telah menciptakan perputaran ekonomi bagi Wara, yang menjual dan berbisnis.

“Film di Malang tetap hidup. Saya memiliki mimpi malang untuk menjadi bagian dari industri film. Saya membawa PH besar di sini untuk menembak. Sehingga menjadi penyemangat bagi komunitas film agar mereka bisa berkarya,” ujarnya. (m.prasetyo lanang/van)

solusi prostat

Source: malangposcomedia.id

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button